Total Tayangan Halaman

Sabtu, 24 September 2011

Reflesi Teologis Kej 38:12-26


1.      Pengantar
Refleksi teologis merupakan tujuan dan puncak dari seluruh studi Kitab Suci.[1] Dalam bagian refleksi teologis, seorang penafsir mencari pendalaman tentang kebenaran (-kebenaran) iman yang terkandung dalam teks yang mau disampaikan oleh pengarang teks tersebut. Untuk memahami lebih lanjut pesan teks Kejadian 38:12-26 ini, maka pada bab ini kami akan memaparkan refleksi teologisnya dalam empat pembahasan, yakni mencari makna teks dalam konteks Perjanjian Lama, konteks Perjanjian Baru, konteks penggunaan liturgis dan konteks relevansi Gereja saat ini.

2. Rangkuman Teks Kejadian 38:12-26
            Teks ini mengisahkan penindasan Tamar oleh Yehuda dan perjuangan Tamar untuk mendapatkan hak atas kawin ipar (levirat) dan hak ahli waris. Tamar melihat bahwa Syela sudah besar, namun Yehuda belum juga memberi dia hak menjadi istri Syela. Perbuatan Yehuda ini menciptakan ketidakadilan bagi Tamar. Dia pun bertindak untuk memperoleh haknya. Ketika didengarkannya bahwa Yehuda sedang ada di jalan ke Timna, dia menyamar menjadi seorang perempuan sundal. Apa yang direncanakannya pun terjadi. Yehuda melihat dia dan menyangkanya perempuan sundal lalu menghampirinya dengan upah seekor anak kambing yang akan dia bayar kemudian dengan tanggungan cap meterai, kalung dan tongkatnya. Tamar pun mengandung dan pergi. Yehuda tidak dapat membayar upah itu dan membiarkan tanggungan itu. Setelah tiga bulan, Yehuda mendengar bahwa Tamar mengandung dari persundalan dan dia langsung menjatuhkan hukuman mati kepada Tamar. Pada saat genting itu, Tamar menyuruh orang agar menyerahkan cap meterai, kalung serta tongkat itu kepada Yehuda dengan pesan bahwa dari orang yang mempunyai barang-barang itulah ia mengandung. Yehuda pun memeriksanya dan seketika itu juga dia baru sadar bahwa ialah bapa anak itu. Hukuman mati yang menantinya membuat Yehuda mengakui kesalahannya dan membenarkan Tamar. Tamar pun bebas dari hukumannya dan mendapatkan hak-haknya.

3. Pokok Teologis Kejadian 38:12-26
            Ada banyak persoalan yang muncul dari cerita ini. Setelah Yehuda dan kesepuluh saudara-saudaranya berhasil menjual Yusuf  karena kecemburan, mereka dihadapkan dengan persoalan-persoalan baru. Kematian kedua anaknya, Er dan Onan, membuat Yehuda cemas jangan-jangan putra bungsunya Syela akan mati bila kawin dengan Tamar. Dia pun melanggar hukum kawin ipar (levirat) (bdk. Ul 25:5-10) dengan berusaha menjauhkan Tamar dari Syela. Tamar pun tetap menjanda dan menjadi korban ketidakadilan Yehuda. Tamar terpaksa bertindak dengan caranya sendiri untuk melepaskan penderitaanya dan untuk menuntut haknya. Sebenarnya bila dilihat dalam kesatuannya dengan kisah tentang Yusuf, cerita tentang Yehuda dan Tamar ini nampaknya mengganggu. Apa yang mau dikatakan teks ini? Mengapa soal cerita Yehuda dengan Tamar ini dikatakan? Apa latar balakang cerita ini?
Salah satu persoalan pokok dari teks Kejadian 38:12-26 ini adalah ketidakadilan dan penindasan atas orang lemah serta perjuangan mereka untuk mendapatkan hak. Ketidakadilan dan penindasan atas hak kerap kali membuat si korban menderita dan harus bertindak untuk mendapatkan haknya dengan cara apapun. Berkaitan dengan masalah ini, teks yang sejajar adalah Rut 1- 4 serta Yudit 8 -16. Orang yang menjadi korban pada umumnya adalah mereka yang lemah seperti orang miskin, orang asing, janda dan yatim piatu (bdk. Kel 22: 21-23). Dalam Kejadian 38:1-30, Tamar mengalami penindasan dari Yehuda, bapa mertuanya ketika dia disuruh untuk tinggal di  rumah ayahnya sebagai janda (ay 11) dan ketika Yehuda mendengar kabar bahwa ia hamil dari persundalan, Yehuda langsung menjatuhkan hukuman bakar/mati tanpa memeriksa lebih dahulu kebenaran kabar itu (ay 24). Penindasan yang diderita oleh Tamar ini adalah berkaitan dengan hak atas kawin ipar (levirat) dengan Syela dan hak atas ahli waris. Sejajar dengan itu, Rut secara tidak langsung mengalami penindasan dari Naomi. Naomi yang mengalami krisis iman kepada TUHAN membuat dia kehilangan harapan untuk menjamin masa depan kedua menantunya sehingga dia menyuruh mereka pulang ke rumah ayah mereka sebagai seorang janda. Rut harus berjuang sebagai seorang menantu untuk memperoleh belaskasih dari Naomi agar dia tidak dipulangkan ke rumah ayahnya sebagai janda melainkan dibawa ke Betlehem tempat asal Naomi (bdk.Rut 1:8-18). Dia pun harus berjuang untuk menerima omongan orang terhadap Naomi (Rut 1:19) dan untuk hidup di Betlehem sebagai orang asing. Ini bukanlah suatu hal yang mudah apalagi bagi seorang janda. Kisah Yudit juga menggambarkan hal yang serupa. Yudit adalah seorang janda yang dipakai oleh TUHAN untuk membebaskan orang Israel dari penindasan dan serangan orang-orang Asyur di bawah pimpinan Holofernes, panglima besar bala tentara Asyur. Penderitaan yang dialaminya bersama orang Israel memaksa dia untuk bertindak. Tantangan pertama yang harus dihadapinya datang dari orang Israel sendiri yang mengalami krisis iman akan kebaikan dan kesetiaan Allah. Setelah dia berhasil membangkitkan iman mereka, Yudit maju bersama dayangnya dan pergi ke kemah Holofernes. Dia pun berhasil membunuh Holofernes dengan caranya sendiri (bdk. Yudit 13:1-9).
            Penindasan atas hak sering kali terjadi karena perbedaan kepentingan antara yang menindas dan mereka yang tertindas. Dalam Kejadian 38:12-26, Yehuda memiliki kepentingan untuk menjaga garis keturunannya melalui anaknya Syela karena dia cemas jangan-jangan anaknya Syela mati seperti kedua kakaknya. (bdk. ay 11). Rut memiliki perbedaan kepentingan dengan Naomi (Rut 1:1-22). Naomi seolah-olah demi kebaikan kedua menantunya meminta agar mereka pulang ke kaum mereka masing-masing. Dan Rut demi kasihnya kepada mertuanya ingin agar dia tetap ikut bersama dengan Naomi ke Betlehem. Demikian juga yang terjadi antara orang-orang Asyur khususnya Nebukadnezar, raja mereka dengan orang-orang Israel. Raja Nebukadnezar ingin menghukum seluruh muka bumi (bdk. Yudit 2:1) karena semua penduduk bumi tidak patuh pada titahnya (bdk. Yudit 1:11). Sedangkan orang Israel ingin agar mereka hidup dengan penuh damai dan itu adalah hak mereka.
            Selain itu mereka yang tertindas pertama-tama tahu sungguh apa yang menjadi hak mereka walau mereka berada dipihak yang lemah, dan seakan-akan tidak berdaya. Tamar sungguh tahu bahwa dia memiliki hak kawin ipar (levirat) dengan Syela dan sebagai pemilik hak dia punya “kuasa” untuk mendapatkan itu. Demikian juga dengan Rut dan Yudit. Rut memiliki hak untuk mendapatkan jaminan masa depan dan  penebusan sebagai orang asing di Betlehem (Rut 3:9). Dan Yudit memiliki hak untuk tinggal dalam rasa aman dan tenteram bersama orang sebangsanya.
            Dari penjelasan di atas terdapat kesamaan yang menunjukkan bahwa orang yang ditindas itu adalah orang yang lemah dan seakan-akan tidak berdaya (mis. Janda). Selain itu mereka ternyata memiliki keberanian untuk bisa melepaskan diri dari penderitaan mereka. Dan jelaslah bahwa “orang lemah selalu meresahkan keadilan dan kesetaraan sedangkan orang kuat tidak menghiraukan semua itu” (Aristoteles). Bagi mereka status sebagai janda tidak menjadi penghalang. Untuk menjaga “kehormatannya” mereka tidak pasif dengan membiarkan keadaannya dalam tangan laki-laki dan berani mengambil resiko mempertahankan harga dirinya[2] Keberanian mereka nampak jelas dari resiko yang dapat menimpa mereka. Tamar dengan cara menyamar sebagai perempuan sundal dan mau dihampiri Yehuda, bapa mertuanya, memiliki resiko mendapatkan hukuman bakar sesuai dengan hukum Musa (bdk.Im 20:14, dan 21:9). Rut seorang janda asal Moab tahu resiko bila ia pergi ke penggirikan dan tidur di sebelah kaki Boas (Rut 3:7;14). Yudit yang adalah juga seorang janda berani pergi ke kemah Holofernes yang ingin menghancurkan bangsa Israel.
Selain itu, tindakan mereka ternyata memiliki dampak sosial yang dapat memberi kesadaran bagi orang lain khususnya yang menindas mereka. Tindakan Tamar yang sungguh berani itu telah membuat Yehuda mengakui kesalahannya (bdk. ay 26). Juga Rut yang karena keberhasilannya, Naomi yang awalnya mengalami krisis iman ketika dia menyatakan bahwa tangan TUHAN telah teracung atasnya dapat kembali pada iman yang benar (bdk Rut 4: 14-16). Demikian juga Yudit sang pahlawan bangsa Israel itu. Kemenangan yang dibawa mampu mengangkat kembali iman bangsa Israel dan mereka serempak memuji TUHAN (bdk. Yudit 13:17)
Perbedaan mencolok atas tiga teks ini adalah mengenai peranan TUHAN secara langsung dalam perjuangan mereka. Kisah perjuangan Tamar dalam Kejadian 38:12-26 kurang menampakkan bagaimana karya TUHAN atas dirinya. “TUHAN seolah-olah tidak berperan”. Berbeda dengan itu, Rut mendapatkan berkat TUHAN melalui Naomi dan Boas. Dan walaupun dia orang Moab dia sungguh-sungguh percaya akan kuasa TUHAN atas dirinya (bdk. Rut 1:16-17). Dan peranan TUHAN sungguh nyata bagi hamba-Nya yang beriman. Rut dalam kisah itu percaya kepada TUHAN dan senantiasa menyertakan TUHAN dalam hidupnya. Demikian juga Yudit si janda yang saleh itu dalam Yudit 8-16. Sejak awal telah digambarkan bahwa ia adalah seorang janda yang saleh dan sering berpuasa. Dan ketika berhadapan dengan para imam, dia justru yang meneguhkan iman seluruh penduduk akan kesetiaan dan kebaikan TUHAN atas bangsa Israel. Pada bab 9 dalam doanya digambarkan secara jelas betapa dalamnya kepercayan Yudit pada TUHAN yang akan menolong dia menghadapi orang-orang Asyur itu. Apa artinya perbedaan itu? Sungguhkah TUHAN tidak berperan dalam perjuangan Tamar si janda dari Kanaan itu dan membiarkan dia berjuang sendiri untuk mendapatkan haknya? Apakah karena Tamar melakukan tindakan immoral sehingga tidak diperhatikan TUHAN?
Suatu hal yang pasti adalah bahwa TUHAN mempunyai rencana atas ketiga korban ketidakadilan dan penindasan itu. Dalam Kejadian 38:12-26 memang tidak diungkapkan secara jelas peran TUHAN seperti yang terdapat dalam kisah Rut dan Yudit. Namun TUHAN tetap memdampingi orang yang haknya dirampas agar orang itu dapat memperoleh haknya. Tamar pada akhirnya mendapatkan haknya dan dibenarkan oleh Yehuda secara yuridis dan bahkan mampu membuat Yehuda menyadari kesalahannya sendiri atas Tamar. TUHAN jelas berkarya dalam diri Tamar. Persetubuhannya dengan Yehuda membuat dia mengandung (ay.18) lalu dia pun dapat melahirkan anak kembar  yang dinamai Perez dan Zerah (ay. 27-30). Bukankah ini adalah karya TUHAN seperti yang dialami oleh Hawa ketika melahirkan Kain (bdk. Kej 4:1) dan oleh Sarai ketika melahirkan Ishak (bdk. Kej 21:2)? TUHAN punya cara tersendiri dalam menyertai umatnya. Dalam diri Tamar, TUHAN berkarya secara tersembunyi. Akan tetapi apakah TUHAN membenarkan perbuatan Tamar yang menyamar sebagai perempuan sundal agar mendapatkan haknya? Jelas bahwa TUHAN tidak pernah membenarkan hal itu. Karena hukum datang kemudian setelah perbuatan maka harus dilihat bahwa yang menjadi fokus dalam perbuatan Tamar adalah perjuangan dia untuk mendapatkan haknya. Dan mungkin setelah kisah ini TUHAN hendak menegaskan bahwa praktek persundalan adalah dosa dan pantas mendapatkan hukuman berat. Aturan ini secara jelas digandengkan dengan Kudusnya Perkawinan (Im 18:1-30) dan Kudusnya umat TUHAN (Im 20: 1-27).  Lebih dari itu, karya TUHAN dalam dan melalui diri Tamar ternyata tidak main-main. Melalui perjuangannya untuk memperoleh hak, TUHAN sedang merencanakan suatu karya yang sangat besar menyangkut seluruh umat Israel. Anak yang dikandungnya itu ternyata menjadi bapa leluhur raja Daud dan menjadi cara TUHAN menggenapi nubuat Yakub tentang Yehuda dan keturuanannya yang akan menjadi raja (bdk Kej 49:10). Rencana TUHAN juga terjadi dalam diri Rut yaitu bahwa ia kemudian melahirkan anak bagi Boas yang menjadi leluhur Daud. Akan tetapi Rut mendapatkan haknya dengan cara yang baik yaitu menjadi istri Boas. Bagaimana dengan Yudit? Dalam perjuangannya TUHAN selalu dibawanya serta. Dia sungguh yakin akan janji dan kebaikan TUHAN atas bangsa Israel pilihan-Nya. Dan TUHAN memberkati dia ketika menghadapi Holofernes.
Dari uraian di atas kita dapat mengambil pesan teologis dari Kejadian 38:12-26. Penindasan atas hak-hak orang lemah sangat sering terjadi baik dalam lingkup kecil maupun dalam lingkup besar seperti penindasan atas suatu bangsa. TUHAN membenci penindasan dan tidak akan pernah membenarkannya. Terkadang kita sukar melihat adanya kemungkinan untuk menang atas suatu perkara bagi seorang yang lemah dan tidak berdaya apalagi ketika menghadapi pihak yang sangat kuat. Namun apakah itu tidak mungkin bagi TUHAN?  Dia tidak akan tinggal diam melihat penderitaan umat-Nya yang berseru-seru kepada-Nya minta pertolongan Jika engkau memang menindas mereka ini, tentulah Aku akan mendengarkan seruan mereka, jika mereka berseru-seru kepada-Ku dengan nyaring (bdk. Kel 22:23). TUHAN selalu memperhatikan orang lemah tak berdaya karena penindasan dan “…membela hak anak yatim dan janda dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian” (bdk. Ul 10:18). Dan bahkan barang siapa menindas orang yang lemah ia  menghina Penciptanya, tetapi barang siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin ia memuliakan Dia (bdk. Amsal  14:31). Oleh karena itu, TUHAN tidak berkenan pada penindasan, tetapi membela orang yang ditindas dan  yang hak-haknya dirampas.

4.   Fungsi dan Hubungan Teks Kejadian 38:12-26 dengan  Cerita Lain tentang Yehuda dan Tamar
Seperti yang kami utarakan di atas, cerita tentang Yehuda dan Tamar ini berada dalam kisah tentang Yusuf yaitu setelah Yusuf berhasil dijual oleh Yehuda dan kesepuluh saudaranya. Dalam kontek ini, nampaknya cerita tentang Yehuda dan Tamar ini berhenti di sini. Pada bab selanjutnya, yang menjadi fokus cerita kembali tentang Yusuf yang berada di rumah Potifar (Kej 39:1-27) sebagai lanjutan dari cerita tentang penjualannya ke tanah Mesir (Kej 37:12-36). Yehuda dalam bagian selanjutnya masih dikisahkan namun tetap dalam kaitannya dengan kisah Yusuf. Sedangkan Tamar tidak lagi dikisahkan.
Dari keterangan di atas, fungsi teks Kejadian 38:12-26 adalah untuk mengisahkan tentang Yehuda dan keturunannya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah Israel. Penindasan dan perjuangan untuk memperoleh hak merupakan tema pokok dari cerita ini. Mengapa pesan ini disampaikan? Nampaknya tema ini yang menjadi penghubung antara cerita ini dengan cerita berikutnya.  Peristiwa penjualan Yusuf yang merupakan ide dari Yehuda sendiri menjadikannya menjadi orang asing di Mesir dan sangat mungkin untuk mengalami penindasan. Yehuda sendiri dikisahkan pergi meninggalkan saudara-saudaranya dan menumpang kepada Hira (bdk. Kej 38:1) dan keadaanya sama seperti Yusuf yaitu menjadi orang asing.  Namun nasib mereka berikutnya sungguh berbeda. Yehuda tidak mengalami penindasan malah menjadi orang terpandang serta kaya. Selain itu dia melanggar hukum Musa dan menindas menantunya Tamar. Sedangkan Yusuf mengalami penindasan dari istri Potifar dia karena tidak mau menerima tawaran istri Potifar untuk bersetubuh dengannya demi kesetiaannya pada Allah dengan menaati hukum Musa (bdk. Kej 39:9).
Menarik bahwa dari antara keduabelas anak Yakub, Yehuda mendapat sorotan lebih besar selain Yusuf. Dalam kitab Kejadian, Yehuda dikisahkan secara khusus bersama dengan keluarganya. Apa artinya hal itu? Apakah yang mau dikatakan tentang Yehuda dan keluarganya? Yehuda sejak awal telah dinubuatkan oleh Yakub, ayahnya sendiri bahwa “Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa” (Kej 39:10). Nubuat ini nampaknya telah dimulai sejak Tamar mengandung anak Yehuda. Perez yang dilahirkan Tamar bagi Yehuda disebut kembali dalam kitab Rut dalam sebuah genealogi hingga lahirnya Daud (bdk. Rut 4:18-22). Kelahiran Daud menjadi penggenapan nubuat Yakub. Dan bagi orang Israel sejarah Raja Daud ini sangat penting. Jadi boleh disimpulkan bahwa kisah Yehuda dan keluarganya menjadi penting karena berkaitan dengan sejarah kerajaan bangsa Israel.

5.   Tafsiran Perjanjian Baru atas Teks Kejadian 38:12-26
Perjanjian Baru menafsirkan Yehuda dan Tamar dalam sebuah genealogi tentang silsilah Yesus Kristus. Yehuda disebutkan sebagai salah satu leluhur Yesus Kristus setelah Abraham, Ishak dan Yakub (bdk. Matius 1:1-17). Menarik bahwa keluarga Yehuda cukup lengkap disebut dalam silsilah ini “Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar, Peres memperanakkan Hezron,..(ay 3a). Menyantumkan nama wanita dalam silsilah adalah suatu hal yang tidak lazim dalam tradisi Yahudi. Jadi kalau Matius mencantumkannya pasti ada maksud yang istimewa. Terbatasnya penyebutan nama perempuan dalam genealogi ini nampaknya juga memberikan keistimewaan terhadap tokoh-tokoh perempuan dalam silsilah Yesus Kristus itu. Mereka adalah Tamar, Rahab, Rut, istri Uria (Bersyeba), dan Maria sendiri. Sangat sulit menarik kesamaan dari kelima tokoh ini karena empat tokoh pertama berbeda dari Maria. Namun mengapa empat tokoh pertama ini dimasukkan. Bukankan mereka termasuk perempuan yang telah melakukan perjinahan? Nampaknya Matius ingin menekankan bahwa rencana keselamatan melalui Yesus Kristus adalah karya Allah sendiri bukan karya manusia. Mengapa mereka dipilih oleh Allah, itu hak absolut Allah.
Dari penjelasan di atas maka jelaslah bahwa oleh Matius, Tamar dianggap sebagai perempuan yang istimewa. Dia berani berjuang untuk memperoleh haknya walau harus mengorbankan reputasi dan harga dirinya. Namun,  ternyata melalui keberanian itulah Allah berkarya dalam dirinya. Dan semuanya itu mendapatkan pemenuhan dalam diri Yesus Kristus. Yehuda dan Perez anaknya menjadi bapa leluhur Daud dan Yesus Kristus.
Berkaitan dengan penindasan terhadap mereka yang lemah, Perjanjian Baru juga menegaskan bahwa adillah bagi Allah untuk membalaskan penindasan kepada orang  yang menindas orang lemah (bdk. I Tes  11:6). Dan membebaskan orang yang tertindas masuk dalam daftar misi Yesus seperti yang dicacat oleh St. Lukas, “untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang"( 4:19)

6.   Pesan Teks berkaitan dengan Gereja dan Masyarakat Dewasa ini.
Munculnya perbedaan kepentingan kerap kali menimbulkan penindasan apa lagi kalau yang muncul adalah perbedaan kepentingan antara penguasa dan rakyat biasa. Ketenangan hidup para penguasa sering terganggu  karena mereka yang lemah  sehingga  mereka sering menyelesaikannya dengan cara yang singkat, melakukan penindasan. Dalam berbagai lapisan masyarakat dan juga di dalam Gereja sendiri, masalah  ini sering terjadi.
Kebenaran atas peristiwa meninggalnya Munir sampai sekarang belum juga terungkap. Munir sang pahlawan orang yang hilang di masa rezim Suharto itu, meninggal secara tragis dan dramatis dalam sebuah perjalanan ke Amsterdam, Belanda. Sang istri, Suciwati bersama aktivis HAM harus terus berjuang menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini. Perbedaan kepentingan antara Munir dan penguasa saat itu mengenai kasus orang hilang membuat Munir menjadi korban penindasan. Suciwati juga mengalami penindasan ini ketika dia berusaha menuntut hak mendapatkan keadilan atas kematian suaminya kepada pemerintah. Apakah dia berhasil dalam perjuangannya itu? Apakah TUHAN sungguh berkarya dalam perjuangan itu?
Peristiwa penindasan lain yang masih hangat di telinga kita adalah kasus Bibit-Chandra, dua orang staf tidak aktif KPK yang ditahan dengan tuduhan yang tidak jelas sama sekali. Hak mereka ditindas ketika mereka dipenjarakan dengan tuduhan yang direkayasa dan tanpa berbuat salah. Ini sungguh suatu rekayasa para penguasa hukum negara ini. Penindasan ini memaksa mereka untuk memperjuangkan hak mereka. Sungguh suatu hal yang memilukan bagaimana para penguasa memanipulasi hukum negara demi kepentingan mereka. Apakah ini sama dengan Yehuda yang melanggar hukum Musa demi kepentingan dia?
Peristiwa penggusuran juga terjadi dalam peristiwa yang manjadi biasa di berbagai negara. Dikabarkan bahwa pada Rabu, 11 November 2009 sedikitnya 40 aktivis perempuan dari beberapa negara di Asia bertemu untuk melawan penggusuran yang terjadi di negara masing-masing. Tidak dapat disangkal lagi, peristiwa ini sungguh adalah suatu penindasan dan akhirnya mengorbankan mereka yang lemah demi keuntungan penguasa.
Bagaiman dengan Gereja? Di beberapa daerah, Gereja paroki sering gagal untuk mendirikan gereja sebagai tempat yang layak untuk beribadat. Dalam undang-undang negara hal ini sudah jelas tercantum bahwa setiap agama berhak untuk memiliki tempat ibadat yang layak. Akan tetapi, karena status minoritas Gereja, gereja tidak dapat didirikan karena alasan yang tidak dapat diterima akal. Gereja ternyata mengalami penindasan yang sangat.
Sebagai seorang gembala, tanpa disadari para imam pernah juga bertindak sebagai Yehuda dalam kisah ini. Kadang seorang imam “memilih-milih” untuk memberikan pelayanan kepada umatnya. Sering terjadi bahwa ketika ada umat yang berada pada golongan ekonomi lemah meminta agar dilayani, seorang Imam agak lama untuk mengabulkannya. Namun ketika yang meminta adalah orang kaya, Imam yang sama langsung cepat mengabulkan. Bukankah ini adalah suatu ketidakadilan dan penindasan?
Persoalan sekarang adalah, bagaimana bentuk perlindungan TUHAN kepada mereka yang menjadi korban penindasan itu? Apa TUHAN membela dan melindungi hak mereka? Dapatkah orang yang tertidas itu menyadarkan mereka yang menindas akan apa yang mereka lakukan? Persoalan ini tidak dapat dijawab dengan pasti. Hanya iman yang menjadi harapan dalam ketidakpastian itu. TUHAN pasti memiliki rencana atas mereka yang menjadi korban penindasan asal mereka sungguh-sungguh setia berseru kepada-Nya. Bagaimana TUHAN berperan dalam setiap peristiwa itu, hanya Dia yang tahu. Dia kadang bertindak secara tersembunyi dan bagaimana Dia bertindak itu semua tergantung pada-Nya.



[1] Bdk. B.A. Pareira, “Refleksi Teologis” dalam Pengantar Seminar KSPL (Pro Manuscripto), Malang: STFT Widya Sasana, 2003, hlm.20.
[2] Berthold A. Pareira, O.Carm, Abraham Imigran Tuhan dan Bapa Bangsa-bangsa, Dioma: Malang, 2006. hal. 179

Menghadirkan Gereja sebagai Misteri Komunio dalam Jemaat Multikultural

I.            Pengantar
Gereja  ada dalam dunia dan memiliki tugas perutusan dalam dunia. Pernyataan ini mau menggambarkan realitas Gereja yang hidup dari dunia beserta gejolak-gejolak yang ada dalam dunia itu sendiri. Realitas Gereja inilah yang kerap kali menimbulkan persoalan karena dalam Gereja itu sendiri terdapat begitu banyak paradoks. Selain itu keberadaannya  dalam dunia adalah juga sebuah panggilan ilahi yang menghimpun umat manusia dari berbagai latar belakang mereka yang berbeda-beda. Latar belakang itu secara jelas melingkupi cara pikir, kebudayaan, pendidikan dan latar belakang lainnya yang serta merta dalam dirinya yang kemudian mereka bawa ke dalam Gereja sebagai suatu persekutuan. Keberagaman manusia dengan keunikan mereka masing-masing ternyata juga menimbulkan masalah dalam Gereja itu sendiri. Gereja yang sungguh terbuka menerima semua orang dari berbagai latar belakang itu kerap menimbulkan gejolak tersendiri.
Berangkat dari situasi Gereja itu, penulis ingin mencoba menganalisa gejolak itu yang timbul dari salah satu latar belakang jemaat yaitu segi keberagaman budaya. Oleh penulis, keberagaman itu disebutkan dengan memakai sebuah terma yakni “multikultural”. Pemikiran ini muncul ketika penulis melihat situasi Gereja dewasa ini, khususnya Gereja Indonesia, yang muncul karena perubahan masyarakat dunia. Perubahan itu ternyata membuat Gereja menjadi jemaat yang berasal dari banyak budaya. Tak dapat disangkal lagi, ternyata situasi itu kerap membuat Gereja kewalahan menghadapi jemaat. Keberagaman budaya ini kerap memunculkan pengelompokan dalam tubuh Gereja terutama dalam Gereja yang berada di perkotaan. Oleh penulis, pengelompokan itu  merupakan suatu fenomena masyarakat yang dapat menimbulkan perpecahan dalam tubuh Gereja itu sendiri apalagi ketika semangat ekslusivisme budaya meracuni kelompok itu. Bagaimana Gereja menghadapi ini? Atau sebelum terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja yang kudus itu, wajah Gereja apa yang harus diterapkan? Dan model Gereja apa yang harus diterapkan dalam masyarakat multikultural itu?

II.         Masyarakat Multikultural
a.   Multikultural sebagai Fenomena Masyarakat [1]
Secara umum, multikultural berarti situasi masyarakat yang beraneka ragam budayanya. Kata ini merupakan sebuah kata sosiopolitis yang relatif masih baru, yang dikaitkan dengan filsuf McGill Universitas Kanada, Charles taylor, yang dewasa ini tersebar dalam dan mempengaruhi secara kuat wacana ilmiah publik politik maupun filsafat. Sebagai sebuah terma sosiopolitis, tentulah terma ini senantiasa menyangkut persoalan tentang masyarakat dalam bidang politiknya. Nampaknya akan lebih jelas bila dimengerti lebih dahulu etimologi dari terma ini secara leksikografis. Multikultural berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata “multus-i”, yang artinya banyak, beragam dan dari kata “cultura” yang artinya kebudayaan sehingga dari etimologi ini, kata “multikultural” menunjuk pada realitas bahwa di tengah satu konteks masyarakat terdapat banyak (multi) budaya (kultur), ada banyak manusia pemakai, pendukung, penghayat budaya, yang membuat budaya itu hidup, dinamis, dan berkembang. Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa hal penting mengenai multikultural ini. Disebut multikultural bila keberagaman budaya itu berada dalam satu kontek masyarakat dan juga setiap budaya itu dihidupi, didorong, dan dihayati oleh sekelompok orang sesuai dengan budayanya masing-masing sehing semua budaya itu dinamis, hidup dan berkembang.
Secara realis, multikultural tidak lain ialah kesadaran sosial yang hidup bahwa di tengah satu konteks masyarakat, meskipun lingkup geografisnya sangat sempit, ada banyak budaya. Lebih lanjut, kesadaran sosial itu selalu berdimensi etis artinya selalu menuntut kesadaran yang bersifat intensional dan tanggung jawab. Dengan demikian, kesadaran akan dimensi sosio-etis itu pada gilirannya menuntut tanggung jawab moral berupa penghormatan (reverence), pengakuan (recognition), cinta dan perhatian fundamental akan ada dan kehadiran orang lain. Jadi, multikultural itu mengandung kesadaran akan ada dan kehadiran orang lain (heterologi), juga mengandung kesadaran akan tanggung jawab etis-asimetris akan sesama (habitus), dan juga mengandung spiritualitas hati.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa multikultural pada dasarnya adalah suatu fenomena masyarakat yang dapat memberikan suatu sumbangan besar bagi setiap anggota masyarakat bila masing-masing anggota mampu menyadari bahwa dia berada dalam masyaratak multikultural. Disebut fenomena karena pada dasarnya masyarakat multikultural tidak terbentuk secara langsung melainkan terbentuk sesuai dengan pekembangan zaman. Boleh dikatakan, terbentuknya masyarakat yang multikultural tidak terjadi dari sejak manusia ada. Malah boleh dipastikan bahwa dahulu manusia tinggal dalam suatu daerah tertentu dengan masyarakat yang budayanya sangat homogen. Misalnya: dahulu di tanah Batak, yang tinggal di sana adalah hanya orang yang berbudaya Batak saja. Demikian juga dengan budaya lain dengan daerah mereka masing-masing. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya nama budaya sangat erat dengan nama daerah dimana budaya itu hidup, dinamis dan berkembang.
 b.   Dampak Multikultural dalam dwi wajah : Sisi Positip dan Sisi  Negatip
Seperti yang disebut di atas, multikultural merupakan suatu fenomena masyarakat yang memberi sumbangan bagi setiap budaya yang ada dalam masyarakat itu dan juga bagi setiap anggota masyarakatnya. Hal ini tentunya tidak terjadi begitu saja melainkan melalui suatu proses. Untuk mendapatkan sumbangan itu, setiap budaya harus mampu mengusung suatu prinsip inklusif di mana setiap anggota masyarakat itu tidak membangun sikap eksklusif. Prinsip inklusif ini tentunya tidak bermaksud untuk mengorbankan budaya lain melainkan dengan prinsip ini sangat dimungkinkan bahwa setiap budaya akan dapat saling memperkaya. Selain itu, keberagaman budaya ini tentunya akan membentuk suatu nilai yang dapat diakui bersama dan nantinya dihidupi bersama. Misalnya nilai kebersamaan, cinta kasih, saling menghormati dan nilai lain.
Akan tetapi multikultural juga ternyata memiliki wajah lain. Fenomena  multikultural  ini bisa juga dibelokkan oleh manusia yang menjadi anggota masyarakat ke arah yang negatif. Dengan kata lain disebutkan bahwa fenomena multikultural adalah suatu wilayah yang rawan untuk terciptanya wajah negatif. Dalam hal apa fenomena ini menjadi salah? Keberagaman budaya dengan anggota-anggota setiap budaya itu bisa menjadi bersikap eksklusif demi pengembangan budaya masing-masing. Dalam hal ini yang terjadi adalah munculnya persaingan-persaingan tidak sehat seperti nepotisme, kolusi dan juga korupsi. Demi menjaga kelestariaan budaya masing-masing, sangat mungkin seorang pejabat pemerintah yang berasal dari salah satu budaya tertentu bertindak nepotis dengan memberikan jabatan kepada orang yang berasal dari budayanya sendiri. Lebih lagi dampak yang lebih membahayakan adalah terbentuknya paham “multikulturalisme”. Penulis tidak mengabaikan sisi positip dari paham ini. Akan tetapi penulis hanya melihat adanya bahaya yang lebih besar bila paham ini disalahgunakan. Adapun bahaya bila paham ini diterapkan adalah bahwa usaha untuk semakin mengembangkan kelompok masing-masing akan mendapat legitimasi yang melemahkan nilai kesatuan masyarakat. Selain itu, terbukalebarnya kesempatan bagi budaya-budaya tertentu untuk membentuk suatu politik “cagar budaya” sebagai usaha untuk melindungi budayanya dari hubungan atau pengaruh luar demi kemurnian budaya itu. Dan usaha ini pasti menimbulkan ketidakadilan bagi budaya lain. Pada umumnya hal ini terjadi pada budaya setempat atau budaya asli suatu daerah.

III.      Gereja dalam Masyarakat Multikultural
a.   Multikultural sebagai berkat dan tantangan bagi Gereja Indonesia
Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan terma multikultural, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana terma ini dilihat dari sudut pandang Gereja sendiri? Apakah fenomena masyarakat ini merupakan sebuah berkat atau sesuatu yang menawarkan tantangan tersendiri bagi Gereja? Pada hakekatnya Gereja itu berada di dalam dunia sehingga tidak mungkinlah Gereja dilepaskan dari dunia. Dalam dunia, manusia menciptakan budaya yang mereka hidupi, hanyati dan kembangkan. Dan karena perubahan serta perkembangan dunia, budaya itu berkembang dan berubah juga. Salah satu produk dari perkembangan itu adalah terciptanya fenomena multikultural.
Sebagai kumpulan manusia yang terpanggil dari berbagai latar belakang budaya, tentulah fenomena ini masuk dalam hidup Gereja menggereja. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam satu paroki sudah terdapat umat dari berbagai budaya. Sebagai contoh: di salah satu paroki Keuskupan Malang, sebut saja Paroki St. Andreas Tidar, jemaatnya terdiri dari berbagai budaya: budaya Cina, Flores, Batak, Dayak, Jawa dan banyak lagi. Bukankah ini tidak masuk dalam fenomena multikultural? Jadi, boleh dikatakan bahwa ternyata multikultural juga merupakan fenomena jemaat Gereja.
Seperti yang disebut di atas, sebagai suatu fenomena, multikultural  tidaklah terbentuk secara langsung. Demikian juga halnya dalam Gereja. Fenomena multikultural  tidaklah terbentuk begitu saja melainkan telah melalui proses. Selain itu, fenomena ini tentunya memberikan dampak bagi hidup Gereja menggereja. Akan sangat berbeda bila dibandingkan realitas antara hidup Gereja di Indonesia pada awal masuknya Gereja denga hidup Gereja sekarang ini. Pada awal masuknya Gereja ke Indonesia, masyarakat Indonesia masih bersifat homogen dalam bidang budaya. Sekarang sungguh sangat berbeda. Ini berarti bahwa ternyata fenomena multikulturasi sungguh memberikan pengaruh bagi hidup Gereja menggereja di Indonesia.
Dari kedua dampak yang telah disebut pada sub-bab: “Dampak Multikultural dalam dwi wajah : Sisi Positip dan Negatip” di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bagi Gereja fenomena ini dapat menjadi berkat sekaligus tantangan. Berkat bila setiap anggota tetap membangun  sikap yang benar dalam situasi itu serta berusaha menghidari sikap yang salah. Harus diakui bahwa dalam hal dampak, fenomena multikultural merupakan wilayah yang sangat rawan. Dengan dengan demikian, fenomenan ini juga dapat menjadi tantangan berat bila dampak negatif itu muncul.   Dan bahkan  bila multikultural berobah menjadi paham, bisa jadi  fenomena ini juga berobah menjadi ancaman bagi persatuan jemaat.

b.   Seberkas Cahaya dalam Kegelapan
Mungkinkah Gereja menghindar? Berhadapan dengan masalah ini secara tegas harus dijawab bahwa Gereja tidak boleh menghindar melainkan menghadapinya karena ini adalah fenomena dalam masyarakat. Selain itu harus diakui bahwa Gereja menghargai kebudayaan. “Sebab Allah yang mewahyukan Diri kepada umatNya hingga penampakan diriNya sepenuhnya dalam PuteraNya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan khas bagi pelbagai zaman. Begitu pula Gereja, yang di sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam (GS 58).  
Sebagai tantangan, Gereja harus menghadapinya dengan dewasa karena Gereja dipanggil untuk mewartakan kebenaran terutama bila ketidakbenaran yang muncul. Dengan demikian, sangatlah mungkin Gereja akan semakin dewasa karena ini merupakan suatu tantangan pada zaman ini.  Pendewasaan Gereja inilah yang menjadi seberkas cahaya bagi Gereja. Dengan kata lain demi pendewasaan Gereja, Gereja harus memberi tanggapan terhadap tantangan ini.
 
IV.      Gereja sebagai Misteri Komunio
Salah satu model Gereja yang telah lama dipakai untuk menggambarkan Gereja adalah “komunio”. Model Gereja sebagai komunio ini merupakan hasil karya antara teologi dan sosiologi. Dikatakan bahwa dalam ekklesiologi Katolik Roma, Gereja dipelajari dalam buku Arnold Rademacher, Die Kirche als Gemeinschaft und Gesselschaft” melalui terma-terma kategori Tonnies, yang lebih lanjut dia artikan bahwa Gereja ada dalam inner core komunitasnya (Gemeinschaft) dan dalam outer core-nya ada sosietas (Gesellschaft) dan komunitas merupakan Gereja yang “nyata” sebagaimana dikontraskan dengan Gereja yang fenomenal, itu  bertepatan dengan Kerajaan Allah dan dengan persekutuan para Kudus. [2]
Komunio sering juga disebutkan sebagai persekutuan, koinonia dan paguyuban. Hal ini berarti bahwa Gereja bisa dilihat dalam “wujud sosial iman Kristiani”.

a.   Dalam Terang Konsili Vatikan II [3]
Oleh Konsili Vatikan II karya Roh Kudus dalam Gereja direfleksikan dengan menggunakan gagasan communio (koinonia). Kemudian, Gereja digambarkan sebagai communio: persekutuan Allah dan manusia. Gambaran ini jela terungkap dalam konstitusi dogmatik LG yang mengatakan bahwa “ di dalam Kristus Gereja merupakan sakramen, yaitu tanda dan alat kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia” (art. 1). Namun agar gagasan communio dapat dipergunakan sebagai kunci menafsir eklesiologi, gagasan ini harus dimengerti menurut ajaran biblis dan tradisi patristik yaitu bahwa communio selalu mencakupi dua dimensi : dimensi vertikal (communio dengan Allah) dan dimensi horizontal (communio antar manusia).
Pada hakekatnya, communio berarti persekutuan dengan Allah (dimensi vertikal). Hal ini dipertegas dalam LG 2 yang mengatakan bahwa “ Atas keputusan kebijaksanaan serta kebaikan-Nya yang sama sekali bebas dan rahasia, Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup Ilahi.” Ini berarti bahwa communio  berakar dalam keputusan Allah yang abadi untuk menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia dapat memperoleh kebahagiaan dalam communio Allah Tritunggal sendiri. Pikiran yang sama dapat ditemukan dalam Konstitusi DV 2: “ Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul denganmereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya.” Selain itu, communio inilah yang merupakan tujuan universal seluruh sejarah umat manusia, terlaksanan secara istimewa di dalam sejarah itu dala diri Yesus Kristus. Lebih lagi communio antara Allah dan manusia yang diciptakan Yesus Kristus dalam hidup-Nya yang unik dan historis konkret dilanjutkan oleh Roh Kudus. Maka, Misteri Gereja ialah bahwa dalam Roh dan melalui Kristus kita manusia memiliki jalan kepada Bapa dan dapat mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dalam communio dengan Allah Tritunggal.
Mengenai dimensi horizontal dokumen GC menyatakan bahwa “hubungan baru antara manusia dan Allah, yang diadakan oleh Kristus dan dibagikan melalui sakramen-sakramen, mencakup juga hubungan baru antar manusia sendiri.” Hal ini berarti hubungan baru antar manusia itu haruslah senantiasa meneladani persatuannya dengan Allah dan juga persatuan antara Allah Bapa dengan Yesus Kristus dalam kuasa Roh kudus. Dalam hal ini Gereja juga merupakan suatu realitas yang kompleks sebagaimana dibeberkan dalam Konstitusi LG 8: ”namun demikian masyarakat yang dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan Tubuh mistik Kristus, umat yang dapat dilihat dan persaudaraan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia sorgawi janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan semua itu merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi.” Dengan kata lain bahwa keduanya itu bukanlah hal yang paradoks melainkan merupakan kesatuan dalam Gereja.
 b.   Dalam Terang Katekismus Gereja Katolik [4]
Dalam syadat Para Rasul, setelah pengakuaan akan “Gereja Katolik yang kudus” menyusul pengakuan akan “persekutuan pada kudus”. Dengan kata lain pengakuan ini sama dengan mengakui bahwa Gereja adalah persekutuan para kudus.  Hal ini ungkapan “persekutuaan para kudus” memiliki dua arti  yang berhubungan erat antara satu dengan yang lain yaitu: “Persekutuan dalam hal-hal kudus (sancta)” dan “persekutuan antara orang-orang kudus (sancti)”.
-          Persekutuan dalam hal-hal rohani
Persekutuan dalam hal-hal rohani mencakup: persekutuan dalam iman, persekutuan dalam Sakramen-sakramen, persekutuan dalam karisma-karisma. persekutuan dalam cinta.

-          Persekutuan Gereja di Surga dan di Bumi
Sedangkan itu, persekutuan Gereja di Surga dan di Bumi mencakup persekutuan dengan para orang kudus, persekutuan dengan yang telah meninggal dan persekutuan dalam keluarga Allah yang tunggal.
 
V.         Penutup
Setelah melihat penjelasan tentang kedua tema besar di atas yaitu antara multikultural  sebagai fenomena masyarakat (juga Gereja) dan Gereja sebagai misteri Komunio, maka tiba saatnya mengulas bagaimana  model Gereja sebagai misteri Komunio dapat dijadikan sebagai gambaran Gereja dalam menghadapi fenomena masyarakat itu.
Sebagai komunio, Gereja harus dihadirkan dalam semua aspeknya baik aspek persekutuan dengan Allah maupun aspek persekutuan antara manusia. Jemaat Gereja yang berasal dari beragam budaya itu harus senantiasa dirangkul dalam persekutuan itu dengan penuh cinta. Dengan meneladani  persekutuan Tritunggal, kiranya persekutuan itu harus tetap dijaga. Oleh Gereja, tangal Allah yang senantiasa terbuka kepada mereka yang tertindas juga senantiasa harus dihadirkan. Tidak boleh dalam keberagaman itu muncul benih-benih diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Fenomena multikultural  pada umumnya menawarkan indahnya keberbedaan dalam hidup bersama. Selain itu fenomena ini juga menjadi ladang bagi Gereja untuk membangun jemaat yang semakin berusa mengusung arti dari paguyuban sebagai bentuk konkrit persekutuan manusia dengan Allah.
Sebagai persekutuan dalam karisma-karisma, peranan Roh Kudus tidak boleh diabaikan. Roh Kudus senantiasa membagi-bagikan "anugerah-Nya kepada tiap orang sekehendak hati-Nya, dan memberikan karunia khusus di antara umat dari berbagai tingkat", demi pembangunan Gereja (LG 12). "Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama" (1 Kor 12:7). Demikian halnya bahwa setiap budaya harus dilihat sebagai anugerah Roh Kudus bagi Gereja yang pasti memberikan warna baru bagi Gereja.
Dengan demikian, multikultural sebagai fenomena masyarakat yang juga menjadi fenomena Gereja harus ditanggapi oleh Gereja sebelum dia berubah menjadi suatu paham. Dan cara yang paling tepat untuk menanggapi adalah dengan menghadirkan model Gereja sebagai Mistik Komunio.


[1] Bdk., Fransiskus Borgiaf M, Urgensi Pembelajaran Multikultural,  dalam Fransiskus Borgiaf M (eds.)  Prof. Dr. Mgr. N.J.C. Geise, O.F.M.: juragan visioner. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hal. 172.
[2] Bdk. Every Dulles, Models of the Church, New York: Doubleday, 1978, hal. 48.
[3] Bdk. Rm. Raymundus Sudhiarsa, SVD,  Diktat Eklesiologi. Hal. 78-80
[4] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru SVD (Ende:  Arnoldus 1995). Art. 9, pasal 5, hal.  274-277.