Perjalanan adalah sebuah peziarahan yang penuh lika-liku hidup yang tak
pernah selesai yang diakhiri oleh permulaan peziarahan dalam hidup yang
baru. Jiwa dan raga disatukan bagaikan
sinar mentari mengiringi gerakan lincah putaran angin, bagaikan alunan merdu melody
musik yang dihasilkan pemusik, bagaikan puisi dengan pujangga. Di atas jalan
berliku, kesatuan itu menjadi indah dalam diri insan para peziarah. Di bawah
langit, kesatuan itu menciptakan irama yang terlukiskan, memancarkan sinar yang
memesonakan dunia, mematahkan ketakutan dan kegelapan hati.
Aspal
hitam kelabu menyelimuti jalan panjang Malang-Balaikambang ketika enam insan
manusia melakukan pengembaraan hidup. Asap mesin buatan para penjajah modern
mengurung jiwa dan raga mereka. Sengatan sinar mentari menghisap cairan tubuh
yang sedang berjuang tiada henti menyegarkan raga. Jalinan benang yang
menyelubungi tubuh menjadi pelindung bagaikan mantol indah Salomo yang sudah
menjadi kusam karena termakan waktu. Semangat mereka tetap membara dalam hati
seraya bersorak gembira memecah kebisingan mesin-mesin tua “Balaikambang, We
are coming!”
Tiga
motor dari berbagai generasi menjadi saksi utama perjalanan itu. Honda pasti
melihat dari atas sana. Dengan mata cipit hampir ngatuk dan senyum yang terukir
abadi di bibirnya sembari berteriak kegirangan membuat Mitsubisi, Yamaha dan
Suzuki iri seperempat mati, “Hore, para Pengembara sedang menunggangi kuda
bajaku!!” Akan tetapi, ada suatu hal yang hampir ketinggalan dari alam siang
itu. Di tengah kecerian dan semangat keenam insan itu, langit menunjukkan rasa
cemburunya. Wajahnya yang cemberut menjadikan atap bumi menjadi kelabu. Di
depan sana, air mata si wanita tua itu mulai bercucuran. Dari sebentuk gerimis
yang tak pernah diundang hingga siraman panah hujan tangisan itu turun dengan
garang membuat debu jalan tunduk malu dan menghilang secara teratur dari muka
bumi pertiwi. Tapi keenam insan itu tetap menerjang dengan berjuta kata keluar
dari rongga mulut walau pelindung tubuh sudah tembus. Dalam hati mereka hanya
ada satu hasrat yang sama hingga akhirnya memutuskan suatu prinsip “mundur
sejenak untuk maju seribu langkah!” Mencari tempat berteduh seakan-akan menjadi
buah yang ranum dari prinsip itu. Saat itu juga muncul ungkapan hati yang mampu
membungkus buah ranum itu “Perhentian Pertama!”. Hati kecil sepertinya agak
risih dengan itu, karena yang pertama pasti melahirkan yang kedua. Itulah hukum
alam.
Penjaga
langit nampaknya semakin bergirang dengan peristiwa itu. Membuat siasat timbul
dari pikiran. Menahlukkan air mata si wanita tua sepertinya suatu hal yang tak
mungkin. Mengatur strategi menjadi putusan bersama. “Kita akan berjalan ketika
siraman panah hujan berubah menjadi cipratan gerimis, dan berteduh ketika dia
kembali menjadi siraman panah!!” Semangat yang membakar hati tanpa
menghanguskan raga bersemburan liar dari setiap insan yang membuat mereka serempak berkata “Amin”.
Perubahan
pun terjadi. Siraman panah hujan perlahan berubah menjadi gerimis yang datang
dengan malu-malu. Satu-satu batu kerikil yang terlindas bergembira ria karena
merasa memberi jasa kepada para pengembara. Satu, dua hingga berjuta-juta
kerikil yang merapatkan barisan dalam aspal hitam pekat pun terlewati. Hati,
mulut dan telinga pun disatukan dalam setiap percakapan tentang seribu tema
yang memancarkan berjuta senyum di bibir. Satu meter, dua meter dan beribu
meter pun terlampaui tanpa terasa karena pikiran telah disedot habis oleh
kata-kata yang menjalin rasa hingga kesadaran akan hal yang lain. Lagi-lagi, si
wanita tua menangis. Tidak ada lagi gerimis yang hadir malu-malu. Siraman panah
membuat sekujur tubuh terasa digerogoti oleh rasa dingin yang mulai menggigil.
Nampaknya si wanita tua tidak tahan lagi melihat kemesraan, kesatuan jiwa dan
raga, keterhubungan kata-kata yang membangun menara cerita kasih. Hingga suatu
detik, prinsip “mundur untuk maju sejuta langkah” muncul dalam sanubari. Dan
sungguh, perhentian kedua telah ditentukan oleh alam. Lagi-lagi hukum alam.
Mengabadikan
kisah dalam cam olympus dan cell phone di bawah atap teras toko mobil menjadi
senjata handal menghalau kecemburuan si wanita tua. Segudang flag mobil yang
berbaris rapi seperti kebiasan para tentara menjadi saksi bisu dari peristiwa
unik itu. Gerobak bakso pun ikut tersenyum tersipu sembari menghembuskan bau
enak dari ramuan bumbu yang rela direbus ketika melihat kilatan cahaya kecil yang
keluar dari kotak kecil ciptaan bangsawan Nokia itu. Setika itu juga, senyuman
dan berbagai macam gaya dari setiap insan pengembara itu menjadi abadi. Peristiwa
itu seakan-akan menyedot semua perhatian sampai melupakan ancaman dewi langit
dan menyingkirkan pesona kebosanan yang dihasilkan si penyihir waktu. Ratusan
detik pun tunduk di bawah kaki keceriaan wajah. Gerimis pun hadir dengan
sekelumit rasa bangga dicelah-celahnya. Melanjutkan pengembaraan pun dimulai.
Si
kuda baja pun dibangkitkan dari tidurnya. Mereka sungguh ada di pihak para
pengembara. Panggilan untuk setia ditunggangi sungguh mereka hanyati. Ternyata
amukan si wanita tua membuat jalan terlihat kehilangan bentuk. Setiap titik
debu menghilang dari atasnya diganti dengan berjuta titik air yang
menggenanginya. Bagi para pengembara, bencana kecil yang muncul di atas jalan
itu ternyata menjadi bahan pokok kecerian. Dengan menggunakan kesetiaan si kuda
baja, para pengembara itu pun mempermainkan titik-titik ari itu. Putaran kaki
hitam si kuda baja membelah ikatan titik-titik air itu sehingga menimbulkan
bunga air di belakang pengembara. Senyuman dan tawa pun terukir dibibir.
Kedekatan dan kebersaamaan pun seolah-seolah membangun istana dalam hati
mereka. Sungguh, ketika bencana berubah menjadi sumber keceriaan, segalanya
menjadi indah. Lagi-lagi si wanita tua tidak tahan lagi dengan rasa cemburunya.
Mengeluarkan air mata pun menjadi putusannya. Perhentian ketiga pun muncul.
Teras rumah sempit yang terhampar di pinggiran jalan menjadi istana kecil.
Lagi-lagi
jasa cam olympus yang mulai lapar pun dipermainkan oleh jemari. Mengabadikan
tempat dengan berjuta senyuman yang menghiasi istana itu menjadi bius yang
sangat mujarab. Kebersamaan, keceriaan, senyuman dan cinta berhamburan dari
wajah imut dan lugu seraya menahan rasa dingin yang menelurusi setiap lapisan
tubuh. “Biarlah Tubuhku digerogoti dengan berjuta cambuk, tapi hatiku takkan
runtuh karena semangatku menopang niatku!” Suatu untaian kata yang lahir tanpa
butuh penyair karena si pengembara telah mulai menemukan arti sebuah pengembaraan.
Rasa syukur tiba-tiba terucap kepada segudang plastik kecil irisan telo yang
dilemur dengan warna merah si kecil pedas. Di antara celah kata dan senyum,
irisan demi irisan berubah menjadi bubur dalam rongga mulut. Si kecil pedas pun
beraksi memberi energi panas melalui lorong-lorong usus. Segalanya menjadi
indah karena keterpaduan berbagai eksistensi yang sederhana. Raga pun ikut
bersuka cita bersama dengan jiwa. Si wanita tua tiba-tiba kalah dengan hadirnya
pangeran api. Atap bumi perlahan-lahan menjadi cerah.
Perjalanan
pun dimulai kembali. Ribuan meter jalan masih menanti untuk dilindas. Akan
tetapi, si wanita tua tidak mampu lagi. Tenaganya sudah habis karena rasa
cemburunya. Semangat pun semakin bergelora karena bau garam laut mulai tercium.
Bukit-bukit kecil mulai tampak bertengger di depan sana. Akan tetapi bukit
adanya berlapis. Dibalik bukit masih ada bukit. Bau garam laun pun semakin
terasa. Kehangatan semakin membakar raga hingga tiba di tempat tujuan.
“Balaikambang, we are on you.!”