Total Tayangan Halaman

Senin, 12 September 2011

“Marmitu” di Lapo Tuak (Sumbangan Budaya Batak dalam Konstruksi Budaya Nasional)


 foto dari :http://junedihutagaol.wordpress.com/2009/05/21/8/

I.         Pengantar
Membangun Kebudayaan Nasional menjadi suatu tugas yang mendesak terutama pada abad-abad terakhir ini dan di era globalisasi ini. Gempuran-gempuran yang dilontarkan oleh kebudayaan manca Negara semakin kuat mengingat semakin mudahnya berbagai kebudayaan itu masuk dalam Negara Indonesia. Munculnya berbagai macam pengaruh pun semakin terasa yang mengakibatkan terjadinya perubahan budaya dalam Negara ini. Negara yang tidak mengenal identitasnya dengan sendirinya akan lebur terbawa arus dan tidak ada lagi kata untuk kembali. Hubungan antara Kebudayaan Nasional dengan identitas ini pun dipertegas oleh Koentjaraningrat. Beliau menegaskan bahwa gagasan”Kebudayaan Nasional”dibutuhkan untuk mengintensifkan perasaan identitas nasional dan solidaritas nasional warganya.[1] Menghadapi situasi kebudayaan seperti ini, tidak mengherankan bila gagasan untuk membangun Kebudayaan Nasional ditimbulkan yang disertai nada mendesak.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman budaya dengan corak masing-masing yang sangat khas. Kekayaan ini membuat bangsa ini memiliki kebudayaan yang sangat kompleks. Parsudi Suparlan memperkirakan ada 500 suku bangsa yang menghuni wilayah geografis ini.[2] Ini menandakan bahwa dalam rangka membangun Kebudayaan Nasional, kita tidak bisa melupakan keberadaan suku-suku bangsa yang dimiliki bangsa ini. Adanya peranan suku ini juga dipertegas oleh Prof. Soerjanto Poespowardojo dengan mengatakan bahwa salah satu cara untuk merealisasikan tujuan Kebijakan Kebudayaan Nasiona adalah dengan membina dan memupuk kebudayaan daerah sebab justru kebudayaan daerahlah, sebagai penghayatan masyarakat, yang mampu memberikan benih serta unsure-unsur yang perlu ditingkatkan ke taraf Kebudayaan Nasional.[3]
Berangkat dari desakan untuk membangun Kebudayaan Nasional ini serta bagaimana peranan kebudayaan daerah ini, maka penulis hendak memaparkan tentang hal-hal apa yang bisa disumbangkan dalam membangun Kebudayaan Nasional ini. Penulis akan menganalisa bagaimana kebiasaan “marmitu” dalam budaya Batak Toba dapat memberikan nilai-nilai posotif tanpa mengabaikan hal-hal negatif yang bisa timbul dari kebiasaan itu.

II.      Manusia Batak Toba dan Budaya Batak Toba
Berbicara soal budaya, pertama-tama harus dicapai dulu suatu konsep yang jelas tentang manusia yang berbudaya itu. Berbicara soal budaya Batak Toba, maka langkah pertama adalah dengan bertanya “siapakah itu orang Batak Toba yang memiliki budaya itu?” Dalam mitologi penciptaan manusia yang berkembang di dalam budaya Batak Toba terdapat beberapa versi mitos berkaitan penciptaan manusia.[4]  Salah satu cerita mitos yang paling terkenal adalah mitos yang menceritakan bahwa orang Batak pertama bertempat tinggal di Pusuk Buhit yang turun dari Banua Ginjang (dunia atas) dan nenek moyang mereka adalah keturunan putri dewa Batara Guru bernama Si Boru Deak Parajar yang kawin dengan putra dewa Balabulan bernama Tuan Ramauhir atau Tuan Rumagorga.[5] Nenek moyang ini pun diyakini memiliki keturunan dan pada akhirnya melakukan perpindahan ke daerah tanah Batak sekarang.
Orang Batak Toba memiliki identitas yang khusus karena memiliki marga, bahasa, kesusteraan, agama, upacara adat dan kesenian yang khas. Setiap Orang Batak selalu memiliki marga yang diturunkan dari marga bapaknya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Batak Toba yang lengkap dengan aksaranya. Orang Batak juga telah memiliki agama sebelum masuknya agama-agama besar seperti Kristen dan Katolik yang lajim disebut sebagai agama “Parmalim”. Pada zaman sekarang ini, agak sulit menentukan daerah Batak Toba yang ditempati oleh orang Batak Toba sendiri karena penyebarannya yang sulit untuk dialokasikan.
Dari identitas di atas dapatlah dikatakan bahwa Orang Batak Toba juga telah memiliki suatu kebudayaan tertentu yang disebut dengan Budaya Batak Toba. Hal ini terungkap jelas dari isi dari kebudaan itu sendiri yang telah disebut di atas seperti agama, upacara adat, bahasa dan lain-lain. Dengan demikian, Orang Batak Toba dapat disebut sebagai kelompok orang yang telah memiliki identitas bersama yang dimiliki dalam budaya itu sendiri.

III.   Marmitu: Bagian dari Budaya Batak Toba
a.        Tuak sebagai bahan dasar
Untuk mengerti apa itu tuak dan bagaimana pengaruhnya, baiklah kita melihat lebih dahulu satu untaian kata-kata berikut ini:
“Satu gelas tuak, penambah darah, dua gelas tuak, lancar bicara.
Tiga gelas tuak mulai tertawa-tawa, empat gelas mencari gara-gara.
Lima gelas tuak semakin membara, enam gelas membuat perkara.
Tujuh gelas tuak semakin menggila, delapan gelas membuat sengsara.
Sembilan gelas tuak masuk penjara, sepuluh gelas masuk neraka.”[6]
Tuak adalah sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren (Arenga pinnata).[7] Dalam tradisi Batak Toba aren atau mayang enau itu diolah dengan sedemikian rupa oleh seorang paragat. Tentunya tidak langsung jadi artinya seorang paragat harus melakukan beberapa “ritus” agar pohon aren itu bisa menghasilkan cairan yang banyak. Bagian yang diolah adalah pangkal dari buahnya. Setelah melakukan pemotongan terhadap mayang itu, paraga itu selanjutnya akan menampung tetesan air mayang itu ke dalam tempayan bambu. Rasa air mayang itu adalah manis. Untuk memberikan alkohol, paragat pun akan memberikan raru dan memasukkannya ke dalam tempayan bambu itu. Tuak itu akan diambil dua kali sehari, pagi dan sore.
Dalam harian SIB (Rabu, 7Juli 2010, hlm 13) Bulman Harianja membagi istilah tuak itu dalam beberapa macam: pertama, tuak natonggi (manis) yaitu tuak asli yang masih manis yang dapat diolah menjadi gula merah (aren). Kedua, tuak tangkasan yaitu tuak tanpa dicampur zat cair lain kecuali raru. Ketiga, tusor yaitu tuak sore yang disajikan untuk sore hari dan malam hari. Keempat, Tuak angsa adalah tuak yang rasanya asam dan jika diminum mata pun dipicingkan dan setelah diteguk suara akan mendesah seperti suara angsa. Kelima, tuak kapal selam yaitu tuak yang berisi seekor binatang kecil di dalam gelas yang hidup di pohon enau. Keenam, tuak bagot puli yaitu tuak yang berasal dari enau yang kerdil dan mini. Dan ketujuh, tuak mallupuk yaitu tuak yang biasa dimasukkan ke dalam botol dan ditanam selama 3 hari 3 malam di dalam tanah.
Dalam berbagai kesempatan, tuak ini menjadi menu utama yang harus ada. Kesempatan-kesempatan atau acara itu adalah marmitu, pesta adat, untuk wanita yang baru melahirkan, untuk rapat-rapat bersama dll. Dalam berbagai kesempatan itu, tuak sering dilihat sebagai bahan dasar karena orang Batak akan merasa kehilangan sesuatu bila tuak tidak dijadikan sebagai menu utama. Memang sebagai dasar hal ini tidak untuk mengatakan bahwa tanpa tuak acara tidak jadi melainkan untuk menegaskan bahwa tuak dipakai untuk memperlancar  pembicaraan.

b.        Dari partungkoan sampai lapo tuak atau pakter tuak
Marmitu adalah kegiatan minum tuak bersama yang dilakukan oleh beberapa orang sambil bernyanyi ria. Kegiatan ini pada awalnya dilakukan di tempat partungkoan yang adalah tempat orang berkumpul untuk minum tuak di bawah sebuah pohon rindang seperti pohon beringin atau jabi-jabi dengan menggelar tikar (lage).[8] Tempat ini sempat beredar pada zaman tradisional Batak dan setiap lumban (kampung) biasanya memilikinya yang ditempakan di salah satu pojok kampung. Jenis tuak yang akan disediakan di tempat ini adalah “tuak tangkasan” yaitu tuak yang diberi “raru” (salah satu kulit pohon) dan tidak dicampur dengan zat cair lainnya. Mereka menyebut tuak ini sebagai tuak “si paulak hosa loja” yang artinya tuak yang dapat memulihkan stamina yang telah terkuras habis setelah bekerja seharian di ladang. Mereka yang datang ke partungkoan itu tidak hanya datang untuk minum tuak melainkan juga mengadakan interaksi dengan teman sekampung dengan berbagai ragam dialog seperti diskusi, berkelakar, dan juga berbicara soal adat, rencana pembangunan dan marsiadapari (gotong royong). Memang pembicaraan itu tidak pernah dijadikan sebagai pembicaraan formal seperti yang dilakukan di musyawarah desa. Akan tetapi, pada umumnya topik pembicaraan dalam musyarawah desa itu sering terinspirasi dari pembicaraan di partungkoan. Dengan kata lain, partungkoan bagi beberapa orang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Tempat minum tuak yang lebih besar adalah lapo tuak atau pakter tuak yaitu tempat untuk parmitu berasal dari beberapa kampung. Dengan kata lain, pengunjung untuk lapo tuak ini tidak lagi dibatasi hanya oleh orang satu kampung melainkan dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, status dan usia yang berbeda.[9] Lapo tuak ini juga berbeda dari partungkoan dari segi tempatnya. Tempat untuk lapo tuak  ini tidak lagi di bawah pohon tetapi berada dalam sebuah bangunan sederhana yang dibangun dengan sedemikian rupa dan dilengkapi dengan meja dan tempat duduk. Mereka yang datang ke tempat ini memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ada sekelompok orang yang datang hanya untuk minum segelas hingga dua gelas lalu pulang. Biasanya mereka itu hanya untuk memanaskan tubuh dengan tuak saja tanpa ikut mengobrol lama atau ikut bernyanyi. Akan tetapi yang paling dominan adalah mereka yang datang bukan hanya untuk minum tuak melainkan membuka kelompok nyanyian dan bernyanyi sampai puas hingga segala emosi terluap dengan baik.
Sebagai bahan yang dapat diperjualbelikan, tuak ternyata bisa menjadi peluang besar dalam bisnis jual beli. Yang menjadi pertanyaan, apakah memungkinkan bila minum tuak ini di bawa ke restoran terkenal atau gedung-gedung perbelanjaan abad modern ini? Hal ini bisa dijawab bila tuak dan tradisi marmitu itu dipisahkan. Bila tuak sebagai tuak dimasukkan dalam tempat-tempat pusat perbelanjaan, sepertinya tidak menjadi masalah karena tuak adalah minuman tradisional yang bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Salah satu contoh kegunaan tuak untuk masyarakat yang lebih luas lagi adalah: bagi wanita yang baru melahirkan anak minum tuak untuk memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya.[10] Akan tetapi bila tuak dikaitkan dengan marmitu, maka agak kesulitan bila marmitu itu diadakan di tempat-tempat modern seperti itu. Banyak orang Batak mengatakan bahwa bagus atau indahnya bangunan suatu lapo tuak tidak menentukan enak tidaknya tuak yang dijual. Bahkan, mereka mengatakan bahwa tuak yang paling enak itu adalah tuak yang dijual di lapo tuak yang bangunannya sederhana dan alami.

c.         Marmitu sebagai salah satu bentuk budaya Batak Toba
Minum tuak sudah menjadi kebiasaan bagi Orang Batak khususnya bagi laki-laki. Kebiasaan ini tentunya pasti membentuk karakter seseorang yang pada gilirannya juga akan membentuk karakter suatu masyarakat tertentu. Berangkat dari kebiasaan ini, lepas dari nilai positip dan negatifnya, marmitu dapatlah diangkat sebagai salah satu bentuk budaya Batak Toba. Kebiasaan ini akan jelas tampak bila kita mengunjungi beberapa kota di Indonesia ini yang pendududuknya menampung Orang Batak. Di kota itu pasti ada lapo tuak dan menjadi tempat untuk melestarikan budaya marmitu ini.  Itu berarti bahwa di mana ada orang Batak berkumpul dalam suatu daerah di sana umumnya terdapat lapo tuak. Fenomena budaya ini menjadi suatu hal yang sudah melekat dalam diri Orang Batak.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa itu marmitu dan apa yang ada di dalamnya? Di atas telah kami sebutkan bahwa marmitu adalah kegiatan minum tuak bersama yang dilakukan oleh beberapa orang sambil bernyanyi ria. Kata marmitu ini merupakan gabungan dari mar[11]+mitu. Sementera mitu adalah singkatan dari dari ­minum tuak. Jadi dari sini, bisa dimengerti bahwa marmitu itu berarti minum tuak yang dijadikan sebagai ungkapan khas dan dimengerti oleh banyak orang Batak apalagi oleh parmitu (orang yang sering marmitu). Ada beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dalam kegiatan ini. Pertama, mereka yang disebut parmitu ini melakukan kegiatan ini tanpa perencanaan. Artinya, mereka datang begitu saja dan ikut nimbrung. Awalnya dimulai oleh satu dua orang sambil bernyanyi bersama. Kedua, ketika bernyanyi para parmitu itu tanpa diperintah akan mengambil suara masing-masing setelah gitar dibunyikan. Dengan sendirinya akan kedengar paduan yang merdu walau tanpa arrangsement lebih dahulu. Mereka menyebut “feeling” untuk mengungkapkan kemampuan mereka dalam mengkombinasikan suara-suara itu. Ketiga, mereka bernyanyi tanpa melihat teks sehingga bila ada seorang dari antara mereka yang tidak tahu, dengan sendirinya dia akan berhenti sejenak lalu mendengar teman lainnya dan kembali ikut bernyanyi. Keempat, tujuan utama mereka adalah membentuk suatu paduan suara agar terdengar indah tanpa harus dibuat-buat. Mereka menyanyi dengan lepas sambil meneguk tuak yang disediakan.  
  
IV.   Nilai-Nilai Budaya Marmitu (Sebagai Sumbangan dan Keprihatinan)
Di atas telah diterangkan mengapa marmitu ini bisa diangkat sebagai suatu bentuk budaya dalam budaya Batak Toba. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apa nilai-nilai yang bisa diusung untuk membangun Budaya Nasional dan apa saja yang harus dihindari dari budaya budaya ini yang bisa menghambat pembangunan Budaya Nasional? Dalam penjelasan di atas, secara tidak langsung telah terungkap beberapa nilai penting dari marmitu ini. Bagaimana marmitu dilakukan bersama, menyanyi bersama, saling mendengarkan dan saling bahu membahu untuk menciptakan keindahan, itulah yang mereka lakukan. Jadi berikut ini penulis akan memperlihatkan beberapa nilai yang bisa diambil dari marmitu ini. Pertama, nilai kebersamaan. Kebersamaan dalam marmitu adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan dan ditinggalkan. Dan ini tidak akan mungkin terjadi karena dari jumlah parmitu saja bisa dilihat bagaimana kegiatan ini harus dilakukan secara bersama. Dengan kata lain, tidak ada marmitu yang dilakukan sendirian di mana saja. Kebersamaan ini juga akan semakin erat ketika mereka menyanyi dan saling memperhitungkan teman. Artinya, dalam marmitu tidak ada sifat untuk menyombongkan diri. Semua boleh bernyanyi entah itu suaranya pas-pasan sampai yang suaran sangat merdu. Saling mengenal pun muncul dari marmitu ini karena tidak ada yang ditutup-tutupi. Mereka semua saling terbuka melepaskan beban mereka karena tugas atau karena masalah kehidupan. Nahum Situmorang dengan indah pernah menggambarkan kebersamaan ini lewat lagu karagannya “Lissoi”. Dalam lagu itu dia menyapa semua parmitu yang sedang marmitu itu sebagai teman sependeritaan, seperjuangan lalu mengajak mereka untuk bergembira bersama melalui lagu-lagu. Lagu yang senantiasa teringat di sanubari para parmitu ini pada akhirnya akan membawa mereka pada suatu pemahaman dan pengalaman kebersamaan yang sangat mendalam. Ketika mereka bernyanyi bersama, tidak ada lagi yang memisahkan baik status sosial, profesi dan semua adalah sama.
Nilai yang kedua adalah nilai sosial. Dapat dikatakan bahwa melalui marmitu orang dapat dibentuk menjadi orang yang berjiwa sosialis. Hal ini terungkap jelas dari apa yang mereka lakukan. Ketika seorang bapak telah memesan tuak satu teko, maka dapat dipastikan bahwa tuak itu tidak akan dia habiskan sendirian. Dia pasti menuangkan tuak itu ke gelas temannya yang duduk di sebelah dan di depannya. Demikian juga yang akan dia alami bila yang memesan adalah temannya. Sikap saling berbagi menjadi suatu hal yang sangat penting dalam marmitu.
Kebiasaan bernyanyi bersama ini tentunya memberikan dampak yang sangat besar bagi tiap-tiap orang. Berlatih bernyanyi, keberanian untuk bernyanyi dan mau mendengarkan orang lain ternyata telah membentuk karakter manusia Batak yang pandai menyanyi.  Maka tidak mengherankan bila sejak zaman dulu sudah banyak grup penyanyi yang muncul karen kebiasaan ini. Sebut saja sekarang yang lagi tenar itu adalah kumpulan anak muda Batak “Marsada Band”. Mereka membentuk grup itu dari kebiasaan mereka dalam marmitu.
Ada satu hal yang tidak bisa dilupakan yang sering terjadi di sudut-sudut lapo. Diskusi tentang berbagai permasalahan sering terjadi. Sambil mendengarkan mereka yang sedang bernyanyi, ada beberapa orang yang asyik ngobrol dan isi pembicaraan mereka tidak sama dengan ngerumpi atau gosip. Mereka sering larut dalam pembicaraan tentang berbagai masalah seperti keluarga, adat, pertanian dan bahkan politik. Maka tidak mengherankan bila ada beberapa orang menyebut lapo itu sebagai lapangan politik. Nilai yang mereka junjung sungguh jelas yaitu nilai musyawarah.
Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak dampak negatif dari budaya ini yang perlu dihindari. Sikap mau mencari “kesenangan saja” (hedonis) kadang mendominasi dalam diri para parmitu. Mereka kadang marmitu sampai lupa anak istri yang sedang tinggal di rumah. Interaksi dengan keluarga di malam hari seakan-akan tidak ada lagi dalam beberapa keluarga Batak. Kepala keluarga lebih cenderung berinteraksi dengan orang lain dari pada keluarganya sendiri. Selain itu, sikap mengontrol diri pun sepertinya semakin sulit dalam marmitu. Beberapa orang juga kadang memiliki gengsi yang tinggi ketika minum tuak. Mereka akan merasa malu bila hanya meminum 2-3 gelas tuak. Pada hal tidak seorang pun yang memperhatikan berapa gelas tuak yang mereka minum. Akibatnya, mereka pun mabuk dan sering terjadi perkelahian di lapo bahkan pernah juga terjadi pembunuhan.

V.      Marmitu” dalam Konstruksi Budaya Nasional
Kita telah melihat bagaimana marmitu ternyata bisa disebut sebagai bentuk budaya dan telah banyak memberi pengaruh besar bagi Orang Batak. Sekarang apa yang menjadi sumbangan dari budaya ini dalam upaya Konstruksi Budaya Nasional? Menurut penulis, yang menjadi sumbangan dari budaya ini adalah membantu para perumus Kebudayaan Nasional dalam mengenal lebih dalam lagi orang Batak Toba yang adalah salah satu subsuku bangsa Indonesia. Boleh dikatakan bahwa, bila ingin mengenal orang Batak Toba secara lebih jauh masuklah ke lapo dan lihatlah bagaimana sebenarnya orang Batak Toba itu.
Dari segi nilai-nilai, penulis melihat bahwa nilai yang diusung dari budaya marmitu juga adalah nilai-nilai umum yang juga dimiliki oleh budaya lain. Hanya saja soal cara pembentukan nilai itu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, berbicara soal nilai, tidak ada yang baru yang ditawarkan dari marmitu ini. Yang lebih penting adalah bagaimana melalui budaya ini, orang Batak Toba bisa mudah dikenal secara lebih baik.


[1] Bdk. Raymundus Sudhiarsa, Phd, Antropologi dan Konstruksi Kebudayaan Nasional Indonesia, STFT Widya Sasana: Malang, 2008, hlm. 61.
[2] Bdk. Hlm. 1.
[3] Bdk. Hlm. 156.
[4] Bdk. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap, The Toba-Batak High God Transcendence and Immanence, West Germany: Antropos Institute D. 5205 St. Augustin, 1981, hlm. 95.
[5] Bdk. Bungaran Antonius Simanjutak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Obor: Jakarta, 2009, hlm. 1.
[6] Bulman Harianja, BA, Tuak Minuman Tradisional Batak, Sipadao Holso, Sipaulak Hosa Loja Sudah Terkontaminasi, Harian Sinar Indonesia Baru.
[7] Bdk. Ikegami Shigehiro, Tuak dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya Penggunaan Nira, Hamamatsu College: Annual Report of the University of Shizuoka, No.11-3, 1997, Part 5.

[8] Bdk. Op. cit.
[9] Bdk. Ibid.
[10] Bdk. Ibid. Ikegami Shigehiro.
[11] Imbuhan dalam Bahasa Batak yang dipakai untuk menyatakan pekerjaan atau untuk merubah suatu kata menjadi kata kerja. Contoh: soban (kb)= kayu bakar; jadi kalau ditambah imbuhan mar- menjadi marsoban, kata itu menjadi kata kerja yaitu mengambil kayu bakar.
Konsepsi Idola menurut Francis Bacon
Konsepsi Idola menurut Francis Bacon
(Suatu Implementasi dalam Hidup Berbangsa di Indonesia)

I.         Pengantar
 Perkembangan sebuah bangsa tidak mungkin lepas dari perkembangan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang intelektual. Perkembangan intelektual yang dimaksud adalah kondisi pengetahuan dari setiap anggota masyarakat itu. Pengetahuan pada gilirannya dapat membuat setiap anggota masyarakatnya mampu mengembangkan diri dan juga bangsa ini dengan lebih cepat. Dengan kata lain, pengetahuan menjadi tolak ukur dalam perkembangan suatu bangsa.
Indonesia hingga pada saat ini masih tergolong sebagai negara berkembang. Itu artinya bahwa negara Indonesia belum mencapai suatu perkembangan yang berjalan dengan lancar. Fakta ini jelas berkaitan dengan keadaan kondisi intelektual dari para manusia negara ini yang juga bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang belum maju. Dengan melihat realitas ini, maka muncul sebuah praduga akan adanya penyebab dari munculnya kemandegan itu. Pasti ada yang sedang menghalangi pikiran manusia Indonesia sehingga tidak dapat melihat realitas yang sesungguhnya secara jelas. Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba melihat beberapa penyebab terjadinya kemandegan itu dengan menggunakan pemikiran Francis Bacon tentang Idola-idola.

II.      Sekilas tentang Francis Bacon dan Pemikirannya tentang Pengetahuan
Francis Bacon adalah seorang filsuf yang sangat berpengaruh pada zamannya karena pemikirannya tentang pengetahuan. Dia dilahirkan pada 21 Januari 1561 dalam keluarga bangsawan Inggris yakni Sir Nicholas Bacon dan mengikuti studinya tentang filsafat Plato dan Aristoteles di Trinity College Cambridge. Dari sejak muda, dia telah berusaha untuk membuktikan bahwa sistem filsafat skolastik sudah usang.[1] Pada abad itu, Bacon ingin menunjukkan bahwa sistem pengetahuan lama tidak dapat memberikan sesuatu yang berfaedah dan tidak memberikan sumbangan bagi kehidupan umat manusia. Pendapat ini dia pertegas dengan mengatakan bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum dan orang Abad Pertengahan dengan teologi.[2] Dia melihat bahwa para pemikir Abad Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan masih terpaku pada pemikiran-pemikiran yang membuat pengetahuan bukan untuk pengetahuan itu. Mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan.[3] Sebagai seorang humanis Renaisans, Bacon menganggap manusia sebagai ukuran dari segala karena manusialah yang dapat memiliki dan yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan itu.
Pemikiran Bacon tentang pengetahuan menjadi sangat terkenal melalui tesis yang dia promulgasikan yaitu “knowledge is power” (pengetahuan adalah kuasa). Tesis ini bukanlah berarti bahwa lewat pengetahuan indrawi manusia bisa menguasai alam melainkan bahwa pengetahuan inderawi itu dapat digunakan untuk memajukan kehidupan manusia yang pada akhirnya dapat memajukan kehidupan bangsa dan negara. Dalam hal ini, pengetahuan itu lebih mendapat penekanan dalam bidang fungsionalnya. Manusia bisa mengetahui kebenaran universal dan pengecualian-pengecualiannya bila manusia dengan pikirannya mampu menyelami hukum dan prinsip alam serta mengerti alam. Pada dasarnya tesis ini berada dalam ranah pandangan dia tentang manusia sebagai ukuran dari segalanya.

III.   Konsepsi Idola
Dalam kaitannya dengan pemikiran Bacon tentang pengetahuan, salah satu bukunya ”Novum Organum”memuat suatu pemikiran yang sangat terkenal yaitu tentang konsep Idola-idola. “Idola” yang dimaksud adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya.[4] Idola-idola itu muncul dari cara pikir lama yang oleh Bacon dilihat sebagai penghalang bagi pikiran manusia untuk bisa berpikir objektif. Melalui konsep ini, Bacon ingin agar setiap individu dan masyarakat mampu berpikir objektif dan kritis atas segala apa yang sedang muncul. Tujuan ini dapat dicapai jika idola-idola itu dapat disingkirkan dari cara berpikir manusia.
Dengan tegas Bacon mengatakan bahwa idola ini adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala yang merasuki pikiran manusia sehingga manusia enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis.[5] Idola itu membatasi dan membuat manusia tidak mampu berpikir secara bebas karena terkurung dalam pemujaan-pemujaan terhadap kebenaran lama dan semu itu. Bacon mengembangkan doktrin tentang “idola” di mana ia meletakkan pemahaman tentang berbagai kendala yang terdapat dalam mencapai kebenaran dan ilmu pengetahuan – berhala palsu yang mencegah kita untuk membuat pengamatan yang akurat dan untuk mencapai suatu pemahaman.[6] Melalui konsepsi ini, Bacon ingin mengingatkan manusia akan adanya bahaya yang besar bila idola-idola ini masih menguasai pikiran manusia. Idola ini membuat manusia tidak lagi bisa menguasai alam dan tidak berhasil merumuskan suatu kebenaran dari hasil dari setiap observasinya.
Untuk memperjelas konsepsi idola ini, Bacon mengelompokkannya ke dalam empat macam idola yang ada dalam diri manusia baik secara individual maupun secara komunal. Keempat kelompok idola itu adalah: idola tribus, idola cave, idola fora, idola theatra.[7] Dengan mengetahui idola ini, diharapkan agar kita mampu membangun suatu pengamanan rasional yang dapat membantu kita untuk mengkounter setiap pengaruh idola-idola itu. Usaha ini dapat dilakukan dengan menemukan cara-cara untuk mendeteksi, mengenali dan mengkounter pengaruh-pengaruh dari setiap idola itu.[8] Artinya melalui pengelompokan ini, kita bisa mendeteksi apa saja yang merupakan idola dalam setiap individu dan masarakat yang sedang menutupi cara pikir kira. Francis Bacon percaya bahwa jika orang "diperingatkan akan adanya bahaya," mereka bisa "membentengi diri sejauh mungkin terhadap serangan dari idola-idola itu."[9] Masing-masing idola itu memiliki sumber yang berbeda-beda dan ini memiliki konsekuensi langsung terhadap bagaiman cara kita untuk mengkounter pengaruh mereka. Apa pengertian dari keempat idola itu?
Pertama, Idola tribus (tribus=bangsa) adalah semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga orang tak sanggup memandang alam secara obektif.[10] Idola-idola ini menjadi hambatan karena pikiran manusia menjadikan prasangka-prasangka itu sebagai suatu kebenaran yang harus dipertahankan. Prasangka itu diterima begitu saja tanpa ada suatu sikap kritis. Bahkan, prasangka itu diturunkan atau diwariskan bagi generasi berikutnya tanpa ada sedikit pun sikap meragukan kebenarannya. Bacon mengatakan: “Idola tribus ini memiliki dasarnya dalam kodrat manusia itu sendiri dan dalam suku serta ras mereka.”[11] Dengan demikian idola tribus merupakan idola yang tidak bisa dihapus dari dalam diri manusia karena ada dalam kodrat manusia dan sudah menjadi bawaannya.
Kedua, idola cave (cave/specus=gua) merupakan prasangka individual yang berarti bahwa pengalaman-pengalaman dan minat-minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia sehingga dunia objektif dikarburkan.[12] Idola ini membuat pikiran manusia terjebak para pengelaman-pengalaman atau minat-minat pribadi sehingga tidak bisa melihat realitas secara jelas. Idola ini muncul ketika orang menganggap bahwa hanya dialah yang memegang yang benar dan yang lain salah. Setiap manusia yang terjebak di dalamnya terkurung dalam suatu pola pemikiran yang sangat tertutup dengan kehadiran pemikiran lain. Menurut Bacon, dalam diri manusia yang dikaburkan oleh idola ini ada suatu yang ibarat gua (Cave) yang hanya mendapat sedikit cahaya untuk mengerti dunia luar. Bagi mereka, yang benar adalah apa yang mereka pikirkan dan kenyataan yang sesungguhnya ada dalam diri meraka. Idola ini sering dialami oleh orang yang sedang terkurung dalam berbagai perasaan. Sebut saja yang terjadi dalam diri orang yang sedang bersedih. Cara berpikirnya akan dikaburkan oleh perasaan tersebut sehingga dia menolak pendapat orang yang ingin membantunya.
Ketiga: idola fora (forum=pasar) menurut Bacon adalah idola yang paling berbahaya yang mengacu pada pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji.[13] Idola ini muncul dalam diri orang yang dalam dirinya tertanam dan memuja-muja suatu kebenaran yaitu: pendapat umum selalu benar. Individu tidak lagi dapat berpikir kritis atas apa yang dikatakan oleh pendapat umum. Bacon mengangkat ini sebagai idola karena seringnya muncul kekacauan berpikir yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa, sebagai media pergaulan dan asosiasi pesan dan makna antara satu orang dengan orang lain.[14] Bahasa yang digunakan oleh manusia itu pada dasarnya baik dan berguna bagi manusia serta mendapat posisi penting dalam hidup manusia. Akan tetapi bahasa ternyata  dapat mengelabui pemikiran kita karena kesibukan mekirkan istilah yang tepat atas suatu realitas. Idola ini menjadi sangat berbahaya ketika manusia menerima begitu saja pemahaman palsu tertentu yang diakui oleh masyarat (pasar).
Keempat: idola theatra (theatra=panggung) yaitu aneka ragam sistem filsafat yang sering digunakan orang secara keliru untuk memandang realitas, kira-kira sejenis dengan yang sekarang kita namakan ideologi sang biang kerok kesadaran palsu.[15] Manusia seakan-akan dimasukkan dalam suatu panggung drama pemikiran yang sedang pamor pada hal mementaskan suatu dunia khayali, semu. Karena tidak adanya sikap kritis dalam diri manusia, mereka menerima pemikiran itu begitu saja sehingga mereka tidak sampai pada kebenaran yang sesungguhnya. Mengagung-agungkan pemikiran seorang tokoh  atau aliran tertentu tanpa menimbulkan sikap kritis atasnya menjadi contoh yang sering terjadi dalam diri manusia. Siapa saja yang menolak sistem atau tokoh itu dianggap sesat dan dikucilkan.

IV.   Implementasi dan Kesimpulan
a.      Implementasi dalam Hidup Berbangsa di Indonesia
Dalam bagian ini, kita akan mencoba mencoba melihat implementasi dari konsepsi idola itu dalam hidup berbangsa di negara ini. Sebenarnya ada begitu banyak idola dalam negara ini. Berikut ini penulis hanya mencoba memaparkan beberapa contoh idola yang sedang meradangi pemikiran kita. Akan tetapi sangat diharapkan bahwa melalui beberapa contoh yang mewakili setiap kelompok idola di atas, kita dapat juga menyadari contoh-contoh lain.
Adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku dan budaya. Masih ada suku yang masih mengalami ketertinggalan dalam hal pengetahuan (bukan untuk mengatakan bahwa mereka masih primitif). Ketertinggalan ini bisa saja diakibatkan karena keinginan mereka untuk mengembangkan daya intelektual belum kuat. Anggapan bahwa alam selalu menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka masih kuat tertanam dalam diri mereka. Dengan kata lain, alam yang mereka tempati sering memanjakan mereka sehingga dalam diri mereka muncul anggapan bahwa ilmu pengetahun belum menjadi suatu yang penting. Bertani tanpa sekolah sering menjadi prioritas banyak orang dalam masyarakat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai suatu berhala yang menjadi penghalang bagi masyarakat tertentu untuk berkembang. Sebut saja di daerah Daerah Karo, Simalungun dan Toba-Sumatera Utara. Bagi sebagian besar masyarakat di sana, pertanian adalah suatu hal yang paling penting. Mereka memperoleh kehidupan dengan bertani. Memang dapat dikatakan bahwa mereka memiliki pengalaman dalam bidang itu. Akan tetapi pengetahuan mereka tentang bidang itu untuk semakin memajukan hidup mereka belum setinggi pengalaman mereka. Mereka mengagung-agungkan alam yang mereka olah walau untuk mencapai hasil yang memuaskan mereka telah menggunakan zat kimia yang telah merusak tanah. Mereka tidak banyak tahu tentang apa yang terjadi di tanah itu. Mereka ikuti saja iming-iming yang diberikan para pengusaha pupuk kimia tanpa menyadari langsung akibat dari pupuk itu. Penulis yakin bahwa cara pikir seperti ini masih banyak tertanam dalam diri manusia Indonesia. Dalam pemikiran Francis Bacon, masalah ini masuk dalam kelompok idola tribus.
“Budaya sungkan” sering dianggap oleh manusia Indonesia sebagai suatu yang harus dipegang demi menjaga keajegan hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya budaya ini didominasi oleh perasaan-perasaan tertentu yang menutup pikiran untuk mengungkapkan kebenaran kepada orang lain. Mereka berpendapat bahwa lebih baik menjaga perasaan orang lain dari pada harus mengungkapkan kebenaran. Membiarkan ketidakbenaran meraja lela menjadi akibat langsung dari budaya ini. Sebut saja apa yang sering terjadi dalam dunia pemerintahan yaitu ketika seorang pejabat membiarkan rekannya melakukan korupsi tanpa berani menegur orang itu karena “sungkan”.  Rasa sungkan lebih kuat mempengaruhi keputusan dari pada fakta sebagai pejabat pemerintahan yang harus memperjuangkan kebenaran. Orang yang terjebak dalam cara pikir ini dapat dikelompokkan dalam idola cave karena bagi mereka perasaan sungkan itulah yang harus dijunjung tinggi ketika melihat orang lain melakukan ketidakbenaran.
Tidaklah banyak orang Indonesia yang telah tegas menolak keberadaan “gosip” dari dalam hidupnya. Ketinggalan untuk mengetahui gosip terbaru malah menjadi suatu kelemahan atau suatu hal yang buruk dalam diri mereka. Dan setelah mereka mengetahui gosip itu, mereka akan bangga dan dengan bersemangat menyebarkannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip itu diartikan sebagai “obrolan tentang orang lain; cerita negatif tetang seseorang; pergunjingan”.[16]  Artinya, pada dasarnya gosip itu bersifat buruk dari dalam dirinya. Akan tetapi gosip itu memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat. Apa yang disebarkan melalui gosip cepat diterima dan langsung dipercayai tanpa ada pertanyaan untuk memperjelas kebenarannya. Budaya “ngegosip” ini tidak hanya ada di kalangan masyarakat biasa tetapi juga di kalangan kaum intelektual. Ketika “pembicaraan pasar” atau gosip dijadikan acuan kebenaran, maka bahaya besar akan menimpa masyarakat itu. Inilah suatu realitas yang bisa dimasukkan dalam idola fora yang selama ini telah mengaburkan pikiran manusia Indonesia.
Salah satu pemikiran yang masih kuat dalam negara ini adalah pemikiran tentang “Ratu Adil”. Pada umumnya, konsep seperti ini biasanya lahir di tengah masyarakat yang sedang tertindas. Oleh masyarakat itu, konsep ini tidak hanya diterima tetapi juga diyakini dan bahkah menyandarkan hidup padanya. Sementara di pihak modern, konsep ini tidak jauh beda dengan suatu mitologi yang diciptakan di tengah hidup yang sedang ditindas. Lepas dari pandangan modern ini, bagi manusia Indonesia “Ratu Adil” adalah suatu hal yang pasti. Behkan konsep ini diterima sebagai sebuah sistem filsafat yang harus diyakini kebenarannya. Kami mengangkat konsep ini sebagai salah satu contoh idola teathre karena konsep ini sering membuat masyarakat bersikap pasrah, fatalistik dan tidak ada lagi semangat juang dalam diri untuk mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih baik. Alhasil, mereka hanya menunggu tanpa melakukan apa-apa untuk memperbaiki hidupnya secara konkrit.

b.      Kesimpulan
Francis Bacon menawarkan suatu pemikiran yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui apa saja yang menhalangi pikiran kita dalam melihat realitas ini. Bacon melihat itu sebagai idola yang dijadikan sebagai berhala-berhala baru. Pemikiran ini tetap relevan karena dapat membantu kita untuk melihat idola-idola itu pada zaman ini. Dalam tulisan ini, penulis tidak menunjukkan pemecahan atas masalah-masalah yang diakibatkan oleh idola-idola itu melainkan ingin menyadarkan kita. Kita telah diperbudak oleh idola-idola itu, pemikiran bangsa kita sering dikaburkan dan dikacaukan. Francis Bacon mengajak kita untuk menyadarinya sehingga kita dapat membentengi diri dari pengaruh-pengaruh idola tersebut. Dengan membentengi diri secara rasional, kita pun dapat berpikir secara objektif dan memperoleh banyak pengetahuan menjadi sesuatu yang sangat mungkin.


[1] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 26.
[2]Bdk. Ibid. hlm 27.
[3] Ibid.
[4] Bdk. Ibid.
[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. Itiel E. Dror, How can Francis Bacon help forensic science? The four idols of human biases, http://www.cognitiveconsultantsinternational.com/Dror_JUR_human_biases.pdf. diakses Jumat, 1 Oktober 2010, pkl. 10.00 WIB.
[7] Bdk. Opcit, hlm. 29.
[8] Bdk. Opcit.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid. F. Budi Hardiman, hlm. 29.
[11] Edwin A. Burtt (ed), The English Philosophers from Bacon to Mill, New York: The Modern Library, 1939. Hlm. 34.
[12] Bdk. Opcit. Hlm.29.
[13] Bdk. Ibid.s
[14] Bdk. Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi, Magelang: Indonesiatera, 2001, hlm. 55.
[15] Bdk. Ibid. Brian Magie, The Story of Philosophy, hal. 77.
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia.