I.
Pengantar
Ensiklik Centesimus
Annus yang ditulis oleh Paus Yoannes Paulus II ditujukan untuk memperingati
seratus tahun ensiklik Rerum Novarum.
Dalam ensiklik ini Bapa Suci membicarakan masalah-masalah baru dewasa ini
terutama setelah runtuhnya sistem
ekonomi dan politik sosialisme-komunisme di Eropa Timur serta ingin
memberikan sekedar orientasi untuk masuk dalam milenium baru.[1]
Sebagai ensiklik yang ditujukan untuk itu, tentunya tema-tema dalam ensiklik Centesimus Annus tidak jauh beda dengan
tema yang telah diusung dalam ensiklik Rerum
Novarum yaitu tentang modal kerja dan tanggung jawab politik dalam mewujudkan
kesejahteraan umum. Berkaitan dengan itu, salah satu unsur penting dan mendasar
dalam bidang tema ini adalah mengenai pandangan kedua ensiklik ini terhadap
manusia lebih khusus lagi mengenai Hak Asasi Manusia yang senantiasa aktual di
setiap perkembangan manusia dalam masyarakat. Hak asasi manusia senantiasa
dikaitkan dengan kodrat manusia itu sendiri sehingga tidak bisa lepas dari
pembahasan mengenai manusia itu sendiri. Memahami pribadi manusia sebagai
landasan sekaligus tujuan paguyuban politik berarti memperjuangkan pengakuan
dan penghargaan atas martabat manusia dengan membela dan memajukan hak asasi
manusia yang mendasar dan tidak dapat dicabut.[2]
Salah satu penjabaran terhadap
perjuangan atas pengakuan dan penghargaan atas hak asasi manusia itu adalah
dengan kembali pada arti terdalam dari hak asasi manusia itu sendiri. Fokus
perhatian penulis mengenai arti terdalam dari hak asasi manusia tersebut adalah
Centesimus Annus artikel 47.
Mengapa penulis memilih tema ini? Alasan penulis
untuk memilih tema ini karena dilatarbelkangi oleh keprihatinan terhadap
kemerosotan penghargaan masyarakat modern sekarang ini terhadap hak asasi
manusia itu sendiri terlebih mereka yang lemah dan tertindas. Konteks latar
belakang penulisan ini adalah negara indonesia sendiri yang merupakan salah
satu negara yang berpolakan Demokrasi. Oleh karena itu lebih khusus penulis
mencoba membuka mata terhadap realitas zaman sekarang khususnya di negara
Indonesia sendiri. Banyak orang yang hak-haknya dirampas begitu saja. Dan yang
paling mengenaskan adalah perampasan hak secara sistematis dari oknum-oknum
tertentu dalam suatu Negara. Nampaknya memaknai kembali apa itu hak asasi
manusia adalah salah satu cara yang dapat menyadarkan manusia terutama mereka
yang tidak pernah resah dengan penindasan dan ketidakadilan karena merekalah
pelakunya.
II. Gambaran Umum Tentang Centesimus Annus
2.1.
Latar Belakang Munculnya Centesimus Annus
(CA)
Munculnya Centesimus
Annus tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dunia. Nampaknya perhatian Paus Yoannes
Paulus II tidak jauh beda dengan perhatian Paus Leo XIII karena CA merupakan
upaya perluasan Rerum Novarum (RN).
Konteks zaman munculnya ensiklik ini dapat dibagi dua namun tidak untuk
mengatakan bahwa keduanya terpisah tanpa ada hubungan. Pertama, dalam bidang sosial
yaitu semakin derasnya arus zaman di tengah-tengah transformasi dramatis komunisme
di Uni Soviet dan Eropa Timur. Arus zaman yang dihadapi oleh Paus Yoannes
Paulus II malah semakin deras terutama
dalam bidang industri yang dikembangkan oleh paham sosialis yang tidak mengakui
hak perorangan. Pada saat itu, sosialisme sebagai suatu sistem politik runtuh
karena tidak mampu menyelesaikan masalah sosial dan karena sosialisme tidak
dapat mengerti manusia sebagai pribadi, [3] melainkan sebagai suatu unsur
melulu, suatu molekul semata-mata dalam organisme sosial (bdk. CA 13).
Kesesatan antropologis ini secara langsung berkaitan dengan bagaimana
perhargaan paham ini terhadap hak asasi manusia. Artinya bahwa paham sosialis
ini tidak mengakui hak manusia sebagai individu atau sebagai pribadi. Akan
tetapi, ensiklik ini tetap memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan RN karena realitas zaman yang dihadapi
sungguh lebih kompleks. Pengalaman Paus Yoannes Paulus II sebelum menjadi paus
khususnya ketika dia menjadi pekerja manual, menjadi seorang guru dan menjadi
uskup di Krakow sungguh memberi sumbangan pada pemikirannya. Secara langsung
dia dapat mengetahui masalah-masalah mengerikan yang dihadapi orang-orang kota
baik dalam kehidupan pribadi dan publik mereka,[4]
khususnya di negara Polandia. Saat itu Polandia menjadi salah satu
negara Eropa Timur yang meruntuhkan Uni
Soviet. Pendorong utama bagi negara ini untuk melakukan transformasi itu adalah
serikat buruh yang bernama “Solidaritas” yang memiliki tempat di galangan kapal
dan juga adanya keyakinan dalam diri para intelektual, pebisnis dan para
mahasiswa bahwa penghidupan yang layak secara moral ada pada jantung
transformasi itu yang sesungguhnya dibutuhkan itu. [5]
Kedua, bidang eklesial.[6] Konteks
ditulisnya ensiklik ini dalam bidang eklesial juga boleh dikatakan sangat
berbeda dengan konteks penulisan RN.
Konteks ensiklik CA adalah munculnya
keterlibatan para pemimpin Gereja pada perkembangan dunia sekular yaitu dengan
mengembangkan kerendahan hati yang lebih besar akan misi dan wawasan Gereja.
Sedangkan RN menunjukkan kurangnya perhatian terhadap argumen
sekuler yang mereka kritik. Selain itu,
konteks eklesial untuk CA adalah
seperempat abad perkembangan teologi tentang hubungan antara iman dan kehidupan
ekonomi yang telah terjadi sejak Vatikan II. Tiga di antaranya yang layak
disebutkan di sini, ialah: Teologi Pembebasan, Pembelaan Neo-konservatip Kapitalisme,
dan Penerbitan tanggapan rinci masalah ekonomi oleh berbagai konferensi uskup
nasional.
2.2.
Isi
Sebagaimana suatu ensiklik yang diintenskan pada
peringatan seratus tahun Rerum Novarum,
Paus Yoannes Paulus II memulai esikliknya dengan suatu ajakan untuk kembali
memberi perhatian khusus kepada RN. Dalam
Bab I, dimuat secara khusus tentang ciri-ciri ensiklik “RN”. Dengan memakai kaca mata yang sama, CA melihat adanya hal-hal
baru pada zaman sekarang ini. Hal-hal baru dalam zaman ini adalah berakhirnya
sosialisme sebagai sistem politik negara. Paus Yoannes Paulus II mencatat
jatuhnya komunisme dan melihat kelemahan yang mendasari kekeliruan pandangan
antropologis sosialisme : subordinasi manusia ke mekanisme sosial ekonomi dan bila
hal ini dilakukan, otonomi orang terhilang
dan "subjektivitas" masyarakat terhalang.[7] Penghargaan terhadap martabat manusia mengalami penurunan
dari berbagai pihak khususnya pihak yang berkuasa. Yang paling jelas disorot
adalah penghargaan pada hak-hak manusia khsususnya para pekerja. Demikianlah
faham manusia diperdangkal menjadi serangkaian hubungan-hubungan
sosial-ekonomi, dan lenyaplah faham pribadi sebagai pengemban bebas keputusan
moril, sebagai subjek yang dengan keputusan-keputusannya membangun tata
sosial... maka dari itu pengakuan martabat manusia menjadi lebih sulit, dan
dengan demikian ditutuplah jalan menuju pembentukan rukun hidup manusia yang
sejati. (bdk. CA 13). Akan tetapi, Gereja tetap menentang ide tentang
perjuangan kelas meskipun untuk menegaskan perjuangan terhadap keadilan sosial.[8]
Paus juga mengkritik konsumerisme dan perlombaan senjata yaitu bahwa
“perlombaan senjata yang kegila-gilaan menguras sumber-sumber daya yang
diperlukan untuk mengembangkan ekonomi-ekonomi nasional dan untuk membantu
bangsa-bangsa yang belum terkembangkan” (CA 18). Akan tetapi, Paus memberi
appresiasi kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang telah meberi perhatian
mendalam terhadap hak asasi manusia dan di sisi lain mengkritik PBB tersebut
atas kebijakan bantuan untuk pembangunan yang senantiasa tidak selalu mencapai
hasil yang positip (Bdk. CA 21).
Pada bagian berikutnya “tahun 1989” berbicara
mengenai runtuhnya Uni Soviet dan blok politiknya yaitu tumbangnya berbagai
pemerintah diktatorial dan opresif. Paus Yoannes Paulus II mengamati adanya beberapa
hal juga menyumbang terjadinya keruntuhan itu adalah: pelanggaran terhadap hak-hak
kaum pekerja, keinginan untuk
menghilangkan segala kejahatan dan kekerasan dalam melawan tata politik yang
tidak jelas (bdk. CA 23), tidak efisiensinya seluruh sistem perekonomian yang
merupakan konsekuensi pelanggaran hak-hak manusia mengenai usaha swasta, dan yang paling kuat memberi pengaruh
runtuhnya komunisme adalah kekosongan spiritual yang ditimbulkan oleh ateisme
(bdk. CA 24).
Argumen
sentral dari ensiklik termuat dalam pembahasan mengenai “milik perorangan
harta-benda bumi untuk semua orang” yang
membahas tentang hak milik pribadi, pasar bebas, dan kapitalisme setelah
runtuhnya sosialisme.[9]
Semua orang memiliki hak milik pribadi dan itu harus dihargai oleh orang lain
akan tetapi hak milik pribadi itu tidaklah mutlak karena Allahlah yang memberi
kekayaan di bumi. Hal ini dipertegas oleh para bapa Konsili Vatikan dalam “Gaudium et Spes” “Milik perorangan atau
suatu penguasaan atas harta-benda lahiriah memberi setiap orangruang yang
sungguh perlu untuk mengembangkan otonomi pribadi maupun keluarganya, dan harus
dipandang bagaikan perluasan kebebasan manusiawi ... Tetapi milik perorangan
sendiri pun menurut hakekatnya mempunyai sifat sosial juga, yang di dasarkan
pada prinsip: harta-benda diperuntukkan bagi semua orang.” (Bdk. CA 30). Berkaitan
dengan pasar bebas Bapa Suci
menegaskan bahwa sistem ini sangatlah efektif dalam mendaya-gunakan
sumber-sumber daya dan untuk dengan tepat-guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Akan tetapi harus tetap diperhatikan bahwa sistem ini dapat membuat orang yang
miskin semakin miskin dan yang lemah semakin lemah sehingga harus diusahakan
pengembangan bakat bagi setiap pribadi agar tidak terlindas dalam arus zaman.
Dengan demikian mereka tidak boleh menjadi korban pertukarang semata dalam
pasar bebas melainkan harus tetap lebih penting dari sistem pertukaran
barang-barang yang serasi, dan lebih penting dari bentuk-bentuk keadilan yang
khas baginya sehingga berlakulah sesuatu
yang menjadi hak hak manusia berdasarkan hakekatnya sebagai manusia, karena
keluhuran martabatnya (bdk. CA 34).
Di samping itu, Paus Yoannes Paulus
II juga mengingatkan bahwa kegagalan “sosialisme Reil” bukanlah berarti bahwa Kapitalismelah
yang harus dianggap sebagai satu-satunya pola organisasi ekonomi (bdk. CA 34). Untuk
itu harus dipatahkan rintangan-rintangan dan monopoli yang bisa merampas hak
perorangan dalam menciptakan pembangunan. Selain bahaya Kapitalisme, Bapa Suci
juga mencatat beberapa masalah-masalah dan ancaman-ancaman khusus di
negara-negara yang ekonominya sudah maju yaitu gejala konsumerisme. Dalam hal
itu, Paus mencatat kejahatan konsumerisme memiliki dampak yang merugikan
keluarga dan lingkungan.[10]Karena
sikap konsumeristis yang telah merasuki moral manusia, lingkungan alam pun
menjadi korban. Perusakan lingkungan alam pertama-tama ditimbulkan oleh sikap
ini “karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati dari pada menemukan dan
mengembangkan dirinya” (CA 37).
Pada bab kelima, Bapa Suci Yoannes
Paulus II memindahkan fokus kepada hubungan negara dan budaya. Bab ini diawali
dengan menyampaikan pandangan Paus Leo XIII mengenai pentingnya pandangan yang sehat tentang negara, untuk menjamin
perkembangan kegiatan-kegiatan manusiawi yang sewajarnya, baik di bidang rohani
maupun di bidang jasmani (bdk. CA 44). Akan tetapi ajaran itu ditentang oleh
totalitarianisme. Namun Sri Paus menuliskan suatu pola negara yaitu
“Demokrasi”. Gereja menghargai sistem demokrasi (CA 46) yang penting tetap
mengingat bahwa demokrasi sejati hanya tercipta bila di dalamnya ada kebenaran
sejati. Negara adalah lembaga yang berorientasi pada kepentingan umum yang akan
diarahkan oleh subsidiaritas dan solidaritas.[11]
Sungguh layak disyukuri adanya usaha-usaha diberbagai negeara untuk membantu
negara-negara yang miskin. Akan tetapi Sri Paus tetap mengingatkan adanya
dampak negatif prinsip subsidiaritas itu sehingga harus perlu tetap ditegakkan.
Dan Dia mendukung skala lebih kecil bantuan kesejahteraan bagi yang membutuhkan.[12]
Pada bab terakhir, ada peringatan
bahwa manusia adalah jalan yang harus di ikuti dan disokong oleh Gereja.[13] Gereja
memahami “makna manusia” berkat pewahyuan ilahi (CA 55). Di samping itu Sri Paus juga menyarankan agar
ajaran sosial Gereja ini dikenal dan
dilaksanakan diberbagai negara yang sesudah
tumbangnya "Sosialisme Reil" mengalami pergolakan besar dalam
usaha pembaharuan (CA. 56). Dengan mengutip ungkapan Paus Leo XIII, Sri Paus
mendesak agar setiap orang dapat bekerja di bidangnya sendiri (CA 56). Akhirnya,
Paus menuntut komitmen untuk mengubah gaya hidup dan struktur yang penuh dosa
sehingga keadilan dapat tercapai.[14]
III.
Teks
Centesimus Annus Art. 47
3.1.
Bunyi Teks
Sesudah
tumbangnya totaliarisme Marxis dan cukup banyak pemerintah lain yang totaliter,
maupun yang berasaskan “keamanan nasional”, sekarang ini kebanyakan didambakan
pola demokrasi, kendati masih ada juga yang menentangnya, disertai dengan kepedulian
penuh gairah terhadap hak-hak manusiawi. Tetapi berkenaan dengan itu sangat
perlulah, bahwa bangsa-bangsa yang sedang dalam proses meninjau kembali sistim
pemerintahan mereka, meletakkan dasar yang otentik dan kokoh bagi demokrasi
dengan secara jelas-tandas mengakui hak-hak asasi itu. Di antaranya yang
pertama-tama perlu diutarakan ialah hak atas kehidupan. Erat sekali berkaitan
dengannya ialah hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya sejak saat pertama
ia dikandung, begitu pula hak untuk hidup dalam pangkuan keluarga yang bersatu
dan dalam lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian anak; hak untuk
mengembangkan akal budi maupun kebebasannya sendiri dalam mencari dan mengenal
kebenaran; selain itu hak untuk bekerja, supaya harta-benda bumi didaya-gunakan
sebagaimana mestinya, dan dari padanya diperoleh nafkah bagi setiap orang
beserta mereka yang yang menjadi tanggungannya; akhirnya hak untuk dengan bebas
membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan, dengan menghayati
seksualitas secara bertanggung jawab. Adapun sumber dan rangkuman hak-hak itu
dalam arti tertentu terletak pada kebebasan beragama, dalam arti hak untuk
hidup menurut kebenaran imannya sendiri dan sesuai dengan keluhuran martabatnya
sebagai pribadi.
Di Negara-Negara yang berhaluan demokrasi pun tidak selalu hak-hak ditegakkan sepenuhnya. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya skandal
pengguran saja, malainkan juga pelbagai aspek krisis dalam tubuh demokrasi
sendiri, yang agaknya ada kalanya kehilangan kekuasaan untuk mengambil
keputusan-keputusan demi kesejahteraan umum. Tuntutan-tuntutan yang muncul di
kalangan masyarakat tidak dipertimbangkan menurut norma-norma keadilan dan
moralitas, melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan
kemampuan finansial kelompok-kelompok yang mendukungnya. Lambat-laun kemerosotan
perilaku politik itu merongrong segala kepercayaan dan menimbulkan sikap
apatis, sehingga partisipasi politik mengalami kemunduran, dan semangat
kewarganegaraan turun di kalangan masyarakat, yang merasa dirugikan dan
frustasi. Oleh karena itu menjadi semakin sulit untuk mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan khusus dalam visi yang utuh-menyeluruh tentang
kesejahteraan umum. Sebab kesejahteraan umum itu bukan melulu hasil penjumlahan
kepentingan-kepentingan khusus, melainkan memerlukan suatu penilaian dan integrasi
kepentingan-kepentingan itu, berdasarkan tata-nilai yang seimbang, lagi pula
pada dasarnya menuntut pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak
pribadi manusia.
Gereja menghormati otonomi tata demokrasi yang sah dan sewajarnya, dan tidak berhak
untuk menyatakan kecondongannya yang khas terhadap bentuk perundang-undangan
atau tata kenegaraan yang mana pun juga. Sumbangannya bagi tata politik justru
terletak pada visinya tentang martabat pribadi manusia, yang dengan jelas
diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma.
3.2. Isi Teks
Dalam artikel 47 ini, Paus Yoannes
Paulus II menguraikan tema tentang hak asasi manusia dalam hubungan tema
tersebut dengan negara-negara yang berhaluan demokrasi. Tema ini sesungguhnya
telah dipaparkan dalam artikel-artikel sebelumnya yakni mulai dari artikel 44
soal pengaruh totalitarisme yang membuat manusia mengesampingkan hak-hak
sesamanya dan akar dari totalitarisme itu sendiri terletak pada penolakan
keluhuran martabat pribadi manusia. Perhatian Gereja untuk melindungi kebebasan
pribadi manusia dimuat dalam artikel 45 dan bagaimana Gereja mengahargai
Demokrasi yang memberi kebebasan bagi setiap pribadi untuk berperan serta dalam
penentuan kebijakan politik serta menghargai hak-hak bawahan dan mempergunakan
hak suara ketika memilih para pemimpin mereka. Jadi, gagasan tetang hak asasi
manusia dalam artikel 47 merupakan kelanjutan dari artikel-artekel sebelumnya
dan pada artikel 47 ini gagasan ini lebih difokuskan atau ditekankan dalam
hubungannya dengan pola Demokrasi.
Apa sesungguhnya yang mau ditekankan
dalam artikel 47 ini berkaitan dengan tema hak asasi manusia dalam Negara
Demokrasi? Artikel 47 seperti yang telah diutarakan di atas lebih difokuskan
untuk memuat kembali tentang hak asasi manusia. Dan lebih lagi hal yang khusus
dari artikel ini. Berbeda dengan artikel yang memuat tentang tema yang sama,
artikel 47 menjadi lebih khusus dalam pembahasannya tentang hak asasi manusia
di Negara Demokrasi. Dalam paragraf awal yang pertama-tama digagas adalah
persoalan tentang suatu transisi post tumbangnya totalitarisme Marxis bersama
sejumlah pemerintah “totaliter” ke arah munculnya suatu pola baru yaitu pola
Demokrasi yang juga telah didambakan dan disertai dengan kepedulian penuh
gairah terhadap hak-hak manusiawi. Lebih lagi soal demokrasi terdapat ajakan bagi
bangsa-bangsa yang sedang dalam proses meninjau kembali sistem pemerintahan
agar meletakkan dasar yang kokoh dan otentik bagi demokrasi yaitu dengan
jelas-tandas mengakui hak-hak asasi manusia.
Berhubung karena hak asasi manusia
yang menjadi fokus utama dari artikel ini, maka tidak anehlah bahwa tema ini
diuraikan secara panjang lebar khususnya mengenai hak-hak yang harus diakui
dalam pola demokrasi itu. Di sana dikatakan bahwa hak asasi yang perlu pertama
diutarakan adalah hak atas kehidupan. Menarik banwa, Sri Paus menguraikan hak
ini sesuai pertumbuhan manusia itu sendiri dari sejak pembuahan hingga
perkembangannya dalam dunia. Hal itu disebutkan dengan menunjukkan hubungan
erat antara hak atas kehidupan dengan hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya
sejak pertama dikandung. Demikian juga hubungan hak ini dengan hak untuk hidup
dalam pangkuan keluarga yang bersatu dan dalam lingkungan yang mendukung
perkembangan kepribadian anak itu. Lebih lanjut sesuai perkembangan anak itu,
pada saat tertentu ia akan menggunakan haknya untuk mengembangkan akal budi
maupun kebebasannya sendiri dalam mencari dan mengenal kebenaran. Dan juga pada
gilirannya dia akan menggunakan hak untuk bekerja agar supaya harta-benda bumi
didaya-gunakan sebagaimana mestinya. Dengan hak dan upayanya untuk mengolah
bumi, ia akan memperoleh nafkah bagi setiap orang beserta mereka yang yang
menjadi tanggungannya. Setelah itu,
akhirnya dia akan mencapai tahap hidupnya dengan menggunakan haknya untuk
dengan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan, dengan
menghayati seksualitas secara bertanggung jawab. Bapa Suci melihat bahwa hak
manusia itu juga mengikuti perkembangan pribadi manusia. Dan pada bagian
terakhir dari penjelasan tentang hak asasi manusia, Paus Yoannes Paulus II
menegaskan bahwa sumber dan rangkuman hak-hak itu dalam arti tertentu terletak
pada kebebasan beragama atau ketika setiap orang dapat menggukan haknya dengan
bebas dalam memilih agamanya dan menjalankan hidup agamanya. Dalam arti, setiap
orang punya hak untuk hidup menurut kebenaran imannya sendiri dan sesuai dengan
keluhuran martabatnya sebagai pribadi.
Dalam paragraf yang kedua, fokus perhatian
dialihkan ke arah Negara-negara yang berhaluan pola demokrasi tanpa memutuskan
penjelasan tentang hak asasi manusia yang menjadi pokok utama artikel ini yang
harus diperhatikan oleh negara. Dikatakan bahwa, di Negara-negara pola
demokrasi yang dulu didambakan dapat semakin menghargai hak-hak asasi manusia
ternyata juga tidak selamanya menegakkan hak-hak itu sepenuhnya. Ketidak-konsekuenan
pola demokrasi ini disebabkan karena ada berbagai krisis dalam tubuh demokrasi
sendiri yang kadang kala seakan-akan kehilangan kuasa untuk mengambil keputusan
demi kesejahteraan umum. Sri Paus melihat bahwa tuntutan yang ada dalam
masyarakat tidak dipertimbangkan menurut norma-norma keadilan dan moralitas
melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara dan finansial orang yang mendukung
kelempok tertentu. Akibatnya pun menjadi fatal yaitu, sulitnya mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan khusus dalam visi yang utuh-menyeluruh tentang
kesejahteraan umum karena banyak orang yang lemah menjadi apatis, frustasi dan
rugi. Dan ditambahkan lagi bahwa kesejahteraan umum itu bukanlah merupakan melulu
hasil penjumlahan kepentingan-kepentingan khusus tetapi kepentingan-kepentingan
itu harus mendapatkan penilaian dan pengintegrasian berdasarkan tata-nilai yang
seimbang dan yang lebih penting menjadi dasarnya adalah tuntutan akan adanya pengertian
yang cermat tentang martabat serta hak-hak pribadi manusia.
Dalam paragraf yang terakhir, Sri Paus
Yoannes Paulus II kembali menekankan tentang rasa hormat Geraja pada otonomi tata demokrasi yang sah dan
sewajarnya. Dalam tataran politis, juga ditekankan bahwa Gereja tidak
berhak untuk menyatakan kecondongannya yang khas terhadap bentuk
perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga. Dalam hal ini, Bapa
Suci betul-betul menyadari kehadiran Gereja di dunia yang tetap bersikap netral
dalam berhadapan dengan dunia politik kenegaraan. Akan tetapi Gereja tidak
hanya diam tanpa tindakan dalam hal urusan dunia. Sumbangan Gereja bagi tata
politik terletak pada visinya tentang martabat pribadi manusia, yang dengan
jelas diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma.
3.3.
Ide-ide Pokok Art. 47
o
Transisi antara tumbangnya totaliarisme
Marxis dan beberapa pemerintah yang totaliter, dan yang berasaskan “keamanan
nasional” menuju bangkitnya pola demokrasi disertai dengan kepedulian penuh
gairah terhadap hak-hak manusiawi.
o
Ajakan agar bangsa-bangsa yang sedang
dalam proses meninjau kembali sistim pemerintahan meletakkan dasar yang otentik
dan kokoh bagi demokrasi dengan secara jelas-tandas mengakui hak-hak asasi itu.
o
Hak-hak asasi yang harus diakui dalam
Negara yang berpola Demokrasi
o
Turunnya penghargaan atas hak asasi
manusia di Negara-Negara
yang berhaluan demokrasi
karena adanya krisis dalam tubuh demokrasi sendiri.
o
Sistem pertimbangan negara atas tuntutan
di kalangan masyarakat.
o
Akibat dari kemerosotan perilaku politik
dalam negara yang memiliki pola demokrasi.
o
Konsep dasar dan benar kesejahteraan
umum
o
Posisi dan sumbangan Gereja ketika
berhadapan dengan tata politik negara-negara.
IV.
Pendalaman
Ide-Ide Pokok Centesimus Annus Art. 47
4.1.
Totalitarisme
Marxis dan Beberapa Pemerintah yang Totaliter, dan yang Berasaskan “Keamanan Nasional”
Totalitarisme
merupakan sistem yang menganggap negara atau penguasa berwenang untuk menata
dan menentukan semua segi kehidupan masyarakat misalnya: kehidupan politik
ditentukan oleh elite politik, bidang ekonomi seluruhnya dikuasai negara
(etatisme), begitu pula pendidikan, kehidupan kekeluargaan, kehidupan
keagamaan/kepercayaan dipegang dan ditentukan langsung oleh negara.[15] Dalam
pola Marxisme-Leninisme, totalitarisme dianggap bahwa di dalamnya ada sejumlah
orang, yang karena lebih menyelami hukum-hukum perkembangan masyarakat, atau
karena termasuk anggota kelas tertentu, atau karena lebih erat berhubungan
dengan sumber-sumber kesadaran kolektif yang lebih mendalam, sama sekali luput
dari kesalahan mana pun jug, dan karena itu dapat meng-claim kedaulatan mutlak
bagi dirinya sendiri (Bdk.CA 44). Dalam paham ini, masyarakat golongan menengah
ke bawah tidak memiliki wewenang sama sekali dalam pengaturan hidup bersama.
Mereka, khususnya sebagai individu, berguna hanya sejauh jasa mereka kepada
keseluruhan di bawah wewenang para penguasa. Jadi boleh dikatakan bahwa
negara atau masyarakat itu merupakan
tujuan dalam dirinya sendiri sehingga individu sama sekali hanya sebagai elemen
negara atau masyarakat yang tidak punya nilai dalam dirinya. Maka benarlah
bahwa akar totalitarisme modern terletak pada penolakan terhadap keluhuran
martabat pribadi manusia, yang sebagai citra kelihatan Allah yang tidak
kelihatan, menurut hakekatnya menjadi pengemban hak-hak, yang tidak boleh
dilanggar oleh siapa pun juga, entah itu perorangan atau kelompok tertentu,
kelas tertentu, bangsa atau Negara sendiri (Bdk CA 44).
Menurut Franz magnis-Suseno, totaliterisme merupakan
istilah ilmu politik untuk menyebut gejala: Negara Totaliter.[16] Dengan
paham totalitarisme, seorang pemerintah negara dapat menjalankan tampuk
jabatannya dengan sikap totaliter. Pada umumnya pemerintah yang menganut
totaliter juga akan mempengaruhi haluan negaranya menjadi negara totaliter. Negara
totaliter itu sendiri adalah sebuah sistem politik yang, dengan melebihi
bentuk-bentuk kenegaraan despotik tradisional, secara menyeluruh mengontrol,
menguasai dan memobilisasikan segala segi kehidupan masyarakat.[17]
Seorang pemerintah yang totaliter merupakan tokoh utama dalam pelaksaan paham
ini akan secara aktif menentukan
bagaimana masyarakat hidup dan mati, bagaimana mereka bangun dan tidur, makan,
belajar dan bekerja dan juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan serta
barang siapa yang tidak ikut akan dihancurkan.[18]
Dengan demikian, tindakan ini akan menghapus kepluralan manusia di negaranya
dan menjunjung tinggi semangat uniformitas. Usaha-usaha ini pada giliran
dibentuk dengan tujuan “keamanan nasional”. Uniformitas masyarakat bangsa
menjadi ujung tombak dalam menciptakan “keamanan nasional”.
4.2. Konsep Negara dan Pola demokrasi
Sri Paus dengan merujuk pada ungkapan Paus Leo XIII
mengungkapkan bahwa amat pentingnya pandangan yang sehat tentang negara untuk
menjamin perkembangan kegiatan-kegiatan manusiawi yang sewajarnya, baik di
bidang rohani maupun di bidang jasmani (Bdk. CA 44). Negara adalah organisasi
kemasyarakat yang tertinggi dalam suatu wilayah yang mempunyai kesuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.[19] Sebagai
organisasi tertinggi masyarakat, negara itu timbul dari tuntutan kodrat sosial
manusia. Dalam hubunganya dengan kesejahteraan umum, suatu negara ada untuk
kesejahteraan umum itu sendiri. Jadi, suatu Negara yang adalah kumpulan banyak
pribadi yang ada untuk menciptakan kesejahteraan umum harus mampu memberi
penghargaan pada martabat pribadi itu sendiri sebagai manusia. Di samping itu,
sebagai tuntutan kodrat manusia yang berasal dari Allah sendiri, maka dalam
arti tidak langsung bisa dikatakan bahwa
dasar kekuasaan negara adalah kehendak kehendak Tuhan.[20]
Demi mencapai tujuannya dan panggilan esensialnya
untuk melaksanakan kesejahteraan umum, sebuah negara haruslah dijalankan dengan
sistem pemerintahan dan penataan negara yang sungguh mendukung usaha tersebut. Dalam
sejarah perkembangan bangsa-bangsa telah banyaklah sistem tata negara yang
telah dijalankan akan tetapi kesejahteraan umum kurang menjadi perhatian.
Beberapa sistem yang pernah diterapkan dalam beberapa negara adalah sistem presidensial,
parlementer, komunis, liberal, kapitel dan demokrasi liberal. Berikut ini,
penulis hanya menerangkan salah satu sistem saja yaitu Demokrasi yang juga menjadi suatu
sistem yang sekarang ini banyak diterapkan di berbagai negara.
4.2.1.
Demokrasi:
Angin Segar bagi Martabat Manusia[21]
Gagasan tentang demokrasi
sesungguhnya mempunyai akar yang panjang, dan telah muncul sejak kurang lebih
2.500 tahun yang lalu. Akarnya, dapat ditelusuri dari masa kejayaan Yunani Kuno
ketika negara kota (city state) mulai
berkembang di Athena dan demokrasi di kota inilah yang dianggap sebagai demokrasi
paling nyata karena warga negara terlibat secara aktif dalam menentukan hukum
dan pemerintahan. Perkembangan demokrasi di kota Athena inilah yang menjadi
inspirasi bagi para pemikir politik modern. Namun sebagaimana sebuah pemikiran,
ada juga terdapat berbagai perbedaan antara pemikiran modern sekarang dengan
pemikiran zaman Yunani Kuno ini seperti misalnya gagasan liberal modern
mengenai keberadaan manusia sebagai “individu” dengan “hak” tidak mempunya
kaitan langsung dengan pikiran-pikiran politik Yunani. Dalam perkembangan
selanjutnya, demokrasi modern mempunyai delapan karakteristik pokok, yakni (1)
ada konstitusi yang membatasi kekuasaan dan mengontrol aktifitas pemerintah,
baik secara tertulis, tidak tertulis maupun kombinasi keduanya; (2) pemilihan
untuk para pejabat publik (election of
public officials) yang dilakukan secara bebas; (3) hak untuk memilih dan
mencalonkan diri dalam pemilihan; (4) kebebasan berekspresi; (5)kebebasan pers
dan adanya akses untuk sumber-sumber informasi alternatif; (6) kebebasan
berasosiasi; (7) adanya keseraan dalam hukum; (8) warga negara yang terdidik
yang terinformasi mengenai hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Khusus menyangkut pemberian
kebebasan kepada individu, secara instrumental demokrasi mendorong kebebasan
melalui tiga cara. Pertama, pemilu
yang bebas dan adil yang secara inheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu
untuk berekspresi. Kedua,demokrasi
memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri (self-determination). Ketiga,
demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap negara untuk
melakukan pilihan-pilihan normatif dan karennya pada tingkat yang paling
mendalam, demokraso mendorong kemapuan untuk memerintah sendiri (self-governing).
Dari penjelasan ini, sangat
jelaslah bahwa demokrasi sejak pertama kali muncul dalam dunia tata negara
telah memberikan tempat khusus terhadap martabat manusia secara khusus pada hak
asasinya sebagai pribadi. Bila dibandingkan dengan paham negara totaliter,
kehadiran pola demokrasi di abad modern ini sungguh memberikan angin segar bagi
martabat manusia. Dalam esikliknya, Bapa Suci Yoannes Paulus II menegaskan
bahwa Gereja menghargai sistim demokrasi, karena membuka wewenang yang luas
bagi warganegara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan
politik, lagi pula memberi peluang kepada rakyat bawahan untuk memilih pada
pemimpin, tetapi juga meminta pertanggung jawaban dari mereka, dan–bila itu
memang sudah selayaknya–menggantikan mereka
melalui cara-cara damai (bdk. CA 46). Lebih lanjut Sri Paus juga memberikan
pandangan bagaimana agar tercipta demokrasi yang sejati. Dalam artikel yang
sama dengan yang sebelumnya diutarakan bahwa demokrasi yang sejati hanyalah
dapat berlangsung dalam Negara Hukum, dan berdasarkan faham yang tepat tentang
pribadi manusia. Sebuah demokrasi tanpa nilai-nilai yang dijamin dalam negara
hukum akan dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terbuka, seperti yang
terjadi dalam sejarah (Bdk. CA 46 ).
4.2.2.
Kemerosotan
Pola Demokrasi
Dalam perkembangan sejarah manusia,
ternyata demokasi tidak memberikan apa yang dulunya didambakan oleh banyak
orang yang di dalam negaranya demokrasi menjadi pola Negara. Akan tetapi
haruslah dianalisa secara kritis apa yang menjadi penyebab kegagalan pola
demokrasi itu sendiri. Dari penjelasan tentang demokrasi di atas, tidak seorang
pun akan mengatakan bahwa dalam dirinya demokrasi itu adalah buruk. Bagi
penulis, demokrasi itu in se baik.
Hanya saja ada oknum-oknum tertentu yang telah merusak sistim itu.
Sebagai sebuah sistem, bila salah satu komponennya rusak maka sistem itu akan rusak, demikiannya
juga demokrasi akan rusak (baca: kehilangan tujuan) bila salah satu komponennya
rusak (baca:tidak berjalan dengan semestinya). Hal ini diungkapkan oleh
Bapa Paus dengan frasa “krisis dalam
tubuh demokrasi.” Krisis ini diperjelas lagi bahwa krisis itu muncul ketika
pemerintah demokrasi kehilangan kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan
demi kesejahteraan umum. Kahilangan
kekuasaan itu terletak terletak dalam mempertimbankan tuntutan-tuntutan yang
muncul di kalangan masyarakat yang tidak bersadasarkan norma-norma keadilan dan
moralitas, melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan
kemampuan finansial kelompok-kelompok yang mendukungnya. Akibatnya lambat-laun
timbullah kemerosotan yang pada gilirannya akan merongrong segala kepercayaan
masyarakat bagi pemerintah. Lebih lagi ketidakpercayaan itu juga akan
menimbulkan sikap apatis sehingga partisipasi politik dan semangat kewarganegaraan dari masyarakat
mengalami kemunduran. Pada dasarnya masyarakat yang mengalami itu adalah
masyarakat yang merasa dirugikan dan frustasi dan lebih penting lagi bahwa
jumlah mereka tidak sedikit.
4.3. Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia – droits de l’homme, derechos humanos, Menschenrechte, “hak-hak manusia” – secara harfiah berarti hak-hak
yang dimiliki seseorang karena ia manusia.[22]
Dalam hal ini manusia dilihat sebagai mahluk yang karena kodratnya sebagai
manusia, dia memiliki hak-hak asasi. Dengan kata lain bahwa suatu mahluk dikatakan punya hak asasi
karena ia adala manusia. Dengan kata lain bahwa hanya manusialah yang mempunya
kodrat sebagai mahluk yang punya hak asasi. Dengan demikian, hak asasi manusia
itu adalah suatu hal yang substansi dalam diri manusia sehingga memiliki
ciri-ciri khusus, yaitu[23]:
(1) setara (equal): seseorang atau
manusia atau bukan manusia, dan oleh karena itu, atau memiliki hak-hak asasi
manusia yang sama seperti yang dipunyai oleh orang-orang lain (atau tidak sama
sekali); (2) tidak dapat dicabut
dalam arti seseorang tidak dapat berhenti menjadi manusia, tidak peduli betapa
jahatnya ia bertingkah, atau betapa lazimnya ia diperlakukan; (3) universal: dalam arti bahwa dewasa ini
kita menganggap semua anggota dari spesies homo
sapiens sebagai “mahluk-mahluk insani”, dan dengan demikian adalah pemegang
hak-hak asasi manusia.
Dalam artikel 47, Paus Yoannes Paulus II menyebutkan
hak-hak apa saja yang yang menjadi hak asasi manusia. Berikut ini, penulis akan
mengalisa makna dari hak-hak itu satu persatu:
1. Hak
atas kehidupan.
Dalam “Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia” hak untuk hidup dimuat dalam pasal yang
ketiga “setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi.”
Yang menjadi cakupannya adalah bahwa hak utnuk hidup merupakan hak yang tidak
dapat dicabut dan ditunda pemenuhannya dalam situasi apa pun (non-derogable right).[24] Mantan
Sekjen PBB, Ban-Ki-Moon pernah mengatakan bahwa setiap manusia memiliki hak
untuk hidup secara bermartabat dan karenanya hak untuk hidup mesti dihormati
dan dilindungi.[25]
Menarik bahwa Bapa Paus merasa perlu untuk memulai daftar hak-hak ini dengan
pertama kali menyebutkan hak atas kehidupan. Nampaknya ada arti penekanan
khusus tentang hak ini. Seperti yang telah kami sampaikan di atas, nampaknya
Paus mengikuti perkembangan manusia dari sejak awal hidup dalam menerangkan hak-hak
asasi ini. Sebagai mana terbentuknya manusia dan kodratnya, sejak saat itulah
dia memiliki hak untuk hidup sehingga harus dilindungi dan dipelihara. Boleh
dikatakan bahwa hak untuk hidup adalah yang paling asasi dan mendasar dari
manusia karena bila manusia tidak punya hidup lagi (mati) dengan sendirinya
manusia itu tidak punya hak-hak asasi lainnya. Maka jelaslah bila Paus merasa
perlu itu bertujuan untuk menekankan peranan hak ini dalam hidup manusia. Lebih
lagi hak ini langsung dihubungkan dengan hak anak untuk hidup dalam rahim dan
dalam pangkuan keluarga dan juga dalam lingkungan yang mendukung perkembangan
kepribadiaannya. Jadi, hak ini yang merupakan syarat bagi pelaksanaan semua hak
yang lain, dan khususnya menyiratkan haramnya setiap bentuk aborsi secara
sengaja dan eutanasia.[26]
2. Hak
untuk mengembangkan akal budi maupun untuk
mencari dan mengenal kebenaran.
Selanjutnya disebutkan bahwa pada
tahap tertentu manusia memiliki hak untuk mengembangkan akal budi maupun untuk
mencari dan mengenal kebenaran. Ini berarti bahwa setiap manusia berhak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dalam mengembangkan kepribadiaannya.
3. Hak
untuk bekerja.
Kerja adalah sebuah hak fundamental dan sebuah kebaikan bagi umat
manusia,
sebuah kebaikan yang bermanfaat,
sepantasnya bagi manusia karena kerja merupakan cara yang tepat baginya untuk
memberi ungkapan bagi dan mempertinggi martabat
manusiawinya.[27]
Dengan menggunakan hak ini, seorang manusia pada akhirnya akan mampu menghidupi
semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kerja adalah suatu kebaikan
yang menjadi milik semua orang dan mesti dibuat tersedia bagi semua orang yang
mampu terlibat di dalamnya sehingga dia bebas dari pengangguran karenanya tetap
merupakan sebuah tujuan wajib untuk setiap sistem ekonomi yang berorientasi
pada keadilan serta kesejahteraan umum.[28]
Selain mengutarakan hak ini, Sri Paus juga memberi himbauan agar harta-benda
bumi diupayakan sebagaiman mestinya.
4. Hak
untuk dengan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan.
Membangun sebuah keluarga merupakan suatu panggilan
dalam hidup manusia dan bisa dikatakan termasuk dalam perintah Allah sendiri: “Beranakcuculah
dan bertambah banyak” (Kej.1:28). Hak ini pada dasarnya harus didasarkan pada
kerja yang merupakan dasar dalam membangun sebuah keluarga. Hak untuk
berkeluarga ini juga mengandung hak untuk memperoleh dan mendidik
anak-keturunan. Dalam “Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi manusia” hak ini terdapat dalam pasal 16 dengan
bunyi “ Kaum laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apa pun atas
dasar ras, kebangsaan atau agama,
memiliki hak untuk kawin dan membentuk keluarga. Mereka memiliki hak-hak
yang sama menyangkut perkawinan ... “. Dari penjelasan ini
sangatlah nyata bahwa hak untuk berkeluarga sangat hakiki juga dalam hidup
manusia. Menarik juga bahwa Bapa Suci menyebutkan frasa “dengan menghayati seksualitas secara bertanggung jawab”. Ini
merupakan ajakan yang sungguh menantang dalam hidup manusia zaman ini mengingat
begitu banyaknya pencemaran atas kemurnian dan kesucian dari seksualitas itu
sendiri. Paus mengajak agar setiap orang merefleksikan arti terdalam dari seksualitas
itu.
5. Hak
untuk hidup menurut kebenaran imannya sendiri.
Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah hak
untuk hidup menurut kebenaran imannya. Hak kebebasan beragama meliputi kebebasan
untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi atau
bersama-sama dengan orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan
agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan. [29] Dalam
artikel 47, penekanan diberikan pada
nilai tertinggi dari hak atas kebebasan beragama: “Semua orang harus
kebal terhadap paksaan dari pihak orang perorangan maupun kelompokkelompok
sosial dan kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa sehingga dalam hal
keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan hati nuraninya, atau
dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut hati
nuraninya, baik sebagai perorangan maupun di muka umum, baik sendiri maupun
bersama dengan orang-orang lain.” [30]
Penekanan ini lebih lanjut dihubungkan dengan keluhuran martabat manusia
sebagai pribadi yang terwujud ketika dia secara nyata menghayati imannya dengan
nyata. Maka, penghormatan atas hak ini merupakan isyarat tentang “kemajuan
autentik manusiawi pada setiap pemerintahan, di setiap masyarakat, sistem atau
lingkungan hidup”[31]
4.4.
Konsep Kesejahteraan Umum
Dalam artikel 47 ini dimuat suatu konsep
kesejahteraan umum dalam kaitannya dengan usaha integrasi
kepentingan-kepentingan khusus. Dengan membahasakan ulang bahwa kesejahteraan
umum bukanlah hanya hasil penjumlahan kepentingan-kepentingan khusus, melainkan
juga memerlukan suatu penilaian dan integrasi kepentingan-kepentingan itu,
berdasarkan tata-nilai yang seimbang, lagi pula pada dasarnya menuntut
pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak pribadi manusia. Dalam
melaksanakan kesejahteraan umum langkah yang pertama yang harus dilakukankan
adalah penilain dan pengintegrasian kepentinga-kepetingan khusus itu. Artinya,
bahwa tidak serta-merta yang dimaksud kesejahteraan umum adalah ketika sudah
terpenuhinya kepentingan-kepentingan itu melainkan bila semua kepentingan
khusus itu dapat dengna serta-merta membangun kesejahteraan umum dengan berdasar
pada tata nilai seimbang dan pengertian yang cermat tentang martabat dan
hak-hak pribadi manusia. Justru, ketika kesejahteraan umum telah tercapai,
niscaya kepentingan-kepentingan khusus akan juga terpenuhi. Jadi Kesejahteraan
umum merupakan keseluruhan kondisi hidup
kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompokkelompok maupun anggota-anggota
perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan
mereka sendiri. [32]
4.5.
Posisi dan Sumbangan Gereja
Berhadapan dengan tata negara dalam bidang politik,
Gereja senantiasa tetap bersikap netral. Gereja tetap memperjuankan
identitasnya sebagai lembaga institusi yang diperjuangkan sejak reformasi
Gregorian, yaitu lepasnya Gereja dari keterlibatan politik. Gereja mencoba
berdiri di tengah kekuatan politis yang ada tanpa cenderung pada paham
tertentu. “Vistus stad in medio”
mungkin cocok disebut sebagai prisip atau motto yang diambil oleh hirarki
hingga saat ini. Hal ini jugalah yang nampaknya dipertimbangkan oleh Bapa Suci
dalam ensiklik ini terutama dalam artikel 47. Dengan tegas dikatakan sikap
Gereja bahwa Gereja menghormati otonomi
tata demokrasi yang sah dan sewajarnya tanpa condong terhadap bentuk
perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga.
Akan tetapi, identitas ini tidaklah membuat Gereja
menutup mata terhadap situasi yang sedang terjadi dan bergejolak dalam
masyarakat dunia. Dalam hal perundang-undangan dan tata kenegaraan Gereja
berusaha memberi sumbangannya yang terletak dalam visinya tentang martabat
pribadi manusia. Pandangan ini tidaklah
sebatas pemandangan manusia pada manusia itu tetapi dengan merefleksikan arti
martabat manusia itu berdasarkan pewahyuan
sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma. Dalam hal ini, Gereja tetap
berjasa untuk menjaga agar nilai-nilai luhur martabat manusia tidak lagi direndahkan
dengan cara apapun.
V.
Aplikasi:
Hak Azasi Manusia dalam Konteks Negara Indonesia
Negara Indonesia sangatlah tepat menjadi sasaran
pembahasan ini terutama karena Indonesia memiliki sistem pemerintahan
demokrasi. Perjalan bersama sebagai suatu masyarakat selama 59 tahun sejak
tahun 1950 di bawah sistim demokrasi seharusnya telah mematangkan sistim Negara
ini. Terlebih lagi, sejarah membuktikan
bahwa Negara Indonesia sudah pernah menerapkan beberapa macam bentuk demokrasi
dari parlementer, liberal, terpimpin hingga ke demokrasi pancasila yang hanya
khas milik Indonesia. Namun, harus diakui bahwa apa yang diharapkan oleh para
pendiri negara ini dari sistem demokrasi masih jauh dalam kenyataan. Masih
banyak terdapat celah-celah yang semakin menyakitkan dalam tubuh demokrasi itu.
Dengan kata lain, apa yang menjadi kegelisahan dari Paus Yoannes Paulus II
sungguh terjadi dalam negara ini. Demokrasi Pancasila kadang hanya dipakai
sebagai pelindung kelompok tertentu yang telah menindas kelompok lain. Secara
singkat boleh dikatakan bahwa saat ini, Indonesia sedang mengalami krisis nilai
dari demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa kemerosotan nilai demokrasi
akan berakibat langsung pada hak asasi manusia. Beberapa tahun terakhir ini
sering terdengar pelanggaran hak-hak asasi manusia yang bahkan sudah mencapai
tahap yang tinggi yaitu pelanggara secara sistematis. Kasus Tibo, cs yang tidak
akan mungkin lepas dari ingatan menjadi bukti nyata bagaimana sebenarnya
penegakan HAM di negara ini. Saat itu
secara tiba-tiba hukuman mati disahkan. Dan masih banyak kasus lain apa lagi
dalam kaitannya dengan demokrasi.
Apa yang dapat ditawarkan Gereja melalui ensiklik CA
artikel 47 ini? Pada dasarnya, Ajaran Sosial Gereja tidaklah menyediakan
hal-hal yang operasional melainkan hal-hal yang strategis bagaimana masalah itu
diatasi. Berhadapan dengan situasi Demokrasi Indonesia dalam hubungannya dengan
Hak asasi manusia, artikel ini memberikan strategi tersendiri. Pertama-tama
kita disadarkan akan nilai pentingnya memperbaharui tata negara yang sungguh
berlandas pada hukum yang harus dijadikan sebagai norma di mana hukumlah yang
berdaulat penuh. Lalu berikutnya menyadarkan betapa pentingnya melandaskan
demokrasi pada pengakuan yang jelas-tandas akan hak asasi manusia. Martabat
manusia haruslah menjadi fokus utama dalam usaha demokrasi itu. Yang menjadi
pertanyaan, siapakah yang harus mempelopori strategi ini kalau bukan pemerintah
dan rakyat sendiri?
VI. Penutup
Berkali-kali Paus Yohannes Paulus
mengatakan bahwa Gereja menghargai sistim demokrasi karena pada dasarnya
demokrasi sungguh menghargai martabat manusia yang mengejawantah dalam hak-hak
asasi manusia. Secara khusus Sri Paus melihat bahwa sebenarnya dalam tubuh
demokrasi itu ada banyak kebaikan. Seperti yang telah diutarakan dalam bab sebelumnya,
bahwa demokrasi merupakan angin segar bagi martabat manusia. Ketika martabat
manusia direndahkan dalam paham totalitarisme lebih khusus mereka yang lemah,
mereka sungguh mendambakan suatu pola baru yang betul-betul memberikan
perhargaan pada martabat itu dan hadirlah demokrasi. Akan tetapi ternyata besar
juga kemungkinan bahwa demokrasi bisa menjadi totalitarisme baru yang
terselubung. Jadi apakah kita akan mempersalahkan sistem demokrasi itu?
Sebenarnya hal yang paling
ditekankan artikel ini adalah bagaimana elaborasi antara demokrasi dengan
penghargaan terhadap hak asasi manusia. Dalam demokrasi, hak asasi manusia
mendapat perhatian khusus dan hak asasi manusia menjadi komponen dasar dari
terbentuknya demokrasi. Peranan Gereja dalam kedua tema ini adalah
menyumbangkan makna dari martabat manusia itu sendiri yang bersumber dari
Penjelmaan Sang Sabda dalam diri Yesus.
[1] Bdk. DR. B. Kieser SJ,
Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Hal.
212.
[2] Komisi Kepausan untuk Keadilan
dan Perdamaian, Kompendium ajaran sosial Gereja, Maumere: Ledalero, 2009. Hal. 266.
[3]
DR. B.
Kieser SJ, opcit. Hal 214
[4] Daniel Finn, Commentary on Centessimus Annus (On the Hundredth Anniversary of Rerum Novarum), dalam Kenneth R. Himes, OFM, (ed.) Modern Catholic social teaching: commentaries and interpretations, Washington,dc: Georgetown University Press, 2005. hal. 438.
[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. Ibid. Hal. 438-439
[7] Bdk. Ibid. Hal. 436
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid. 437
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Bdk. Dwi Siswanto, Sosialitas dalam
Perspektif Filsafat Sosial, http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index. php /jf/article/view/41/37 akses Rabu, 9 Desember 2009 pkl. 18.02
[16] Maria Endah M.R, Aksi Politik
dan Pluralitas http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.com
/msg05104.html,
akses Rabu, 9 Desember 2009 pkl. 20.00.
[17] Bdk. Ibid.
[18] Bdk. Ibid.
[19] Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hal.
110.
[20] Ensiklopedia Gereja, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1987, hal. 203.
[22] Jack Donnelly, Konsep Mengenai Hak-hak Asasi Manusia”
dalam Frans Ceunfin SVD (ed.), Hak-hak
Asasi Manusia, Maumere: Ledalero, 2004. Hal. 1
[23] Bdk. Op cit. Hal. 6
[24] Adnan Buyung Nasution, Instrumen internasional pokok hak-hak asasi manusia, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006. Hal. 88
[25] T. Mulya Lubis, Alexander Lay, Kontroversi hukuman mati: perbedaan pendapat hakim konstitusi, Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara, 2009. hal. 301
[26] Komisi Kepausan untuk Keadilan
dan Perdamaian, Op.cit. Hal 104.
[27] Ibid. Hal 198.
[28] Ibid. Hal 199.
[29] Eka An
Aqimuddin, Hak Kebebasan Beragama;
Antara Universal Declaration of Human Rights (1948) dengan Cairo
Declaration (1990), http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/13/hak-kebebasan-beragama-antara-universal-declaration-of-human-rights-1948-dengan-cairo-declaration-1990/ akses Rabu, 9
Desember 2009, pkl 20.30
[30] Komisi Kepausan untuk Keadilan
dan Perdamaian. Op. cit. Hal 104.
[31] Ibid. Hal. 105.
[32] Ibid. Hal. 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar