Total Tayangan Halaman

Sabtu, 24 September 2011

Hak Asasi Manusia di Tengah Demokrasi menurut Centesimus Annus (CA)


I.    Pengantar
Ensiklik Centesimus Annus yang ditulis oleh Paus Yoannes Paulus II ditujukan untuk memperingati seratus tahun ensiklik Rerum Novarum. Dalam ensiklik ini Bapa Suci membicarakan masalah-masalah baru dewasa ini terutama setelah runtuhnya sistem  ekonomi dan politik sosialisme-komunisme di Eropa Timur serta ingin memberikan sekedar orientasi untuk masuk dalam milenium baru.[1] Sebagai ensiklik yang ditujukan untuk itu, tentunya tema-tema dalam ensiklik Centesimus Annus tidak jauh beda dengan tema yang telah diusung dalam ensiklik Rerum Novarum yaitu tentang modal kerja dan tanggung jawab politik dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Berkaitan dengan itu, salah satu unsur penting dan mendasar dalam bidang tema ini adalah mengenai pandangan kedua ensiklik ini terhadap manusia lebih khusus lagi mengenai Hak Asasi Manusia yang senantiasa aktual di setiap perkembangan manusia dalam masyarakat. Hak asasi manusia senantiasa dikaitkan dengan kodrat manusia itu sendiri sehingga tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai manusia itu sendiri. Memahami pribadi manusia sebagai landasan sekaligus tujuan paguyuban politik berarti memperjuangkan pengakuan dan penghargaan atas martabat manusia dengan membela dan memajukan hak asasi manusia yang mendasar dan tidak dapat dicabut.[2] Salah satu penjabaran terhadap perjuangan atas pengakuan dan penghargaan atas hak asasi manusia itu adalah dengan kembali pada arti terdalam dari hak asasi manusia itu sendiri. Fokus perhatian penulis mengenai arti terdalam dari hak asasi manusia tersebut adalah Centesimus Annus  artikel 47.
Mengapa penulis memilih tema ini? Alasan penulis untuk memilih tema ini karena dilatarbelkangi oleh keprihatinan terhadap kemerosotan penghargaan masyarakat modern sekarang ini terhadap hak asasi manusia itu sendiri terlebih mereka yang lemah dan tertindas. Konteks latar belakang penulisan ini adalah negara indonesia sendiri yang merupakan salah satu negara yang berpolakan Demokrasi. Oleh karena itu lebih khusus penulis mencoba membuka mata terhadap realitas zaman sekarang khususnya di negara Indonesia sendiri. Banyak orang yang hak-haknya dirampas begitu saja. Dan yang paling mengenaskan adalah perampasan hak secara sistematis dari oknum-oknum tertentu dalam suatu Negara. Nampaknya memaknai kembali apa itu hak asasi manusia adalah salah satu cara yang dapat menyadarkan manusia terutama mereka yang tidak pernah resah dengan penindasan dan ketidakadilan karena merekalah pelakunya.

II. Gambaran Umum Tentang Centesimus Annus
2.1. Latar Belakang Munculnya Centesimus Annus (CA)
Munculnya Centesimus Annus tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dunia. Nampaknya perhatian Paus Yoannes Paulus II tidak jauh beda dengan perhatian Paus Leo XIII karena CA merupakan upaya perluasan Rerum Novarum (RN). Konteks zaman munculnya ensiklik ini dapat dibagi dua namun tidak untuk mengatakan bahwa keduanya terpisah tanpa ada hubungan. Pertama, dalam bidang sosial yaitu semakin derasnya arus zaman di tengah-tengah transformasi dramatis komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur. Arus zaman yang dihadapi oleh Paus Yoannes Paulus II  malah semakin deras terutama dalam bidang industri yang dikembangkan oleh paham sosialis yang tidak mengakui hak perorangan. Pada saat itu, sosialisme sebagai suatu sistem politik runtuh karena tidak mampu menyelesaikan masalah sosial dan karena sosialisme tidak dapat mengerti manusia sebagai pribadi, [3] melainkan sebagai suatu unsur melulu, suatu molekul semata-mata dalam organisme sosial (bdk. CA 13). Kesesatan antropologis ini secara langsung berkaitan dengan bagaimana perhargaan paham ini terhadap hak asasi manusia. Artinya bahwa paham sosialis ini tidak mengakui hak manusia sebagai individu atau sebagai pribadi. Akan tetapi, ensiklik ini tetap memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan RN karena realitas zaman yang dihadapi sungguh lebih kompleks. Pengalaman Paus Yoannes Paulus II sebelum menjadi paus khususnya ketika dia menjadi pekerja manual, menjadi seorang guru dan menjadi uskup di Krakow sungguh memberi sumbangan pada pemikirannya. Secara langsung dia dapat mengetahui masalah-masalah mengerikan yang dihadapi orang-orang kota baik dalam kehidupan pribadi dan publik mereka,[4]  khususnya di negara Polandia. Saat itu Polandia menjadi salah satu negara  Eropa Timur yang meruntuhkan Uni Soviet. Pendorong utama bagi negara ini untuk melakukan transformasi itu adalah serikat buruh yang bernama “Solidaritas” yang memiliki tempat di galangan kapal dan juga adanya keyakinan dalam diri para intelektual, pebisnis dan para mahasiswa bahwa penghidupan yang layak secara moral ada pada jantung transformasi itu yang sesungguhnya dibutuhkan itu. [5]
Kedua, bidang eklesial.[6] Konteks ditulisnya ensiklik ini dalam bidang eklesial juga boleh dikatakan sangat berbeda dengan konteks penulisan RN. Konteks ensiklik CA adalah munculnya keterlibatan para pemimpin Gereja pada perkembangan dunia sekular yaitu dengan mengembangkan kerendahan hati yang lebih besar akan misi dan wawasan Gereja. Sedangkan RN menunjukkan kurangnya perhatian terhadap argumen sekuler yang mereka kritik.  Selain itu, konteks eklesial untuk CA adalah seperempat abad perkembangan teologi tentang hubungan antara iman dan kehidupan ekonomi yang telah terjadi sejak Vatikan II. Tiga di antaranya yang layak disebutkan di sini, ialah: Teologi Pembebasan, Pembelaan Neo-konservatip Kapitalisme, dan Penerbitan tanggapan rinci masalah ekonomi oleh berbagai konferensi uskup nasional.
2.2. Isi
Sebagaimana suatu ensiklik yang diintenskan pada peringatan seratus tahun Rerum Novarum, Paus Yoannes Paulus II memulai esikliknya dengan suatu ajakan untuk kembali memberi perhatian khusus kepada RN. Dalam Bab I, dimuat secara khusus tentang ciri-ciri ensiklik “RN”. Dengan memakai kaca mata yang sama, CA melihat adanya hal-hal baru pada zaman sekarang ini. Hal-hal baru dalam zaman ini adalah berakhirnya sosialisme sebagai sistem politik negara. Paus Yoannes Paulus II mencatat jatuhnya komunisme dan melihat kelemahan yang mendasari kekeliruan pandangan antropologis sosialisme : subordinasi manusia ke mekanisme sosial ekonomi dan bila hal ini dilakukan,  otonomi orang terhilang dan "subjektivitas" masyarakat terhalang.[7] Penghargaan  terhadap martabat manusia mengalami penurunan dari berbagai pihak khususnya pihak yang berkuasa. Yang paling jelas disorot adalah penghargaan pada hak-hak manusia khsususnya para pekerja. Demikianlah faham manusia diperdangkal menjadi serangkaian hubungan-hubungan sosial-ekonomi, dan lenyaplah faham pribadi sebagai pengemban bebas keputusan moril, sebagai subjek yang dengan keputusan-keputusannya membangun tata sosial... maka dari itu pengakuan martabat manusia menjadi lebih sulit, dan dengan demikian ditutuplah jalan menuju pembentukan rukun hidup manusia yang sejati. (bdk. CA 13). Akan tetapi, Gereja tetap menentang ide tentang perjuangan kelas meskipun untuk menegaskan perjuangan terhadap keadilan sosial.[8] Paus juga mengkritik konsumerisme dan perlombaan senjata yaitu bahwa “perlombaan senjata yang kegila-gilaan menguras sumber-sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan ekonomi-ekonomi nasional dan untuk membantu bangsa-bangsa yang belum terkembangkan” (CA 18). Akan tetapi, Paus memberi appresiasi kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang telah meberi perhatian mendalam terhadap hak asasi manusia dan di sisi lain mengkritik PBB tersebut atas kebijakan bantuan untuk pembangunan yang senantiasa tidak selalu mencapai hasil yang positip (Bdk. CA 21).
Pada bagian berikutnya “tahun 1989” berbicara mengenai runtuhnya Uni Soviet dan blok politiknya yaitu tumbangnya berbagai pemerintah diktatorial dan opresif. Paus Yoannes Paulus II mengamati adanya beberapa hal juga menyumbang terjadinya keruntuhan itu adalah: pelanggaran terhadap hak-hak kaum pekerja,  keinginan untuk menghilangkan segala kejahatan dan kekerasan dalam melawan tata politik yang tidak jelas (bdk. CA 23), tidak efisiensinya seluruh sistem perekonomian yang merupakan konsekuensi pelanggaran hak-hak manusia mengenai usaha swasta,  dan yang paling kuat memberi pengaruh runtuhnya komunisme adalah kekosongan spiritual yang ditimbulkan oleh ateisme (bdk. CA 24).
Argumen sentral dari ensiklik termuat dalam pembahasan mengenai “milik perorangan harta-benda bumi untuk semua orang”  yang membahas tentang hak milik pribadi, pasar bebas, dan kapitalisme setelah runtuhnya sosialisme.[9] Semua orang memiliki hak milik pribadi dan itu harus dihargai oleh orang lain akan tetapi hak milik pribadi itu tidaklah mutlak karena Allahlah yang memberi kekayaan di bumi. Hal ini dipertegas oleh para bapa Konsili Vatikan dalam “Gaudium et Spes” “Milik perorangan atau suatu penguasaan atas harta-benda lahiriah memberi setiap orangruang yang sungguh perlu untuk mengembangkan otonomi pribadi maupun keluarganya, dan harus dipandang bagaikan perluasan kebebasan manusiawi ... Tetapi milik perorangan sendiri pun menurut hakekatnya mempunyai sifat sosial juga, yang di dasarkan pada prinsip: harta-benda diperuntukkan bagi semua orang.” (Bdk. CA 30). Berkaitan dengan pasar bebas Bapa Suci menegaskan bahwa sistem ini sangatlah efektif dalam mendaya-gunakan sumber-sumber daya dan untuk dengan tepat-guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Akan tetapi harus tetap diperhatikan bahwa sistem ini dapat membuat orang yang miskin semakin miskin dan yang lemah semakin lemah sehingga harus diusahakan pengembangan bakat bagi setiap pribadi agar tidak terlindas dalam arus zaman. Dengan demikian mereka tidak boleh menjadi korban pertukarang semata dalam pasar bebas melainkan harus tetap lebih penting dari sistem pertukaran barang-barang yang serasi, dan lebih penting dari bentuk-bentuk keadilan yang khas baginya sehingga berlakulah sesuatu yang menjadi hak hak manusia berdasarkan hakekatnya sebagai manusia, karena keluhuran martabatnya (bdk. CA 34).
Di samping itu, Paus Yoannes Paulus II juga mengingatkan bahwa kegagalan “sosialisme Reil” bukanlah berarti bahwa Kapitalismelah yang harus dianggap sebagai satu-satunya pola organisasi ekonomi (bdk. CA 34). Untuk itu harus dipatahkan rintangan-rintangan dan monopoli yang bisa merampas hak perorangan dalam menciptakan pembangunan. Selain bahaya Kapitalisme, Bapa Suci juga mencatat beberapa masalah-masalah dan ancaman-ancaman khusus di negara-negara yang ekonominya sudah maju yaitu gejala konsumerisme. Dalam hal itu, Paus mencatat kejahatan konsumerisme memiliki dampak yang merugikan keluarga dan lingkungan.[10]Karena sikap konsumeristis yang telah merasuki moral manusia, lingkungan alam pun menjadi korban. Perusakan lingkungan alam pertama-tama ditimbulkan oleh sikap ini “karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati dari pada menemukan dan mengembangkan dirinya” (CA 37).
Pada bab kelima, Bapa Suci Yoannes Paulus II memindahkan fokus kepada  hubungan negara dan budaya. Bab ini diawali dengan menyampaikan pandangan Paus Leo XIII mengenai pentingnya pandangan yang sehat tentang negara, untuk menjamin perkembangan kegiatan-kegiatan manusiawi yang sewajarnya, baik di bidang rohani maupun di bidang jasmani (bdk. CA 44). Akan tetapi ajaran itu ditentang oleh totalitarianisme. Namun Sri Paus menuliskan suatu pola negara yaitu “Demokrasi”. Gereja menghargai sistem demokrasi (CA 46) yang penting tetap mengingat bahwa demokrasi sejati hanya tercipta bila di dalamnya ada kebenaran sejati. Negara adalah lembaga yang berorientasi pada kepentingan umum yang akan diarahkan oleh subsidiaritas dan solidaritas.[11] Sungguh layak disyukuri adanya usaha-usaha diberbagai negeara untuk membantu negara-negara yang miskin. Akan tetapi Sri Paus tetap mengingatkan adanya dampak negatif prinsip subsidiaritas itu sehingga harus perlu tetap ditegakkan. Dan Dia mendukung skala lebih kecil bantuan kesejahteraan bagi yang membutuhkan.[12]
Pada bab terakhir, ada peringatan bahwa manusia adalah jalan yang harus di ikuti dan disokong oleh Gereja.[13] Gereja memahami “makna manusia” berkat pewahyuan ilahi (CA 55).  Di samping itu Sri Paus juga menyarankan agar ajaran sosial Gereja ini  dikenal dan dilaksanakan diberbagai negara yang sesudah  tumbangnya "Sosialisme Reil" mengalami pergolakan besar dalam usaha pembaharuan (CA. 56). Dengan mengutip ungkapan Paus Leo XIII, Sri Paus mendesak agar setiap orang dapat bekerja di bidangnya sendiri (CA 56). Akhirnya, Paus menuntut komitmen untuk mengubah gaya hidup dan struktur yang penuh dosa sehingga keadilan dapat tercapai.[14]

III.    Teks Centesimus Annus Art. 47
3.1. Bunyi Teks
Sesudah tumbangnya totaliarisme Marxis dan cukup banyak pemerintah lain yang totaliter, maupun yang berasaskan “keamanan nasional”, sekarang ini kebanyakan didambakan pola demokrasi, kendati masih ada juga yang menentangnya, disertai dengan kepedulian penuh gairah terhadap hak-hak manusiawi. Tetapi berkenaan dengan itu sangat perlulah, bahwa bangsa-bangsa yang sedang dalam proses meninjau kembali sistim pemerintahan mereka, meletakkan dasar yang otentik dan kokoh bagi demokrasi dengan secara jelas-tandas mengakui hak-hak asasi itu. Di antaranya yang pertama-tama perlu diutarakan ialah hak atas kehidupan. Erat sekali berkaitan dengannya ialah hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya sejak saat pertama ia dikandung, begitu pula hak untuk hidup dalam pangkuan keluarga yang bersatu dan dalam lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian anak; hak untuk mengembangkan akal budi maupun kebebasannya sendiri dalam mencari dan mengenal kebenaran; selain itu hak untuk bekerja, supaya harta-benda bumi didaya-gunakan sebagaimana mestinya, dan dari padanya diperoleh nafkah bagi setiap orang beserta mereka yang yang menjadi tanggungannya; akhirnya hak untuk dengan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan, dengan menghayati seksualitas secara bertanggung jawab. Adapun sumber dan rangkuman hak-hak itu dalam arti tertentu terletak pada kebebasan beragama, dalam arti hak untuk hidup menurut kebenaran imannya sendiri dan sesuai dengan keluhuran martabatnya sebagai pribadi.
Di Negara-Negara yang berhaluan demokrasi pun tidak selalu hak-hak ditegakkan sepenuhnya. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya skandal pengguran saja, malainkan juga pelbagai aspek krisis dalam tubuh demokrasi sendiri, yang agaknya ada kalanya kehilangan kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan demi kesejahteraan umum. Tuntutan-tuntutan yang muncul di kalangan masyarakat tidak dipertimbangkan menurut norma-norma keadilan dan moralitas, melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan kemampuan finansial kelompok-kelompok yang mendukungnya. Lambat-laun kemerosotan perilaku politik itu merongrong segala kepercayaan dan menimbulkan sikap apatis, sehingga partisipasi politik mengalami kemunduran, dan semangat kewarganegaraan turun di kalangan masyarakat, yang merasa dirugikan dan frustasi. Oleh karena itu menjadi semakin sulit untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan khusus dalam visi yang utuh-menyeluruh tentang kesejahteraan umum. Sebab kesejahteraan umum itu bukan melulu hasil penjumlahan kepentingan-kepentingan khusus, melainkan memerlukan suatu penilaian dan integrasi kepentingan-kepentingan itu, berdasarkan tata-nilai yang seimbang, lagi pula pada dasarnya menuntut pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak pribadi manusia.
Gereja menghormati otonomi tata demokrasi yang sah dan sewajarnya, dan tidak berhak untuk menyatakan kecondongannya yang khas terhadap bentuk perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga. Sumbangannya bagi tata politik justru terletak pada visinya tentang martabat pribadi manusia, yang dengan jelas diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma.
3.2. Isi Teks
Dalam artikel 47 ini, Paus Yoannes Paulus II menguraikan tema tentang hak asasi manusia dalam hubungan tema tersebut dengan negara-negara yang berhaluan demokrasi. Tema ini sesungguhnya telah dipaparkan dalam artikel-artikel sebelumnya yakni mulai dari artikel 44 soal pengaruh totalitarisme yang membuat manusia mengesampingkan hak-hak sesamanya dan akar dari totalitarisme itu sendiri terletak pada penolakan keluhuran martabat pribadi manusia. Perhatian Gereja untuk melindungi kebebasan pribadi manusia dimuat dalam artikel 45 dan bagaimana Gereja mengahargai Demokrasi yang memberi kebebasan bagi setiap pribadi untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan politik serta menghargai hak-hak bawahan dan mempergunakan hak suara ketika memilih para pemimpin mereka. Jadi, gagasan tetang hak asasi manusia dalam artikel 47 merupakan kelanjutan dari artikel-artekel sebelumnya dan pada artikel 47 ini gagasan ini lebih difokuskan atau ditekankan dalam hubungannya dengan pola Demokrasi.
Apa sesungguhnya yang mau ditekankan dalam artikel 47 ini berkaitan dengan tema hak asasi manusia dalam Negara Demokrasi? Artikel 47 seperti yang telah diutarakan di atas lebih difokuskan untuk memuat kembali tentang hak asasi manusia. Dan lebih lagi hal yang khusus dari artikel ini. Berbeda dengan artikel yang memuat tentang tema yang sama, artikel 47 menjadi lebih khusus dalam pembahasannya tentang hak asasi manusia di Negara Demokrasi. Dalam paragraf awal yang pertama-tama digagas adalah persoalan tentang suatu transisi post tumbangnya totalitarisme Marxis bersama sejumlah pemerintah “totaliter” ke arah munculnya suatu pola baru yaitu pola Demokrasi yang juga telah didambakan dan disertai dengan kepedulian penuh gairah terhadap hak-hak manusiawi. Lebih lagi soal demokrasi terdapat ajakan bagi bangsa-bangsa yang sedang dalam proses meninjau kembali sistem pemerintahan agar meletakkan dasar yang kokoh dan otentik bagi demokrasi yaitu dengan jelas-tandas mengakui hak-hak asasi manusia.
Berhubung karena hak asasi manusia yang menjadi fokus utama dari artikel ini, maka tidak anehlah bahwa tema ini diuraikan secara panjang lebar khususnya mengenai hak-hak yang harus diakui dalam pola demokrasi itu. Di sana dikatakan bahwa hak asasi yang perlu pertama diutarakan adalah hak atas kehidupan. Menarik banwa, Sri Paus menguraikan hak ini sesuai pertumbuhan manusia itu sendiri dari sejak pembuahan hingga perkembangannya dalam dunia. Hal itu disebutkan dengan menunjukkan hubungan erat antara hak atas kehidupan dengan hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya sejak pertama dikandung. Demikian juga hubungan hak ini dengan hak untuk hidup dalam pangkuan keluarga yang bersatu dan dalam lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian anak itu. Lebih lanjut sesuai perkembangan anak itu, pada saat tertentu ia akan menggunakan haknya untuk mengembangkan akal budi maupun kebebasannya sendiri dalam mencari dan mengenal kebenaran. Dan juga pada gilirannya dia akan menggunakan hak untuk bekerja agar supaya harta-benda bumi didaya-gunakan sebagaimana mestinya. Dengan hak dan upayanya untuk mengolah bumi, ia akan memperoleh nafkah bagi setiap orang beserta mereka yang yang menjadi tanggungannya. Setelah itu,  akhirnya dia akan mencapai tahap hidupnya dengan menggunakan haknya untuk dengan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan, dengan menghayati seksualitas secara bertanggung jawab. Bapa Suci melihat bahwa hak manusia itu juga mengikuti perkembangan pribadi manusia. Dan pada bagian terakhir dari penjelasan tentang hak asasi manusia, Paus Yoannes Paulus II menegaskan bahwa sumber dan rangkuman hak-hak itu dalam arti tertentu terletak pada kebebasan beragama atau ketika setiap orang dapat menggukan haknya dengan bebas dalam memilih agamanya dan menjalankan hidup agamanya. Dalam arti, setiap orang punya hak untuk hidup menurut kebenaran imannya sendiri dan sesuai dengan keluhuran martabatnya sebagai pribadi.
Dalam paragraf yang kedua, fokus perhatian dialihkan ke arah Negara-negara yang berhaluan pola demokrasi tanpa memutuskan penjelasan tentang hak asasi manusia yang menjadi pokok utama artikel ini yang harus diperhatikan oleh negara. Dikatakan bahwa, di Negara-negara pola demokrasi yang dulu didambakan dapat semakin menghargai hak-hak asasi manusia ternyata juga tidak selamanya menegakkan hak-hak itu sepenuhnya. Ketidak-konsekuenan pola demokrasi ini disebabkan karena ada berbagai krisis dalam tubuh demokrasi sendiri yang kadang kala seakan-akan kehilangan kuasa untuk mengambil keputusan demi kesejahteraan umum. Sri Paus melihat bahwa tuntutan yang ada dalam masyarakat tidak dipertimbangkan menurut norma-norma keadilan dan moralitas melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara dan finansial orang yang mendukung kelempok tertentu. Akibatnya pun menjadi fatal yaitu, sulitnya mengintegrasikan kepentingan-kepentingan khusus dalam visi yang utuh-menyeluruh tentang kesejahteraan umum karena banyak orang yang lemah menjadi apatis, frustasi dan rugi. Dan ditambahkan lagi bahwa kesejahteraan umum itu bukanlah merupakan melulu hasil penjumlahan kepentingan-kepentingan khusus tetapi kepentingan-kepentingan itu harus mendapatkan penilaian dan pengintegrasian berdasarkan tata-nilai yang seimbang dan yang lebih penting menjadi dasarnya adalah tuntutan akan adanya pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak pribadi manusia.
Dalam paragraf yang terakhir, Sri Paus Yoannes Paulus II kembali menekankan tentang rasa hormat Geraja pada otonomi tata demokrasi yang sah dan sewajarnya. Dalam tataran politis, juga ditekankan bahwa Gereja tidak berhak untuk menyatakan kecondongannya yang khas terhadap bentuk perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga. Dalam hal ini, Bapa Suci betul-betul menyadari kehadiran Gereja di dunia yang tetap bersikap netral dalam berhadapan dengan dunia politik kenegaraan. Akan tetapi Gereja tidak hanya diam tanpa tindakan dalam hal urusan dunia. Sumbangan Gereja bagi tata politik terletak pada visinya tentang martabat pribadi manusia, yang dengan jelas diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma.
3.3. Ide-ide Pokok Art. 47
o   Transisi antara tumbangnya totaliarisme Marxis dan beberapa pemerintah yang totaliter, dan yang berasaskan “keamanan nasional” menuju bangkitnya pola demokrasi disertai dengan kepedulian penuh gairah terhadap hak-hak manusiawi.
o   Ajakan agar bangsa-bangsa yang sedang dalam proses meninjau kembali sistim pemerintahan meletakkan dasar yang otentik dan kokoh bagi demokrasi dengan secara jelas-tandas mengakui hak-hak asasi itu.
o   Hak-hak asasi yang harus diakui dalam Negara yang berpola Demokrasi
o   Turunnya penghargaan atas hak asasi manusia di Negara-Negara yang berhaluan demokrasi karena adanya krisis dalam tubuh demokrasi sendiri.
o   Sistem pertimbangan negara atas tuntutan di kalangan masyarakat.
o   Akibat dari kemerosotan perilaku politik dalam negara yang memiliki pola demokrasi.
o   Konsep dasar dan benar kesejahteraan umum
o   Posisi dan sumbangan Gereja ketika berhadapan dengan tata politik negara-negara.

IV.    Pendalaman Ide-Ide Pokok Centesimus Annus Art. 47
4.1.   Totalitarisme Marxis dan Beberapa Pemerintah yang Totaliter, dan yang    Berasaskan “Keamanan Nasional”
  Totalitarisme merupakan sistem yang menganggap negara atau penguasa berwenang untuk menata dan menentukan semua segi kehidupan masyarakat misalnya: kehidupan politik ditentukan oleh elite politik, bidang ekonomi seluruhnya dikuasai negara (etatisme), begitu pula pendidikan, kehidupan kekeluargaan, kehidupan keagamaan/kepercayaan dipegang dan ditentukan langsung oleh negara.[15] Dalam pola Marxisme-Leninisme, totalitarisme dianggap bahwa di dalamnya ada sejumlah orang, yang karena lebih menyelami hukum-hukum perkembangan masyarakat, atau karena termasuk anggota kelas tertentu, atau karena lebih erat berhubungan dengan sumber-sumber kesadaran kolektif yang lebih mendalam, sama sekali luput dari kesalahan mana pun jug, dan karena itu dapat meng-claim kedaulatan mutlak bagi dirinya sendiri (Bdk.CA 44). Dalam paham ini, masyarakat golongan menengah ke bawah tidak memiliki wewenang sama sekali dalam pengaturan hidup bersama. Mereka, khususnya sebagai individu, berguna hanya sejauh jasa mereka kepada keseluruhan di bawah wewenang para penguasa. Jadi boleh dikatakan bahwa negara  atau masyarakat itu merupakan tujuan dalam dirinya sendiri sehingga individu sama sekali hanya sebagai elemen negara atau masyarakat yang tidak punya nilai dalam dirinya. Maka benarlah bahwa akar totalitarisme modern terletak pada penolakan terhadap keluhuran martabat pribadi manusia, yang sebagai citra kelihatan Allah yang tidak kelihatan, menurut hakekatnya menjadi pengemban hak-hak, yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun juga, entah itu perorangan atau kelompok tertentu, kelas tertentu, bangsa atau Negara sendiri (Bdk CA 44).
Menurut Franz magnis-Suseno, totaliterisme merupakan istilah ilmu politik untuk menyebut gejala: Negara Totaliter.[16] Dengan paham totalitarisme, seorang pemerintah negara dapat menjalankan tampuk jabatannya dengan sikap totaliter. Pada umumnya pemerintah yang menganut totaliter juga akan mempengaruhi haluan negaranya menjadi negara totaliter. Negara totaliter itu sendiri adalah sebuah sistem politik yang, dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotik tradisional, secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasikan segala segi kehidupan masyarakat.[17] Seorang pemerintah yang totaliter merupakan tokoh utama dalam pelaksaan paham ini  akan secara aktif menentukan bagaimana masyarakat hidup dan mati, bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja dan juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan serta barang siapa yang tidak ikut akan dihancurkan.[18] Dengan demikian, tindakan ini akan menghapus kepluralan manusia di negaranya dan menjunjung tinggi semangat uniformitas. Usaha-usaha ini pada giliran dibentuk dengan tujuan “keamanan nasional”. Uniformitas masyarakat bangsa menjadi ujung tombak dalam menciptakan “keamanan nasional”.
4.2.  Konsep Negara dan Pola demokrasi
Sri Paus dengan merujuk pada ungkapan Paus Leo XIII mengungkapkan bahwa amat pentingnya pandangan yang sehat tentang negara untuk menjamin perkembangan kegiatan-kegiatan manusiawi yang sewajarnya, baik di bidang rohani maupun di bidang jasmani (Bdk. CA 44). Negara adalah organisasi kemasyarakat yang tertinggi dalam suatu wilayah yang mempunyai kesuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.[19] Sebagai organisasi tertinggi masyarakat, negara itu timbul dari tuntutan kodrat sosial manusia. Dalam hubunganya dengan kesejahteraan umum, suatu negara ada untuk kesejahteraan umum itu sendiri. Jadi, suatu Negara yang adalah kumpulan banyak pribadi yang ada untuk menciptakan kesejahteraan umum harus mampu memberi penghargaan pada martabat pribadi itu sendiri sebagai manusia. Di samping itu, sebagai tuntutan kodrat manusia yang berasal dari Allah sendiri, maka dalam arti tidak langsung bisa dikatakan bahwa  dasar kekuasaan negara adalah kehendak kehendak Tuhan.[20]
Demi mencapai tujuannya dan panggilan esensialnya untuk melaksanakan kesejahteraan umum, sebuah negara haruslah dijalankan dengan sistem pemerintahan dan penataan negara yang sungguh mendukung usaha tersebut. Dalam sejarah perkembangan bangsa-bangsa telah banyaklah sistem tata negara yang telah dijalankan akan tetapi kesejahteraan umum kurang menjadi perhatian. Beberapa sistem yang pernah diterapkan dalam beberapa negara adalah sistem presidensial, parlementer, komunis, liberal, kapitel dan demokrasi liberal. Berikut ini, penulis hanya menerangkan salah satu sistem saja  yaitu Demokrasi yang juga menjadi suatu sistem yang sekarang ini banyak diterapkan di berbagai negara.
 
4.2.1.   Demokrasi: Angin Segar bagi Martabat Manusia[21]
Gagasan tentang demokrasi sesungguhnya mempunyai akar yang panjang, dan telah muncul sejak kurang lebih 2.500 tahun yang lalu. Akarnya, dapat ditelusuri dari masa kejayaan Yunani Kuno ketika negara kota (city state) mulai berkembang di Athena dan demokrasi di kota inilah yang dianggap sebagai demokrasi paling nyata karena warga negara terlibat secara aktif dalam menentukan hukum dan pemerintahan. Perkembangan demokrasi di kota Athena inilah yang menjadi inspirasi bagi para pemikir politik modern. Namun sebagaimana sebuah pemikiran, ada juga terdapat berbagai perbedaan antara pemikiran modern sekarang dengan pemikiran zaman Yunani Kuno ini seperti misalnya gagasan liberal modern mengenai keberadaan manusia sebagai “individu” dengan “hak” tidak mempunya kaitan langsung dengan pikiran-pikiran politik Yunani. Dalam perkembangan selanjutnya, demokrasi modern mempunyai delapan karakteristik pokok, yakni (1) ada konstitusi yang membatasi kekuasaan dan mengontrol aktifitas pemerintah, baik secara tertulis, tidak tertulis maupun kombinasi keduanya; (2) pemilihan untuk para pejabat publik (election of public officials) yang dilakukan secara bebas; (3) hak untuk memilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan; (4) kebebasan berekspresi; (5)kebebasan pers dan adanya akses untuk sumber-sumber informasi alternatif; (6) kebebasan berasosiasi; (7) adanya keseraan dalam hukum; (8) warga negara yang terdidik yang terinformasi mengenai hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Khusus menyangkut pemberian kebebasan kepada individu, secara instrumental demokrasi mendorong kebebasan melalui tiga cara. Pertama, pemilu yang bebas dan adil yang secara inheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu untuk berekspresi. Kedua,demokrasi memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri (self-determination). Ketiga, demokrasi mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap negara untuk melakukan pilihan-pilihan normatif dan karennya pada tingkat yang paling mendalam, demokraso mendorong kemapuan untuk memerintah sendiri (self-governing).
Dari penjelasan ini, sangat jelaslah bahwa demokrasi sejak pertama kali muncul dalam dunia tata negara telah memberikan tempat khusus terhadap martabat manusia secara khusus pada hak asasinya sebagai pribadi. Bila dibandingkan dengan paham negara totaliter, kehadiran pola demokrasi di abad modern ini sungguh memberikan angin segar bagi martabat manusia. Dalam esikliknya, Bapa Suci Yoannes Paulus II menegaskan bahwa Gereja menghargai sistim demokrasi, karena membuka wewenang yang luas bagi warganegara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang kepada rakyat bawahan untuk memilih pada pemimpin, tetapi juga meminta pertanggung jawaban dari mereka, dan–bila itu memang sudah selayaknya–menggantikan mereka melalui cara-cara damai (bdk. CA 46). Lebih lanjut Sri Paus juga memberikan pandangan bagaimana agar tercipta demokrasi yang sejati. Dalam artikel yang sama dengan yang sebelumnya diutarakan bahwa demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam Negara Hukum, dan berdasarkan faham yang tepat tentang pribadi manusia. Sebuah demokrasi tanpa nilai-nilai yang dijamin dalam negara hukum akan dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terbuka, seperti yang terjadi dalam sejarah (Bdk. CA 46 ).
4.2.2.   Kemerosotan Pola Demokrasi
Dalam perkembangan sejarah manusia, ternyata demokasi tidak memberikan apa yang dulunya didambakan oleh banyak orang yang di dalam negaranya demokrasi menjadi pola Negara. Akan tetapi haruslah dianalisa secara kritis apa yang menjadi penyebab kegagalan pola demokrasi itu sendiri. Dari penjelasan tentang demokrasi di atas, tidak seorang pun akan mengatakan bahwa dalam dirinya demokrasi itu adalah buruk. Bagi penulis, demokrasi itu in se baik. Hanya saja ada oknum-oknum tertentu yang telah merusak sistim itu. Sebagai sebuah sistem, bila salah satu komponennya rusak maka sistem itu akan rusak, demikiannya juga demokrasi akan rusak (baca: kehilangan tujuan) bila salah satu komponennya rusak (baca:tidak berjalan dengan semestinya). Hal ini diungkapkan oleh Bapa  Paus dengan frasa “krisis dalam tubuh demokrasi.” Krisis ini diperjelas lagi bahwa krisis itu muncul ketika pemerintah demokrasi kehilangan kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan demi kesejahteraan umum.  Kahilangan kekuasaan itu terletak terletak dalam mempertimbankan tuntutan-tuntutan yang muncul di kalangan masyarakat yang tidak bersadasarkan norma-norma keadilan dan moralitas, melainkan berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan kemampuan finansial kelompok-kelompok yang mendukungnya. Akibatnya lambat-laun timbullah kemerosotan yang pada gilirannya akan merongrong segala kepercayaan masyarakat bagi pemerintah. Lebih lagi ketidakpercayaan itu juga akan menimbulkan sikap apatis sehingga partisipasi politik  dan semangat kewarganegaraan dari masyarakat mengalami kemunduran. Pada dasarnya masyarakat yang mengalami itu adalah masyarakat yang merasa dirugikan dan frustasi dan lebih penting lagi bahwa jumlah mereka tidak sedikit.
4.3.  Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia – droits de l’homme, derechos humanos, Menschenrechte, “hak-hak  manusia” – secara harfiah berarti hak-hak yang dimiliki seseorang karena ia manusia.[22] Dalam hal ini manusia dilihat sebagai mahluk yang karena kodratnya sebagai manusia, dia memiliki hak-hak asasi. Dengan kata lain  bahwa suatu mahluk dikatakan punya hak asasi karena ia adala manusia. Dengan kata lain bahwa hanya manusialah yang mempunya kodrat sebagai mahluk yang punya hak asasi. Dengan demikian, hak asasi manusia itu adalah suatu hal yang substansi dalam diri manusia sehingga memiliki ciri-ciri khusus, yaitu[23]: (1) setara (equal): seseorang atau manusia atau bukan manusia, dan oleh karena itu, atau memiliki hak-hak asasi manusia yang sama seperti yang dipunyai oleh orang-orang lain (atau tidak sama sekali); (2) tidak dapat dicabut dalam arti seseorang tidak dapat berhenti menjadi manusia, tidak peduli betapa jahatnya ia bertingkah, atau betapa lazimnya ia diperlakukan; (3) universal: dalam arti bahwa dewasa ini kita menganggap semua anggota dari spesies homo sapiens sebagai “mahluk-mahluk insani”, dan dengan demikian adalah pemegang hak-hak asasi manusia.
Dalam artikel 47, Paus Yoannes Paulus II menyebutkan hak-hak apa saja yang yang menjadi hak asasi manusia. Berikut ini, penulis akan mengalisa makna dari hak-hak itu satu persatu:
1.      Hak atas kehidupan.
Dalam “Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia” hak untuk hidup dimuat dalam pasal yang ketiga “setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi.” Yang menjadi cakupannya adalah bahwa hak utnuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dicabut dan ditunda pemenuhannya dalam situasi apa pun (non-derogable right).[24] Mantan Sekjen PBB, Ban-Ki-Moon pernah mengatakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup secara bermartabat dan karenanya hak untuk hidup mesti dihormati dan dilindungi.[25] Menarik bahwa Bapa Paus merasa perlu untuk memulai daftar hak-hak ini dengan pertama kali menyebutkan hak atas kehidupan. Nampaknya ada arti penekanan khusus tentang hak ini. Seperti yang telah kami sampaikan di atas, nampaknya Paus mengikuti perkembangan manusia dari sejak awal hidup dalam menerangkan hak-hak asasi ini. Sebagai mana terbentuknya manusia dan kodratnya, sejak saat itulah dia memiliki hak untuk hidup sehingga harus dilindungi dan dipelihara. Boleh dikatakan bahwa hak untuk hidup adalah yang paling asasi dan mendasar dari manusia karena bila manusia tidak punya hidup lagi (mati) dengan sendirinya manusia itu tidak punya hak-hak asasi lainnya. Maka jelaslah bila Paus merasa perlu itu bertujuan untuk menekankan peranan hak ini dalam hidup manusia. Lebih lagi hak ini langsung dihubungkan dengan hak anak untuk hidup dalam rahim dan dalam pangkuan keluarga dan juga dalam lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadiaannya. Jadi, hak ini yang merupakan syarat bagi pelaksanaan semua hak yang lain, dan khususnya menyiratkan haramnya setiap bentuk aborsi secara sengaja dan eutanasia.[26]
2.      Hak  untuk mengembangkan akal budi maupun untuk mencari dan mengenal kebenaran.
Selanjutnya disebutkan bahwa pada tahap tertentu manusia memiliki hak untuk mengembangkan akal budi maupun untuk mencari dan mengenal kebenaran. Ini berarti bahwa setiap manusia berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dalam mengembangkan kepribadiaannya.
3.      Hak untuk bekerja.
Kerja adalah sebuah hak fundamental dan sebuah kebaikan bagi umat manusia, sebuah kebaikan yang bermanfaat, sepantasnya bagi manusia karena kerja merupakan cara yang tepat baginya untuk memberi ungkapan bagi dan mempertinggi martabat  manusiawinya.[27] Dengan menggunakan hak ini, seorang manusia pada akhirnya akan mampu menghidupi semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Kerja adalah suatu kebaikan yang menjadi milik semua orang dan mesti dibuat tersedia bagi semua orang yang mampu terlibat di dalamnya sehingga dia bebas dari pengangguran karenanya tetap merupakan sebuah tujuan wajib untuk setiap sistem ekonomi yang berorientasi pada keadilan serta  kesejahteraan umum.[28] Selain mengutarakan hak ini, Sri Paus juga memberi himbauan agar harta-benda bumi diupayakan sebagaiman mestinya.
4.      Hak untuk dengan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik anak-keturunan.
Membangun sebuah keluarga merupakan suatu panggilan dalam hidup manusia dan bisa dikatakan termasuk dalam perintah Allah sendiri: “Beranakcuculah dan bertambah banyak” (Kej.1:28). Hak ini pada dasarnya harus didasarkan pada kerja yang merupakan dasar dalam membangun sebuah keluarga. Hak untuk berkeluarga ini juga mengandung hak untuk memperoleh dan mendidik anak-keturunan. Dalam “Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi manusia” hak ini terdapat dalam pasal 16 dengan bunyi “ Kaum laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apa pun atas dasar ras, kebangsaan atau agama,  memiliki hak untuk kawin dan membentuk keluarga. Mereka memiliki hak-hak yang sama menyangkut perkawinan ... “. Dari penjelasan ini sangatlah nyata bahwa hak untuk berkeluarga sangat hakiki juga dalam hidup manusia. Menarik juga bahwa Bapa Suci menyebutkan frasa “dengan menghayati seksualitas secara bertanggung jawab”. Ini merupakan ajakan yang sungguh menantang dalam hidup manusia zaman ini mengingat begitu banyaknya pencemaran atas kemurnian dan kesucian dari seksualitas itu sendiri. Paus mengajak agar setiap orang merefleksikan arti terdalam dari seksualitas itu.
5.      Hak untuk hidup menurut kebenaran imannya sendiri.
Yang terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah hak untuk hidup menurut kebenaran imannya. Hak kebebasan beragama meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan. [29] Dalam artikel 47, penekanan diberikan pada nilai tertinggi dari hak atas kebebasan beragama: “Semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang perorangan maupun kelompokkelompok sosial dan kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan hati nuraninya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut hati nuraninya, baik sebagai perorangan maupun di muka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain.” [30] Penekanan ini lebih lanjut dihubungkan dengan keluhuran martabat manusia sebagai pribadi yang terwujud ketika dia secara nyata menghayati imannya dengan nyata. Maka, penghormatan atas hak ini merupakan isyarat tentang “kemajuan autentik manusiawi pada setiap pemerintahan, di setiap masyarakat, sistem atau lingkungan hidup”[31]
4.4.  Konsep Kesejahteraan Umum
Dalam artikel 47 ini dimuat suatu konsep kesejahteraan umum dalam kaitannya dengan usaha integrasi kepentingan-kepentingan khusus. Dengan membahasakan ulang bahwa kesejahteraan umum bukanlah hanya hasil penjumlahan kepentingan-kepentingan khusus, melainkan juga memerlukan suatu penilaian dan integrasi kepentingan-kepentingan itu, berdasarkan tata-nilai yang seimbang, lagi pula pada dasarnya menuntut pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak pribadi manusia. Dalam melaksanakan kesejahteraan umum langkah yang pertama yang harus dilakukankan adalah penilain dan pengintegrasian kepentinga-kepetingan khusus itu. Artinya, bahwa tidak serta-merta yang dimaksud kesejahteraan umum adalah ketika sudah terpenuhinya kepentingan-kepentingan itu melainkan bila semua kepentingan khusus itu dapat dengna serta-merta membangun kesejahteraan umum dengan berdasar pada tata nilai seimbang dan pengertian yang cermat tentang martabat dan hak-hak pribadi manusia. Justru, ketika kesejahteraan umum telah tercapai, niscaya kepentingan-kepentingan khusus akan juga terpenuhi. Jadi Kesejahteraan umum merupakan keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompokkelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. [32]
4.5.  Posisi dan Sumbangan Gereja
Berhadapan dengan tata negara dalam bidang politik, Gereja senantiasa tetap bersikap netral. Gereja tetap memperjuankan identitasnya sebagai lembaga institusi yang diperjuangkan sejak reformasi Gregorian, yaitu lepasnya Gereja dari keterlibatan politik. Gereja mencoba berdiri di tengah kekuatan politis yang ada tanpa cenderung pada paham tertentu. “Vistus stad in medio” mungkin cocok disebut sebagai prisip atau motto yang diambil oleh hirarki hingga saat ini. Hal ini jugalah yang nampaknya dipertimbangkan oleh Bapa Suci dalam ensiklik ini terutama dalam artikel 47. Dengan tegas dikatakan sikap Gereja bahwa Gereja menghormati otonomi tata demokrasi yang sah dan sewajarnya tanpa condong terhadap bentuk perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga.
Akan tetapi, identitas ini tidaklah membuat Gereja menutup mata terhadap situasi yang sedang terjadi dan bergejolak dalam masyarakat dunia. Dalam hal perundang-undangan dan tata kenegaraan Gereja berusaha memberi sumbangannya yang terletak dalam visinya tentang martabat pribadi manusia.  Pandangan ini tidaklah sebatas pemandangan manusia pada manusia itu tetapi dengan merefleksikan arti martabat manusia itu  berdasarkan pewahyuan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma. Dalam hal ini, Gereja tetap berjasa untuk menjaga agar nilai-nilai luhur martabat manusia tidak lagi direndahkan dengan cara apapun.

V.    Aplikasi: Hak Azasi Manusia dalam Konteks Negara Indonesia
Negara Indonesia sangatlah tepat menjadi sasaran pembahasan ini terutama karena Indonesia memiliki sistem pemerintahan demokrasi. Perjalan bersama sebagai suatu masyarakat selama 59 tahun sejak tahun 1950 di bawah sistim demokrasi seharusnya telah mematangkan sistim Negara ini.  Terlebih lagi, sejarah membuktikan bahwa Negara Indonesia sudah pernah menerapkan beberapa macam bentuk demokrasi dari parlementer, liberal, terpimpin hingga ke demokrasi pancasila yang hanya khas milik Indonesia. Namun, harus diakui bahwa apa yang diharapkan oleh para pendiri negara ini dari sistem demokrasi masih jauh dalam kenyataan. Masih banyak terdapat celah-celah yang semakin menyakitkan dalam tubuh demokrasi itu. Dengan kata lain, apa yang menjadi kegelisahan dari Paus Yoannes Paulus II sungguh terjadi dalam negara ini. Demokrasi Pancasila kadang hanya dipakai sebagai pelindung kelompok tertentu yang telah menindas kelompok lain. Secara singkat boleh dikatakan bahwa saat ini, Indonesia sedang mengalami krisis nilai dari demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa kemerosotan nilai demokrasi akan berakibat langsung pada hak asasi manusia. Beberapa tahun terakhir ini sering terdengar pelanggaran hak-hak asasi manusia yang bahkan sudah mencapai tahap yang tinggi yaitu pelanggara secara sistematis. Kasus Tibo, cs yang tidak akan mungkin lepas dari ingatan menjadi bukti nyata bagaimana sebenarnya penegakan HAM di negara  ini. Saat itu secara tiba-tiba hukuman mati disahkan. Dan masih banyak kasus lain apa lagi dalam kaitannya dengan demokrasi.
Apa yang dapat ditawarkan Gereja melalui ensiklik CA artikel 47 ini? Pada dasarnya, Ajaran Sosial Gereja tidaklah menyediakan hal-hal yang operasional melainkan hal-hal yang strategis bagaimana masalah itu diatasi. Berhadapan dengan situasi Demokrasi Indonesia dalam hubungannya dengan Hak asasi manusia, artikel ini memberikan strategi tersendiri. Pertama-tama kita disadarkan akan nilai pentingnya memperbaharui tata negara yang sungguh berlandas pada hukum yang harus dijadikan sebagai norma di mana hukumlah yang berdaulat penuh. Lalu berikutnya menyadarkan betapa pentingnya melandaskan demokrasi pada pengakuan yang jelas-tandas akan hak asasi manusia. Martabat manusia haruslah menjadi fokus utama dalam usaha demokrasi itu. Yang menjadi pertanyaan, siapakah yang harus mempelopori strategi ini kalau bukan pemerintah dan rakyat sendiri?

VI.    Penutup
Berkali-kali Paus Yohannes Paulus mengatakan bahwa Gereja menghargai sistim demokrasi karena pada dasarnya demokrasi sungguh menghargai martabat manusia yang mengejawantah dalam hak-hak asasi manusia. Secara khusus Sri Paus melihat bahwa sebenarnya dalam tubuh demokrasi itu ada banyak kebaikan. Seperti yang telah diutarakan dalam bab sebelumnya, bahwa demokrasi merupakan angin segar bagi martabat manusia. Ketika martabat manusia direndahkan dalam paham totalitarisme lebih khusus mereka yang lemah, mereka sungguh mendambakan suatu pola baru yang betul-betul memberikan perhargaan pada martabat itu dan hadirlah demokrasi. Akan tetapi ternyata besar juga kemungkinan bahwa demokrasi bisa menjadi totalitarisme baru yang terselubung. Jadi apakah kita akan mempersalahkan sistem demokrasi itu?
Sebenarnya hal yang paling ditekankan artikel ini adalah bagaimana elaborasi antara demokrasi dengan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Dalam demokrasi, hak asasi manusia mendapat perhatian khusus dan hak asasi manusia menjadi komponen dasar dari terbentuknya demokrasi. Peranan Gereja dalam kedua tema ini adalah menyumbangkan makna dari martabat manusia itu sendiri yang bersumber dari Penjelmaan Sang Sabda dalam diri Yesus.


[1] Bdk. DR. B. Kieser SJ, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Hal. 212.
[2] Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian,  Kompendium ajaran sosial Gereja, Maumere: Ledalero, 2009. Hal. 266.
[3] DR. B. Kieser SJ, opcit. Hal  214

[4] Daniel Finn, Commentary on Centessimus Annus (On the Hundredth Anniversary of Rerum Novarum), dalam Kenneth R. Himes, OFM, (ed.)  Modern Catholic social teaching: commentaries and interpretations, Washington,dc: Georgetown University Press, 2005. hal. 438.

[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. Ibid. Hal. 438-439
[7] Bdk. Ibid. Hal. 436
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid. 437
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Bdk. Dwi Siswanto, Sosialitas dalam Perspektif Filsafat Sosial, http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index. php /jf/article/view/41/37 akses Rabu, 9 Desember 2009 pkl. 18.02
[16] Maria Endah M.R, Aksi Politik dan Pluralitas  http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.com /msg05104.html, akses Rabu, 9 Desember 2009 pkl. 20.00.
[17] Bdk. Ibid.
[18] Bdk. Ibid.
[19] Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hal. 110.
[20] Ensiklopedia Gereja, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1987, hal. 203.
[21] Bdk. Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis demokrasi, Yogyakarta: Medpress, 2007. Hal. 38-40.

[22] Jack Donnelly, Konsep Mengenai Hak-hak Asasi Manusia” dalam Frans Ceunfin SVD (ed.), Hak-hak Asasi Manusia, Maumere: Ledalero, 2004. Hal. 1
[23] Bdk. Op cit. Hal. 6
[24] Adnan Buyung Nasution, Instrumen internasional pokok hak-hak asasi manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Hal. 88
[25] T. Mulya Lubis, Alexander Lay, Kontroversi hukuman mati: perbedaan pendapat hakim konstitusi, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2009. hal. 301
[26] Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Op.cit. Hal 104.
[27] Ibid. Hal 198.
[28] Ibid. Hal 199.
[29] Eka An Aqimuddin, Hak Kebebasan Beragama; Antara Universal Declaration of Human Rights (1948) dengan Cairo Declaration (1990), http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/13/hak-kebebasan-beragama-antara-universal-declaration-of-human-rights-1948-dengan-cairo-declaration-1990/ akses Rabu, 9 Desember 2009, pkl 20.30
[30] Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Op. cit. Hal 104.
[31] Ibid. Hal. 105.
[32] Ibid. Hal. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar