Konsep The Experience of
History Menurut Gadamer
(Suatu Aplikasi dalam Memahami Ungkapan Extra Ecclesia Nulla Salus)
I.
Pengantar
Peradaban manusia bukan sesuatu yang sekali jadi dalam
hubungannya dengan perkembangannya. Proses yang berkelanjutan menjadi waktu dan
panggung pergulatannya yang sering mengandung berbagai macam karakter
manusianya. Peradaban manusia dengan kata lain ternyata menimbulkan dampak
langsung bagi manusia dari zaman ke zaman. Dari semua peradaban itu, muncul
beberapa hal penting yang harus diteruskan
dan dimaknai oleh setiap generasi yang tentunnya memiliki pengaruh bagi perjalanan peradaban manusia berikutnya yang disebut
tradisi.
Oleh
Gereja Katolik, Tradisi yang berada dalam Gereja berawal pada Allah dan
diteruskan dengan bimbingan Allah.[1]
Tradisi ini diteruskan dari generasi ke generasi dengan usaha penafsiran
atasnya untuk menemukan makna yang dapat dihidupi dalam setiap generasi itu.
Akan tetapi, berhadapan dengan tradisi tersebut, muncul berbagai bentuk
kesukaran-kesukaran untuk menemukan maknanya. Dalam tulisan ini penulis ingin
mencoba mengaplikasikan pemikiran Gadamer tentang tradisi dalam menemukan makna
dari Tradisi yang ada dalam Gereja Katolik.
II.
Sekilas tentang Gadamer dan Pemikirannya tentang
Sejarah
Hans-Georg
Gadamer adalah seorang filsuf yang telah berhasil mengembangkan suatu refleksi
filosofis atas filsafat penafsiran (hermeneutika). Dia lahir di Marburg pada
tahun 1900 dan belajar pada universitas di kota asalnya yang dididik oleh
Nikolai Hartman dan Martin Heidegger.[2]
Pada saat itu, suasana pemikiran Eropa masih cenderung mengarah pada
asumsi-asumsi pemikiran abad Pencerahan yang menekankan subjek dan
rasionalitas. Produksi dari kebenaran diakui hanya ada dalam pengetahuan.
Relasi yang ada dalam usahan mencari kebenaran adalah subjek-objek yang
mengakibatkan subjek teralienasi dari lingkungannya. Setelah menyelesaikan
studi, dia menjadi mahaguru pada Universitas Heidelberg dan sepanjang
peziarahan filosofisnya ia berusaha “mencari orientasi baru dalam suatu dunia
yang kehilangan orientasi.”[3]
Realitas
pemikiran zaman ini memberikan inspirasi bagi Gadamer dan dia ingin memulihkan
dan mengatasi fenomena alienasi itu. Dia melihat bahwa fenomena alieanasi ini
terjadi karena filsafat, karena dipengaruhi oleh pemikiran Descartes, terlalu
banyak berbicara tentang subjek. Inspirasi ini dia cetuskan dalam pemikirannya
tentang hermeneutiak yang terwujud dalam bukunya “Truth and Method”. Bagi dia, filsafat adalah sebuah dialog,
percakapan dan bukan soal refleksi subjek yang hanya membuat subjek jauh dari
objek dan hanya menghasilkan pengetahuan yang sangat subjektif. Alieanasi ini
harus diatasi agar manusia bisa memahami dengan benar dan praktek pemahaman dan
refleksi teoretis atas praktek tersebut tidak boleh dipisahkan.[4]
Untuk memulai studinya tentang hermeneutik yang dapat mengatasi alieanasi
tersebut, dia pertama-tama menjelaskan tentang “the experience of art” dan “the
experience of historical tradition”.[5]
Dalam
abad Pencerahan, seni dipandang hanya sebatas pengungkapan diri orang semata.
Alhasil, karya-karya seni hanya ditempatkan dalam museum-museum untuk
menimbulkan kenikmatan inderawi tanpa memiliki pengaruh bagi pengetahuan manusia.
Gadamer berpendapat bahwa karya seni itu tidak hanya sebatas itu melainkan juga
memiliki kebenaran. Subjek dapat menerima kebenaran dari seni itu bila dia
berusaha untuk berdialog dengan cara mengalami karya seni itu. Penjelasan
tentang pengalaman akan seni itu membawa Gadamer pada sebuah penemuan akan
konsep baru tentang seni. Bagi dia, seni tidak sekedar subjektif, berkaitan
dengan perasaan seseorang tentang sesuatu, melainkan lebih pada pemahaman yang
muncul dari perjumpaan di mana seni itulah yang menangkap kita.[6]
Dari
penjelasan ini, Gadamer mengarahkan perhatiannya pada pengalaman akan sejarah.
Untuk mengerti bagian ini, ada lima kata kunci yang dapat membantu. Pertama, prejudice (prasangka). Dalam cara pandang lama, suatu ilmu itu
harus sungguh-sungguh objektif sehingga harus menghilangkan setiap prasangka
yang muncul. Prasangka dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Gadamer melihat
itu secara berbeda. Bagi dia, manusia itu adalah mahluk historis yang mengalami
realitas di dalam dan dengan cara memahami realitas. Dalam pemahaman itu,
manusia tidak dengan kerangka berpikir murni melainkan dengan cara yang
digunakan oleh komunitas dimana ia tinggal. Contoh, fenomena munculnya suatu
benda yang melayang seperti piring (UFO) dimengerti orang dengan cara yang
digunakan komunitasnya yaitu, piring dan terbang. Dari pemahaman itu manusia
menamai fenomena itu sebagai piring terbang. Dengan demikian, prasangkanya
selalu dipengaruhi oleh orang sekitarnya. Gadamer melihat bahwa ini adalah
sesuatu yang sangat hakiki bagi manusia. Jadi, prasangka itu harus disadari
bukan ditolak karena hanya dengan menyadari kita dapat mengkritisi mana
prasangka yang membantu dan mana yang menghalangi agar prasangka itu menjadi
produktif. Kedua, interpretative distance (jarak tafsir).
Jarak yang dimaksud bukan soal waktu dan tempat melainkan semua unsur yang
memungkinkan subjek dapat menafsirkan suatu realitas. Jarak ini sangat perlu
dan paling esensial karena jarak inilah yang membantu subjek dalam mencara
kebenaran suatu pengetahuan. Berkaitan dengan prasangka, jarak ini menjadi
semakin penting karena dengan adanya jarak, subjek dapat memfilter
prasangka-prasangka yang problematis sehingga dapat lebih produktif. Ketiga, effetive-history (sejarah efektif). Gadamer melihat sejarah dengan
cara baru. Sejarah bukanlah sesuatu yang baku yang tertinggal begitu saja pada
masa lalu melainkan senantiasa punya dampak bagi masa kini. Pengaruh dari
sejarah itu muncul hingga saat subjek menggali sejarah itu. Sejarah itu membuat
kesadaran manusia senantiasa tidak pernah murni, selalu terkontaminasi. Dampak
dari sejarah ini dengan jelas mau menyatakan bahwa pemahaman adalah historikal,
serentak juga menegaskan bawa masa lalu aktif bergiat di masa kini.[7]
Dengan demikian, sejarah itu merupakn suatu entitas yang ikut membentuk,
memproduksi kesadaran subjek dan ia selalu terintegrasi dengan kesadaran subjek
itu yang pada gilirannya mempengaruhi subjek dalam menghadapi kenyataan. Keempat, aplication (aplikasi). Teks sejarah akan dapat semakin dipahami
bila teks itu diaplikasikan dengan konteks subjek. Aplikasi ini bisa terjadi
karena sejarah senantiasa memiliki koneksitas dengan masa kini. Gadamer
berpendapat bahwa hakekat historis kita sebagai subjek mununjukkan bahwa kita
harus mengintegrasikan peristiwa-peristiwa dan karya-karya seni masa lalu ke
dalam dunia kita.[8]
Dengan demikian, sejarah sendirilah yang akan memunculkan maknanya secara utuh
kepada kita karena kita dapat mengalaminya dalam dunia kita sekarang ini. Kelima, question of openess (pertanyaan terbuka). Setelah mengintegrasikan
sejarah dengan masa kini, penafsiran akan sejarah belum berhenti. Subjek
penafsir harus tetap melakukan dialog dengan realitas dengan mengajukan
pertanyaan terbuka. Dalam hal ini, harus dihindari pertanyaan-pertanyaan
retoris. Dengan bertanya, kekayaan makna dari realitas itu akan selalu muncul
ke hadapan kita.
Demikianlah
kelima kata kunci penting yang harus dimengerti agar dapat memahami pengalaman
akan sejarah yang dijelaskan oleh Gadamer. Selain itu, hal penting yang mau
disampaikan adalah dengan pengalaman akan sejarah ini, frame epistemologi dapat
tetap hidup. Pandangan ini dapat dimengerti karena hermeneutika yang ditawarkan
oleh Gadamer adalah suatu hermeneutik dialektis di mana dalam penafsiran, subjek
tidak menutup diri dengan realitas tetapi berdialog dengan realitas itu sendiri
dalam suatu sikap terbuka.
Bagi
Gadamer, manusia berada lewat dan dalam tradisi.[9]
Tidak ada seorang pun manusia yang tidak dipengaruhi oleh tradisi karena
manusia adalah mahluk yang historis. Dia punya masa lalu yang senantiasa
menyatu dalam dirinya. Dengan sendirinya, tradisi adalah proses yang menyatu
dengan eksistensi manusia.[10]
Dia melewati tradisi di satu sisi dan berada dalam tradisi itu sendiri sehingga
adalah suatu yang mustahil bila manusia lepas dari tradisinya.
Tradisi
yang dimaksud oleh Gadamer adalah Engkau, bukan suatu substansi, bukan benda
maka tidak dapat dilihat dan diperlakukan sebagaimana orang melihat atau
memberlakukan benda.[11]
Tradisi bukan sesuatu yang ada di luar realitas hidup kita sehingga kita dapat
mengadakan dialog dengannya. Gadamer menggunakan kata “Engkau” untuk
menunjukkan relasi dialektis ini. Dengan kata lain, kita bisa mengadakan dialog
dengan tradisi itu karena “kita senantiasa berndiri di dalam tradisi”.[12]
Dialog dapat terjadi ketika kita membawa pengalaman kita sendiri dan praduga
yang kita miliki sambil memiliki keterbukaan. Dengan kata lain, bagi Gadamer tradisi adalah kesadaran akan
peristiwa-peristiwa masa lampau yang mempengaruhi seluruh pengalaman hidup kita. [13] Tradisi juga membantu kita untuk mengerti realitas kekiniaan kita karena
tradisi senantiasa menimbulkan prasangka-prasangka yang produktif.
III.
Aplikasi dan Kesimpulan
a.
Aplikasi dalam Memahami Ungkapan “Extra Ecclesiam Nulla Salus”
Tradisi ini dimulai
dengan pengakuan akan kepenuhan pernyataan diri Allah dalam Yesus Kristus.[14]
Para Rasul merenungkan pengalaman mereka bersama Yesus, baik karya dan
sabdaNya, dan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Karya penerusan ini
dilakukan melalui pewartaan, perayaan liturgis, kesaksian hidup dan pembangunan
jemaat-jemaat.[15]
Menurut Sandra Marie
Schneiders, Tradisi gereja adalah seluruh pengalaman hidup gereja, yang mencakup:
liturgi, spiritualitas, persekutuan, kesadaran diri, usaha-usaha misioner, dll.[16] Dalam perjalanan sejarah Gereja, Tradisi
itu berkembang sesuai dengan zaman dan generasi yang telah menafsirakannya dan
mengkontemplasikannya. Di sinilah letak fungsi para penafsir yaitu usaha yang
terus-menerus untuk menemukan pemahaman baru dari Tradisi itu.
Akan tetapi, tidak
bisa dipungkiri adalah bahwa ada beberapa ungkapan eksklusif dari Tradisi
Gereja yang pada zaman sekarang ini menjadi perdebatan. Salah satu ungkapan
yang akan dibahas adalah “Extra Ecclesiam
Nulla Salus” Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana ungkapan ini bida
ditafsirkan agar tidak lepas dari realitas manusia zaman sekarang dan memberikan
makna baru dari ungkapan itu tanpa harus mempersalahkannya? Gadamer mengatakan
bahwa “tidak hanya kadang-kadang tetapi makna teks selalu melampaui penulisnya.
Itulah sebabnya pemahaman bukan hanya suatu reproduksi, tetapi selalu merupakan
suatu sikap produktif”.[17]
Dengan kata lain, penafsiran harus selalu melahirkan pemahaman yang baru yang
sesuai dengan konteksnya.
Teks“Extra Ecclesiam Nulla Salus” ini dimunculkan oleh para bapa Gereja dan
dijadikan sebagai ajaran Gereja. Sekilas kita akan berpikir bahwa Gereja
terlalu sombong dan tidak mengakui keselamatan dalam agama lain. Pada zaman
sekarang ini di mana pluralisme agama semakin disarankan, ungkapan ini tentu
saja sangat sulit untuk di aplikasikan pada hal ini adalah ajaran dogma Gereja.
Dengan kata lain, dalam konteks sekarang, teks ini sangat sulit bila diterapkan
apa lagi di negara yang mengusung semangat pluralisme itu. Namun pertanyaannya
adalah, apakah karena sulit diterapkan maka kita memutuskan untuk tidak
mengaplikasikannya lagi?
Pada bagian
sebelumnya kita telah melihat bagaimana dalam setiap penafsiran itu selalu ada
jarak tafsir. Demikian juga dengan kita saat ini, antara kita dengan zaman para
bapa Gereja terdapat jarak yang sangat luas. Telah banyak tulisan yang
dicetuskan untuk membahas teks ini. Dari segi situasi zaman, teks ini
dicetuskan ketika menghadapi kaum bidaah dan saat itu Gereja menjadi agama
negara. Menghadapi itu, Gereja mewartakan bahwa keselamatan itu hanya ada dalam
Gereja. Dalam sejarah Gereja dapat dilihat bahwa teks ini membawa pengaruh
besar dalam menjaga kesatuan Gereja dari pengaruh kaum bidaah. Namun, refleksi
tentang iman Gereja semakin berkembang. Berkaitan dengan refleksi-refleksi
berikutnya dicetuskan bahwa keselamatan itu hanya ada bila orang mengimani
Allah. Refleksi ini tercetus dalam LG 14: “Maka
dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja katolik itu
didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun
tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat
diselamatkan”. Penekanan ini memberikan arti baru bahwa keselamatan itu tidak
dipaksakan hanya ada dalam Gereja. Lebih tegas lagi diutarakan oleh LG 16 :
“Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta
Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat
berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan
perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal”. Dalam teks ini, Gereja tidak
dipandang sebagai satu-satunya wadah keselamatan dan semua orang yang bukan
anggota Gereja dapat memperoleh keselamatan asal mereka berusaha mencari Allah.
Teks
ini tetap memiliki pengaruh dengan masa kini yaitu dalam seruannya untuk
mengimani Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Hal ini bisa dipahami karena
ini berkaitan dengan inti iman kita kepada Kristus yaitu bahwa Dia adalah
Putera Allah yang disalibkan, wafat dan bangkit untuk menyelamatkan kita. Teks
bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan dapat juga menjadi peringatan bahwa
Gereja pernah mengalami suatu perjuangan untuk mempertahankan ajaran imannya
yang benar.
Aplikasi
dari ajaran ini harus lebih difokuskan pada pihak intern Gereja saja tanpa
harus mewartakannya kepada agama lain. Aplikasi ini dapat membantu umat untuk
semakin mendalami iman. Hal ini menjadi sangat penting ketika kita sadar pada
era ini banyak umat melepaskan diri dari pangkuan Gereja dan membiarkan diri
hidup tanpa iman. Kemerosotan nilai-nilai religius di dalam diri kaum muda
menjadi konteks yang harus didialogkan dengan teks ini. Akan tetapi, dialog ini
tidak akan pernah berhenti karena pemahaman baru yang akan didapat harus
senantiasa didialogkan dengan hidup kita. Hanya dengan demikian, penafsiran
atas teks “Extra ecclesiam nulla salus”
dapat membantu kita untuk menghadapi realitas zaman yang senantiasa berubah dan
mencipkan sejarah.
b.
Kesimpulan
Uraian
tentang the experience of history
Gadamer membawa kita pada suatu relasi dekat dengan objek yang kita hadapi
dalam proses penafsiran. Kita bukan lagi subjek yang asing dengan diri kita
sendiri dan dengan lingkungan kita, melainkan subjek yang dibentuk oleh apa
yang kita tafsirkan. Konsep ini juga sangat membantu kita untuk mengerti
teks-teks realitas yang terjadi di masa lampau yang merupakan tradisi bagi
kita. Gadamer mengantar kita pada sebuah pengalaman akan realitas yang
sesungguhnya. Pengalaman dimana kita bisa memahami secara baru realitas setelah
realitas itu menunjukkan dirinya secara telanjang, utuh ke hadapan kita.
Memaknai sejarah membuat kita semakin mengerti siapa diri kita.
[1] Bdk. Dei Verbum, art. 7-8.
[2] Bdk. Edi Mulyono, “Hans-Georg Gadamer:
Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-George Gadamer”, dalam Nasiful Atho’ dan Arif Fahrudin (eds.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta:
IRCisoD,2003), hlm. 133.
[3] Bdk. Dr. W. Poespoprodjo, L.
Ph., S.S., S.H., “Hermeneutika”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), hlm. 93.
[4] Bdk. Robertus Wijanarko, Ph.D,
“Gadamer: Hermeneutik Filosofis” (Malang: STFT Widya Sasana, 2010), hlm.1.
[5] Bdk. Ibid.
[6]
Bdk. Ibid. hlm. 4.
[7]
Bdk. Dr. W. Poespoprodjo,
L. Ph., S.S., S.H..Loc. cit, hlm. 98.
[8]
Bdk, Robertus Wijanarko,
Ph.D, Loc. Cit. hlm. 7.
[9] Dr. W. Poespoprodjo, L. Ph.,
S.S., S.H..Loc. cit, hlm. 97.
[10] Bdk. Ibid.
[11] Bdk. Ibid.
[12] Ibid.
[13]
Bdk. Relevansi Konsep Gadamer Tentang
The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif, http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/07/relevansi-konsep-gadamer-tentang-the-experience-of-history-untuk-memaknai-teks-kitab-suci-yang-opresif/, diakses, Jumat 29 April, 2011.
[14]
Anton Berthold Parera, Pengantar Teologi (Malang: STFT Widya Sasana, 2004),
hlm. 25.
[15]
Bdk. Ibid.
[16]
Op. cit.
[17]
Roy J. Howard, Hermeneutika, (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar