Total Tayangan Halaman

Minggu, 18 September 2011

Konsep The Experience of History Menurut Gadamer


Konsep The Experience of History Menurut Gadamer
(Suatu Aplikasi dalam Memahami Ungkapan Extra Ecclesia Nulla Salus)

I.         Pengantar
Peradaban manusia bukan sesuatu yang sekali jadi dalam hubungannya dengan perkembangannya. Proses yang berkelanjutan menjadi waktu dan panggung pergulatannya yang sering mengandung berbagai macam karakter manusianya. Peradaban manusia dengan kata lain ternyata menimbulkan dampak langsung bagi manusia dari zaman ke zaman. Dari semua peradaban itu, muncul beberapa hal penting yang harus diteruskan dan dimaknai oleh setiap generasi yang tentunnya memiliki pengaruh bagi perjalanan peradaban manusia berikutnya yang disebut tradisi.
Oleh Gereja Katolik, Tradisi yang berada dalam Gereja berawal pada Allah dan diteruskan dengan bimbingan Allah.[1] Tradisi ini diteruskan dari generasi ke generasi dengan usaha penafsiran atasnya untuk menemukan makna yang dapat dihidupi dalam setiap generasi itu. Akan tetapi, berhadapan dengan tradisi tersebut, muncul berbagai bentuk kesukaran-kesukaran untuk menemukan maknanya. Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba mengaplikasikan pemikiran Gadamer tentang tradisi dalam menemukan makna dari Tradisi yang ada dalam Gereja Katolik.

II.      Sekilas tentang Gadamer dan Pemikirannya tentang Sejarah
Hans-Georg Gadamer adalah seorang filsuf yang telah berhasil mengembangkan suatu refleksi filosofis atas filsafat penafsiran (hermeneutika). Dia lahir di Marburg pada tahun 1900 dan belajar pada universitas di kota asalnya yang dididik oleh Nikolai Hartman dan Martin Heidegger.[2] Pada saat itu, suasana pemikiran Eropa masih cenderung mengarah pada asumsi-asumsi pemikiran abad Pencerahan yang menekankan subjek dan rasionalitas. Produksi dari kebenaran diakui hanya ada dalam pengetahuan. Relasi yang ada dalam usahan mencari kebenaran adalah subjek-objek yang mengakibatkan subjek teralienasi dari lingkungannya. Setelah menyelesaikan studi, dia menjadi mahaguru pada Universitas Heidelberg dan sepanjang peziarahan filosofisnya ia berusaha “mencari orientasi baru dalam suatu dunia yang kehilangan orientasi.”[3]
Realitas pemikiran zaman ini memberikan inspirasi bagi Gadamer dan dia ingin memulihkan dan mengatasi fenomena alienasi itu. Dia melihat bahwa fenomena alieanasi ini terjadi karena filsafat, karena dipengaruhi oleh pemikiran Descartes, terlalu banyak berbicara tentang subjek. Inspirasi ini dia cetuskan dalam pemikirannya tentang hermeneutiak yang terwujud dalam bukunya “Truth and Method”. Bagi dia, filsafat adalah sebuah dialog, percakapan dan bukan soal refleksi subjek yang hanya membuat subjek jauh dari objek dan hanya menghasilkan pengetahuan yang sangat subjektif. Alieanasi ini harus diatasi agar manusia bisa memahami dengan benar dan praktek pemahaman dan refleksi teoretis atas praktek tersebut tidak boleh dipisahkan.[4] Untuk memulai studinya tentang hermeneutik yang dapat mengatasi alieanasi tersebut, dia pertama-tama menjelaskan tentang “the experience of art” dan “the experience of historical tradition”.[5]  
Dalam abad Pencerahan, seni dipandang hanya sebatas pengungkapan diri orang semata. Alhasil, karya-karya seni hanya ditempatkan dalam museum-museum untuk menimbulkan kenikmatan inderawi tanpa memiliki pengaruh bagi pengetahuan manusia. Gadamer berpendapat bahwa karya seni itu tidak hanya sebatas itu melainkan juga memiliki kebenaran. Subjek dapat menerima kebenaran dari seni itu bila dia berusaha untuk berdialog dengan cara mengalami karya seni itu. Penjelasan tentang pengalaman akan seni itu membawa Gadamer pada sebuah penemuan akan konsep baru tentang seni. Bagi dia, seni tidak sekedar subjektif, berkaitan dengan perasaan seseorang tentang sesuatu, melainkan lebih pada pemahaman yang muncul dari perjumpaan di mana seni itulah yang menangkap kita.[6]
Dari penjelasan ini, Gadamer mengarahkan perhatiannya pada pengalaman akan sejarah. Untuk mengerti bagian ini, ada lima kata kunci yang dapat membantu. Pertama, prejudice (prasangka). Dalam cara pandang lama, suatu ilmu itu harus sungguh-sungguh objektif sehingga harus menghilangkan setiap prasangka yang muncul. Prasangka dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Gadamer melihat itu secara berbeda. Bagi dia, manusia itu adalah mahluk historis yang mengalami realitas di dalam dan dengan cara memahami realitas. Dalam pemahaman itu, manusia tidak dengan kerangka berpikir murni melainkan dengan cara yang digunakan oleh komunitas dimana ia tinggal. Contoh, fenomena munculnya suatu benda yang melayang seperti piring (UFO) dimengerti orang dengan cara yang digunakan komunitasnya yaitu, piring dan terbang. Dari pemahaman itu manusia menamai fenomena itu sebagai piring terbang. Dengan demikian, prasangkanya selalu dipengaruhi oleh orang sekitarnya. Gadamer melihat bahwa ini adalah sesuatu yang sangat hakiki bagi manusia. Jadi, prasangka itu harus disadari bukan ditolak karena hanya dengan menyadari kita dapat mengkritisi mana prasangka yang membantu dan mana yang menghalangi agar prasangka itu menjadi produktif. Kedua, interpretative distance (jarak tafsir). Jarak yang dimaksud bukan soal waktu dan tempat melainkan semua unsur yang memungkinkan subjek dapat menafsirkan suatu realitas. Jarak ini sangat perlu dan paling esensial karena jarak inilah yang membantu subjek dalam mencara kebenaran suatu pengetahuan. Berkaitan dengan prasangka, jarak ini menjadi semakin penting karena dengan adanya jarak, subjek dapat memfilter prasangka-prasangka yang problematis sehingga dapat lebih produktif. Ketiga, effetive-history (sejarah efektif). Gadamer melihat sejarah dengan cara baru. Sejarah bukanlah sesuatu yang baku yang tertinggal begitu saja pada masa lalu melainkan senantiasa punya dampak bagi masa kini. Pengaruh dari sejarah itu muncul hingga saat subjek menggali sejarah itu. Sejarah itu membuat kesadaran manusia senantiasa tidak pernah murni, selalu terkontaminasi. Dampak dari sejarah ini dengan jelas mau menyatakan bahwa pemahaman adalah historikal, serentak juga menegaskan bawa masa lalu aktif bergiat di masa kini.[7] Dengan demikian, sejarah itu merupakn suatu entitas yang ikut membentuk, memproduksi kesadaran subjek dan ia selalu terintegrasi dengan kesadaran subjek itu yang pada gilirannya mempengaruhi subjek dalam menghadapi kenyataan. Keempat, aplication (aplikasi). Teks sejarah akan dapat semakin dipahami bila teks itu diaplikasikan dengan konteks subjek. Aplikasi ini bisa terjadi karena sejarah senantiasa memiliki koneksitas dengan masa kini. Gadamer berpendapat bahwa hakekat historis kita sebagai subjek mununjukkan bahwa kita harus mengintegrasikan peristiwa-peristiwa dan karya-karya seni masa lalu ke dalam dunia kita.[8] Dengan demikian, sejarah sendirilah yang akan memunculkan maknanya secara utuh kepada kita karena kita dapat mengalaminya dalam dunia kita sekarang ini. Kelima, question of openess (pertanyaan terbuka). Setelah mengintegrasikan sejarah dengan masa kini, penafsiran akan sejarah belum berhenti. Subjek penafsir harus tetap melakukan dialog dengan realitas dengan mengajukan pertanyaan terbuka. Dalam hal ini, harus dihindari pertanyaan-pertanyaan retoris. Dengan bertanya, kekayaan makna dari realitas itu akan selalu muncul ke hadapan kita.
Demikianlah kelima kata kunci penting yang harus dimengerti agar dapat memahami pengalaman akan sejarah yang dijelaskan oleh Gadamer. Selain itu, hal penting yang mau disampaikan adalah dengan pengalaman akan sejarah ini, frame epistemologi dapat tetap hidup. Pandangan ini dapat dimengerti karena hermeneutika yang ditawarkan oleh Gadamer adalah suatu hermeneutik dialektis di mana dalam penafsiran, subjek tidak menutup diri dengan realitas tetapi berdialog dengan realitas itu sendiri dalam suatu sikap terbuka.
Bagi Gadamer, manusia berada lewat dan dalam tradisi.[9] Tidak ada seorang pun manusia yang tidak dipengaruhi oleh tradisi karena manusia adalah mahluk yang historis. Dia punya masa lalu yang senantiasa menyatu dalam dirinya. Dengan sendirinya, tradisi adalah proses yang menyatu dengan eksistensi manusia.[10] Dia melewati tradisi di satu sisi dan berada dalam tradisi itu sendiri sehingga adalah suatu yang mustahil bila manusia lepas dari tradisinya.
Tradisi yang dimaksud oleh Gadamer adalah Engkau, bukan suatu substansi, bukan benda maka tidak dapat dilihat dan diperlakukan sebagaimana orang melihat atau memberlakukan benda.[11] Tradisi bukan sesuatu yang ada di luar realitas hidup kita sehingga kita dapat mengadakan dialog dengannya. Gadamer menggunakan kata “Engkau” untuk menunjukkan relasi dialektis ini. Dengan kata lain, kita bisa mengadakan dialog dengan tradisi itu karena “kita senantiasa berndiri di dalam tradisi”.[12] Dialog dapat terjadi ketika kita membawa pengalaman kita sendiri dan praduga yang kita miliki sambil memiliki keterbukaan. Dengan kata lain, bagi Gadamer tradisi adalah kesadaran akan peristiwa-peristiwa masa lampau yang mempengaruhi seluruh pengalaman hidup kita. [13] Tradisi juga membantu kita untuk mengerti realitas kekiniaan kita karena tradisi senantiasa menimbulkan prasangka-prasangka yang produktif.  
III.   Aplikasi dan Kesimpulan
a.        Aplikasi dalam Memahami Ungkapan “Extra Ecclesiam Nulla Salus
Tradisi ini dimulai dengan pengakuan akan kepenuhan pernyataan diri Allah dalam Yesus Kristus.[14] Para Rasul merenungkan pengalaman mereka bersama Yesus, baik karya dan sabdaNya, dan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Karya penerusan ini dilakukan melalui pewartaan, perayaan liturgis, kesaksian hidup dan pembangunan jemaat-jemaat.[15] Menurut Sandra Marie Schneiders, Tradisi gereja adalah seluruh pengalaman hidup gereja, yang mencakup: liturgi, spiritualitas, persekutuan, kesadaran diri, usaha-usaha misioner, dll.[16] Dalam perjalanan sejarah Gereja, Tradisi itu berkembang sesuai dengan zaman dan generasi yang telah menafsirakannya dan mengkontemplasikannya. Di sinilah letak fungsi para penafsir yaitu usaha yang terus-menerus untuk menemukan pemahaman baru dari Tradisi itu.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri adalah bahwa ada beberapa ungkapan eksklusif dari Tradisi Gereja yang pada zaman sekarang ini menjadi perdebatan. Salah satu ungkapan yang akan dibahas adalah “Extra Ecclesiam Nulla Salus” Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana ungkapan ini bida ditafsirkan agar tidak lepas dari realitas manusia zaman sekarang dan memberikan makna baru dari ungkapan itu tanpa harus mempersalahkannya? Gadamer mengatakan bahwa “tidak hanya kadang-kadang tetapi makna teks selalu melampaui penulisnya. Itulah sebabnya pemahaman bukan hanya suatu reproduksi, tetapi selalu merupakan suatu sikap produktif”.[17] Dengan kata lain, penafsiran harus selalu melahirkan pemahaman yang baru yang sesuai dengan konteksnya.
Teks“Extra Ecclesiam Nulla Salus ini dimunculkan oleh para bapa Gereja dan dijadikan sebagai ajaran Gereja. Sekilas kita akan berpikir bahwa Gereja terlalu sombong dan tidak mengakui keselamatan dalam agama lain. Pada zaman sekarang ini di mana pluralisme agama semakin disarankan, ungkapan ini tentu saja sangat sulit untuk di aplikasikan pada hal ini adalah ajaran dogma Gereja. Dengan kata lain, dalam konteks sekarang, teks ini sangat sulit bila diterapkan apa lagi di negara yang mengusung semangat pluralisme itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah karena sulit diterapkan maka kita memutuskan untuk tidak mengaplikasikannya lagi?
Pada bagian sebelumnya kita telah melihat bagaimana dalam setiap penafsiran itu selalu ada jarak tafsir. Demikian juga dengan kita saat ini, antara kita dengan zaman para bapa Gereja terdapat jarak yang sangat luas. Telah banyak tulisan yang dicetuskan untuk membahas teks ini. Dari segi situasi zaman, teks ini dicetuskan ketika menghadapi kaum bidaah dan saat itu Gereja menjadi agama negara. Menghadapi itu, Gereja mewartakan bahwa keselamatan itu hanya ada dalam Gereja. Dalam sejarah Gereja dapat dilihat bahwa teks ini membawa pengaruh besar dalam menjaga kesatuan Gereja dari pengaruh kaum bidaah. Namun, refleksi tentang iman Gereja semakin berkembang. Berkaitan dengan refleksi-refleksi berikutnya dicetuskan bahwa keselamatan itu hanya ada bila orang mengimani Allah. Refleksi ini tercetus dalam LG 14: “Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan”. Penekanan ini memberikan arti baru bahwa keselamatan itu tidak dipaksakan hanya ada dalam Gereja. Lebih tegas lagi diutarakan oleh LG 16 : “Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal”. Dalam teks ini, Gereja tidak dipandang sebagai satu-satunya wadah keselamatan dan semua orang yang bukan anggota Gereja dapat memperoleh keselamatan asal mereka berusaha mencari Allah.
Teks ini tetap memiliki pengaruh dengan masa kini yaitu dalam seruannya untuk mengimani Kristus sebagai satu-satunya penyelamat. Hal ini bisa dipahami karena ini berkaitan dengan inti iman kita kepada Kristus yaitu bahwa Dia adalah Putera Allah yang disalibkan, wafat dan bangkit untuk menyelamatkan kita. Teks bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan dapat juga menjadi peringatan bahwa Gereja pernah mengalami suatu perjuangan untuk mempertahankan ajaran imannya yang benar.
Aplikasi dari ajaran ini harus lebih difokuskan pada pihak intern Gereja saja tanpa harus mewartakannya kepada agama lain. Aplikasi ini dapat membantu umat untuk semakin mendalami iman. Hal ini menjadi sangat penting ketika kita sadar pada era ini banyak umat melepaskan diri dari pangkuan Gereja dan membiarkan diri hidup tanpa iman. Kemerosotan nilai-nilai religius di dalam diri kaum muda menjadi konteks yang harus didialogkan dengan teks ini. Akan tetapi, dialog ini tidak akan pernah berhenti karena pemahaman baru yang akan didapat harus senantiasa didialogkan dengan hidup kita. Hanya dengan demikian, penafsiran atas teks “Extra ecclesiam nulla salus” dapat membantu kita untuk menghadapi realitas zaman yang senantiasa berubah dan mencipkan sejarah.

b.        Kesimpulan
Uraian tentang the experience of history Gadamer membawa kita pada suatu relasi dekat dengan objek yang kita hadapi dalam proses penafsiran. Kita bukan lagi subjek yang asing dengan diri kita sendiri dan dengan lingkungan kita, melainkan subjek yang dibentuk oleh apa yang kita tafsirkan. Konsep ini juga sangat membantu kita untuk mengerti teks-teks realitas yang terjadi di masa lampau yang merupakan tradisi bagi kita. Gadamer mengantar kita pada sebuah pengalaman akan realitas yang sesungguhnya. Pengalaman dimana kita bisa memahami secara baru realitas setelah realitas itu menunjukkan dirinya secara telanjang, utuh ke hadapan kita. Memaknai sejarah membuat kita semakin mengerti siapa diri kita.



[1] Bdk. Dei Verbum, art. 7-8.
[2] Bdk.  Edi Mulyono, “Hans-Georg Gadamer: Hermeneutika Linguistik-Dialektis Hans-George Gadamer”, dalam  Nasiful Atho’ dan Arif Fahrudin (eds.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCisoD,2003), hlm. 133.
[3] Bdk. Dr. W. Poespoprodjo, L. Ph., S.S., S.H., “Hermeneutika”, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), hlm. 93.
[4] Bdk. Robertus Wijanarko, Ph.D, “Gadamer: Hermeneutik Filosofis” (Malang: STFT Widya Sasana, 2010), hlm.1.
[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. Ibid. hlm. 4.
[7] Bdk. Dr. W. Poespoprodjo, L. Ph., S.S., S.H..Loc. cit, hlm. 98.
[8] Bdk, Robertus Wijanarko, Ph.D, Loc. Cit. hlm. 7.
[9] Dr. W. Poespoprodjo, L. Ph., S.S., S.H..Loc. cit, hlm. 97.
[10]  Bdk. Ibid.
[11]  Bdk. Ibid.
[12]  Ibid.
[13] Bdk. Relevansi Konsep Gadamer Tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif, http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/07/relevansi-konsep-gadamer-tentang-the-experience-of-history-untuk-memaknai-teks-kitab-suci-yang-opresif/, diakses, Jumat 29 April, 2011.

[14] Anton Berthold Parera, Pengantar Teologi (Malang: STFT Widya Sasana, 2004), hlm. 25.
[15] Bdk. Ibid.
[16] Op. cit.
[17] Roy J. Howard, Hermeneutika, (Bandung: Nuansa, 2000), hlm. 207.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar