Gereja ada
dalam dunia dan memiliki tugas perutusan dalam dunia. Pernyataan ini mau
menggambarkan realitas Gereja yang hidup dari dunia beserta gejolak-gejolak
yang ada dalam dunia itu sendiri. Realitas Gereja inilah yang kerap kali
menimbulkan persoalan karena dalam Gereja itu sendiri terdapat begitu banyak
paradoks. Selain itu keberadaannya dalam
dunia adalah juga sebuah panggilan ilahi yang menghimpun umat manusia dari
berbagai latar belakang mereka yang berbeda-beda. Latar belakang itu secara
jelas melingkupi cara pikir, kebudayaan, pendidikan dan latar belakang lainnya
yang serta merta dalam dirinya yang kemudian mereka bawa ke dalam Gereja
sebagai suatu persekutuan. Keberagaman manusia dengan keunikan mereka
masing-masing ternyata juga menimbulkan masalah dalam Gereja itu sendiri.
Gereja yang sungguh terbuka menerima semua orang dari berbagai latar belakang
itu kerap menimbulkan gejolak tersendiri.
Berangkat
dari situasi Gereja itu, penulis ingin mencoba menganalisa gejolak itu yang
timbul dari salah satu latar belakang jemaat yaitu segi keberagaman budaya. Oleh
penulis, keberagaman itu disebutkan dengan memakai sebuah terma yakni “multikultural”. Pemikiran ini muncul
ketika penulis melihat situasi Gereja dewasa ini, khususnya Gereja Indonesia,
yang muncul karena perubahan masyarakat dunia. Perubahan itu ternyata membuat
Gereja menjadi jemaat yang berasal dari banyak budaya. Tak dapat disangkal
lagi, ternyata situasi itu kerap membuat Gereja kewalahan menghadapi jemaat.
Keberagaman budaya ini kerap memunculkan pengelompokan dalam tubuh Gereja
terutama dalam Gereja yang berada di perkotaan. Oleh penulis, pengelompokan
itu merupakan suatu fenomena masyarakat
yang dapat menimbulkan perpecahan dalam tubuh Gereja itu sendiri apalagi ketika
semangat ekslusivisme budaya meracuni kelompok itu. Bagaimana Gereja menghadapi
ini? Atau sebelum terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja yang kudus itu, wajah
Gereja apa yang harus diterapkan? Dan model Gereja apa yang harus diterapkan
dalam masyarakat multikultural itu?
II.
Masyarakat
Multikultural
a.
Multikultural
sebagai Fenomena Masyarakat [1]
Secara umum, multikultural berarti situasi
masyarakat yang beraneka ragam budayanya. Kata ini merupakan sebuah kata
sosiopolitis yang relatif masih baru, yang dikaitkan dengan filsuf McGill
Universitas Kanada, Charles taylor, yang dewasa ini tersebar dalam dan
mempengaruhi secara kuat wacana ilmiah publik politik maupun filsafat. Sebagai
sebuah terma sosiopolitis, tentulah terma ini senantiasa menyangkut persoalan
tentang masyarakat dalam bidang politiknya. Nampaknya akan lebih jelas bila
dimengerti lebih dahulu etimologi dari terma ini secara leksikografis.
Multikultural berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata “multus-i”, yang artinya banyak, beragam dan dari kata “cultura” yang artinya kebudayaan
sehingga dari etimologi ini, kata “multikultural”
menunjuk pada realitas bahwa di tengah satu konteks masyarakat terdapat banyak
(multi) budaya (kultur), ada banyak manusia pemakai, pendukung, penghayat
budaya, yang membuat budaya itu hidup, dinamis, dan berkembang. Dari penjelasan
di atas dapat ditarik beberapa hal penting mengenai multikultural ini. Disebut
multikultural bila keberagaman budaya itu berada dalam satu kontek masyarakat
dan juga setiap budaya itu dihidupi, didorong, dan dihayati oleh sekelompok
orang sesuai dengan budayanya masing-masing sehing semua budaya itu dinamis,
hidup dan berkembang.
Secara
realis, multikultural tidak lain
ialah kesadaran sosial yang hidup bahwa di tengah satu konteks masyarakat,
meskipun lingkup geografisnya sangat sempit, ada banyak budaya. Lebih lanjut,
kesadaran sosial itu selalu berdimensi etis artinya selalu menuntut kesadaran yang
bersifat intensional dan tanggung jawab. Dengan demikian, kesadaran akan
dimensi sosio-etis itu pada gilirannya menuntut tanggung jawab moral berupa
penghormatan (reverence), pengakuan (recognition), cinta dan perhatian
fundamental akan ada dan kehadiran orang lain. Jadi, multikultural itu mengandung kesadaran akan ada dan kehadiran orang
lain (heterologi), juga mengandung
kesadaran akan tanggung jawab etis-asimetris akan sesama (habitus), dan juga mengandung spiritualitas hati.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa multikultural
pada dasarnya adalah suatu fenomena masyarakat yang dapat memberikan suatu
sumbangan besar bagi setiap anggota masyarakat bila masing-masing anggota mampu
menyadari bahwa dia berada dalam masyaratak multikultural.
Disebut fenomena karena pada dasarnya masyarakat multikultural tidak terbentuk secara langsung melainkan terbentuk
sesuai dengan pekembangan zaman. Boleh dikatakan, terbentuknya masyarakat yang multikultural tidak terjadi dari sejak
manusia ada. Malah boleh dipastikan bahwa dahulu manusia tinggal dalam suatu
daerah tertentu dengan masyarakat yang budayanya sangat homogen. Misalnya:
dahulu di tanah Batak, yang tinggal di sana adalah hanya orang yang berbudaya
Batak saja. Demikian juga dengan budaya lain dengan daerah mereka
masing-masing. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya nama
budaya sangat erat dengan nama daerah dimana budaya itu hidup, dinamis dan
berkembang.
b.
Dampak
Multikultural dalam dwi wajah : Sisi Positip dan Sisi Negatip
Seperti yang disebut di atas, multikultural merupakan suatu fenomena masyarakat yang memberi
sumbangan bagi setiap budaya yang ada dalam masyarakat itu dan juga bagi setiap
anggota masyarakatnya. Hal ini tentunya tidak terjadi begitu saja melainkan
melalui suatu proses. Untuk mendapatkan sumbangan itu, setiap budaya harus
mampu mengusung suatu prinsip inklusif di mana setiap anggota masyarakat itu
tidak membangun sikap eksklusif. Prinsip inklusif ini tentunya tidak bermaksud
untuk mengorbankan budaya lain melainkan dengan prinsip ini sangat dimungkinkan
bahwa setiap budaya akan dapat saling memperkaya. Selain itu, keberagaman
budaya ini tentunya akan membentuk suatu nilai yang dapat diakui bersama dan
nantinya dihidupi bersama. Misalnya nilai kebersamaan, cinta kasih, saling
menghormati dan nilai lain.
Akan
tetapi multikultural juga ternyata
memiliki wajah lain. Fenomena multikultural ini bisa juga dibelokkan oleh manusia yang
menjadi anggota masyarakat ke arah yang negatif. Dengan kata lain disebutkan bahwa
fenomena multikultural adalah suatu
wilayah yang rawan untuk terciptanya wajah negatif. Dalam hal apa fenomena ini
menjadi salah? Keberagaman budaya dengan anggota-anggota setiap budaya itu bisa
menjadi bersikap eksklusif demi pengembangan budaya masing-masing. Dalam hal
ini yang terjadi adalah munculnya persaingan-persaingan tidak sehat seperti
nepotisme, kolusi dan juga korupsi. Demi menjaga kelestariaan budaya
masing-masing, sangat mungkin seorang pejabat pemerintah yang berasal dari
salah satu budaya tertentu bertindak nepotis dengan memberikan jabatan kepada
orang yang berasal dari budayanya sendiri. Lebih lagi dampak yang lebih
membahayakan adalah terbentuknya paham “multikulturalisme”.
Penulis tidak mengabaikan sisi positip dari paham ini. Akan tetapi penulis
hanya melihat adanya bahaya yang lebih besar bila paham ini disalahgunakan. Adapun
bahaya bila paham ini diterapkan adalah bahwa usaha untuk semakin mengembangkan
kelompok masing-masing akan mendapat legitimasi yang melemahkan nilai kesatuan
masyarakat. Selain itu, terbukalebarnya kesempatan bagi budaya-budaya tertentu
untuk membentuk suatu politik “cagar budaya” sebagai usaha untuk melindungi
budayanya dari hubungan atau pengaruh luar demi kemurnian budaya itu. Dan usaha
ini pasti menimbulkan ketidakadilan bagi budaya lain. Pada umumnya hal ini
terjadi pada budaya setempat atau budaya asli suatu daerah.
III.
Gereja
dalam Masyarakat Multikultural
a.
Multikultural
sebagai berkat dan tantangan bagi Gereja Indonesia
Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan terma multikultural, sekarang yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana terma ini dilihat dari sudut pandang Gereja
sendiri? Apakah fenomena masyarakat ini merupakan sebuah berkat atau sesuatu
yang menawarkan tantangan tersendiri bagi Gereja? Pada hakekatnya Gereja itu
berada di dalam dunia sehingga tidak mungkinlah Gereja dilepaskan dari dunia.
Dalam dunia, manusia menciptakan budaya yang mereka hidupi, hanyati dan
kembangkan. Dan karena perubahan serta perkembangan dunia, budaya itu
berkembang dan berubah juga. Salah satu produk dari perkembangan itu adalah
terciptanya fenomena multikultural.
Sebagai kumpulan manusia yang terpanggil dari
berbagai latar belakang budaya, tentulah fenomena ini masuk dalam hidup Gereja
menggereja. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam satu paroki sudah terdapat
umat dari berbagai budaya. Sebagai contoh: di salah satu paroki Keuskupan
Malang, sebut saja Paroki St. Andreas Tidar, jemaatnya terdiri dari berbagai
budaya: budaya Cina, Flores, Batak, Dayak, Jawa dan banyak lagi. Bukankah ini
tidak masuk dalam fenomena multikultural?
Jadi, boleh dikatakan bahwa ternyata multikultural
juga merupakan fenomena jemaat Gereja.
Seperti yang disebut di atas, sebagai suatu
fenomena, multikultural tidaklah terbentuk secara langsung. Demikian
juga halnya dalam Gereja. Fenomena multikultural
tidaklah terbentuk begitu saja
melainkan telah melalui proses. Selain itu, fenomena ini tentunya memberikan
dampak bagi hidup Gereja menggereja. Akan sangat berbeda bila dibandingkan
realitas antara hidup Gereja di Indonesia pada awal masuknya Gereja denga hidup
Gereja sekarang ini. Pada awal masuknya Gereja ke Indonesia, masyarakat
Indonesia masih bersifat homogen dalam bidang budaya. Sekarang sungguh sangat
berbeda. Ini berarti bahwa ternyata fenomena multikulturasi sungguh memberikan pengaruh bagi hidup Gereja
menggereja di Indonesia.
Dari kedua dampak yang telah disebut pada sub-bab: “Dampak
Multikultural dalam dwi wajah : Sisi
Positip dan Negatip” di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bagi Gereja fenomena
ini dapat menjadi berkat sekaligus tantangan. Berkat bila setiap anggota tetap
membangun sikap yang benar dalam situasi
itu serta berusaha menghidari sikap yang salah. Harus diakui bahwa dalam hal
dampak, fenomena multikultural
merupakan wilayah yang sangat rawan. Dengan dengan demikian, fenomenan ini juga
dapat menjadi tantangan berat bila dampak negatif itu muncul. Dan bahkan
bila multikultural berobah
menjadi paham, bisa jadi fenomena ini
juga berobah menjadi ancaman bagi persatuan jemaat.
b.
Seberkas
Cahaya dalam Kegelapan
Mungkinkah Gereja menghindar? Berhadapan dengan
masalah ini secara tegas harus dijawab bahwa Gereja tidak boleh menghindar
melainkan menghadapinya karena ini adalah fenomena dalam masyarakat. Selain itu
harus diakui bahwa Gereja menghargai kebudayaan. “Sebab Allah yang mewahyukan
Diri kepada umatNya hingga penampakan diriNya sepenuhnya dalam PuteraNya yang
menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan khas bagi pelbagai zaman. Begitu
pula Gereja, yang di sepanjang zaman hidup dalam pelbagai situasi, telah
memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk melalui pewartaannya
menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk
menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik
dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam
(GS 58).
Sebagai tantangan, Gereja harus menghadapinya dengan
dewasa karena Gereja dipanggil untuk mewartakan kebenaran terutama bila
ketidakbenaran yang muncul. Dengan demikian, sangatlah mungkin Gereja akan
semakin dewasa karena ini merupakan suatu tantangan pada zaman ini. Pendewasaan Gereja inilah yang menjadi
seberkas cahaya bagi Gereja. Dengan kata lain demi pendewasaan Gereja, Gereja
harus memberi tanggapan terhadap tantangan ini.
IV.
Gereja
sebagai Misteri Komunio
Salah satu model Gereja yang telah lama dipakai
untuk menggambarkan Gereja adalah “komunio”. Model Gereja sebagai komunio ini
merupakan hasil karya antara teologi dan sosiologi. Dikatakan bahwa dalam
ekklesiologi Katolik Roma, Gereja dipelajari dalam buku Arnold Rademacher, Die Kirche als Gemeinschaft und
Gesselschaft” melalui terma-terma kategori Tonnies, yang lebih lanjut dia
artikan bahwa Gereja ada dalam inner core
komunitasnya (Gemeinschaft) dan
dalam outer core-nya ada sosietas (Gesellschaft) dan komunitas merupakan Gereja
yang “nyata” sebagaimana dikontraskan dengan Gereja yang fenomenal, itu bertepatan dengan Kerajaan Allah dan dengan
persekutuan para Kudus. [2]
Komunio sering juga disebutkan sebagai persekutuan,
koinonia dan paguyuban. Hal ini berarti bahwa Gereja bisa dilihat dalam “wujud
sosial iman Kristiani”.
a.
Dalam
Terang Konsili Vatikan II [3]
Oleh
Konsili Vatikan II karya Roh Kudus dalam Gereja direfleksikan dengan
menggunakan gagasan communio (koinonia). Kemudian,
Gereja digambarkan sebagai communio: persekutuan
Allah dan manusia. Gambaran ini jela terungkap dalam konstitusi dogmatik LG
yang mengatakan bahwa “ di dalam
Kristus Gereja merupakan sakramen, yaitu tanda dan alat kesatuan mesra dengan
Allah dan persatuan seluruh umat manusia” (art. 1). Namun agar gagasan communio dapat
dipergunakan sebagai kunci menafsir eklesiologi, gagasan ini harus dimengerti
menurut ajaran biblis dan tradisi patristik yaitu bahwa communio selalu mencakupi dua dimensi : dimensi vertikal (communio dengan Allah) dan dimensi
horizontal (communio antar manusia).
Pada
hakekatnya, communio berarti
persekutuan dengan Allah (dimensi vertikal). Hal ini dipertegas dalam LG 2 yang
mengatakan bahwa “ Atas
keputusan kebijaksanaan serta kebaikan-Nya yang sama sekali bebas dan rahasia,
Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan
mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup Ilahi.” Ini berarti bahwa communio berakar dalam keputusan Allah yang abadi untuk
menciptakan manusia dengan tujuan agar manusia dapat memperoleh kebahagiaan
dalam communio Allah Tritunggal sendiri.
Pikiran yang sama dapat ditemukan dalam Konstitusi DV 2: “ Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak
kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa
manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul
denganmereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan
dengan diri-Nya dan menyambut mereka didalamnya.” Selain itu, communio inilah
yang merupakan tujuan universal seluruh sejarah umat manusia, terlaksanan
secara istimewa di dalam sejarah itu dala diri Yesus Kristus. Lebih lagi communio antara Allah dan manusia yang
diciptakan Yesus Kristus dalam hidup-Nya yang unik dan historis konkret
dilanjutkan oleh Roh Kudus. Maka, Misteri Gereja ialah bahwa dalam Roh dan
melalui Kristus kita manusia memiliki jalan kepada Bapa dan dapat mengambil
bagian dalam kodrat ilahi, dalam communio
dengan Allah Tritunggal.
Mengenai
dimensi horizontal dokumen GC menyatakan bahwa “hubungan baru antara manusia
dan Allah, yang diadakan oleh Kristus dan dibagikan melalui sakramen-sakramen,
mencakup juga hubungan baru antar manusia sendiri.” Hal ini berarti hubungan
baru antar manusia itu haruslah senantiasa meneladani persatuannya dengan Allah
dan juga persatuan antara Allah Bapa dengan Yesus Kristus dalam kuasa Roh
kudus. Dalam hal ini Gereja juga merupakan suatu realitas yang kompleks
sebagaimana dibeberkan dalam Konstitusi LG 8: ”namun demikian masyarakat yang
dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan Tubuh mistik Kristus, umat yang dapat
dilihat dan persaudaraan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya
dengan karunia-karunia sorgawi janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan
semua itu merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena
perpaduan unsur manusiawi dan ilahi.” Dengan kata lain bahwa keduanya itu
bukanlah hal yang paradoks melainkan merupakan kesatuan dalam Gereja.
Dalam syadat Para Rasul, setelah pengakuaan akan
“Gereja Katolik yang kudus” menyusul pengakuan akan “persekutuan pada kudus”. Dengan
kata lain pengakuan ini sama dengan mengakui bahwa Gereja adalah persekutuan
para kudus. Hal ini ungkapan
“persekutuaan para kudus” memiliki dua arti
yang berhubungan erat antara satu dengan yang lain yaitu: “Persekutuan
dalam hal-hal kudus (sancta)” dan “persekutuan antara orang-orang kudus
(sancti)”.
-
Persekutuan dalam hal-hal rohani
Persekutuan dalam hal-hal
rohani mencakup: persekutuan dalam iman, persekutuan
dalam Sakramen-sakramen, persekutuan dalam karisma-karisma. persekutuan
dalam cinta.
-
Persekutuan
Gereja di Surga dan di Bumi
Sedangkan
itu, persekutuan Gereja di Surga dan di Bumi mencakup persekutuan dengan
para orang kudus,
persekutuan dengan yang telah meninggal dan persekutuan dalam keluarga
Allah yang tunggal.
V.
Penutup
Setelah melihat penjelasan tentang kedua tema besar
di atas yaitu antara multikultural sebagai fenomena masyarakat (juga Gereja) dan
Gereja sebagai misteri Komunio, maka tiba saatnya mengulas bagaimana model Gereja sebagai misteri Komunio dapat
dijadikan sebagai gambaran Gereja dalam menghadapi fenomena masyarakat itu.
Sebagai komunio, Gereja harus dihadirkan dalam semua
aspeknya baik aspek persekutuan dengan Allah maupun aspek persekutuan antara
manusia. Jemaat Gereja yang berasal dari beragam budaya itu harus senantiasa
dirangkul dalam persekutuan itu dengan penuh cinta. Dengan meneladani persekutuan Tritunggal, kiranya persekutuan
itu harus tetap dijaga. Oleh Gereja, tangal Allah yang senantiasa terbuka
kepada mereka yang tertindas juga senantiasa harus dihadirkan. Tidak boleh
dalam keberagaman itu muncul benih-benih diskriminasi terhadap kelompok
tertentu.
Fenomena multikultural
pada umumnya menawarkan indahnya
keberbedaan dalam hidup bersama. Selain itu fenomena ini juga menjadi ladang
bagi Gereja untuk membangun jemaat yang semakin berusa mengusung arti dari
paguyuban sebagai bentuk konkrit persekutuan manusia dengan Allah.
Sebagai persekutuan dalam karisma-karisma, peranan Roh Kudus tidak boleh diabaikan. Roh
Kudus senantiasa membagi-bagikan "anugerah-Nya kepada tiap orang
sekehendak hati-Nya, dan memberikan karunia khusus di antara umat dari berbagai
tingkat", demi pembangunan Gereja (LG 12). "Tetapi kepada tiap-tiap
orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama" (1 Kor 12:7).
Demikian halnya bahwa setiap budaya harus dilihat sebagai anugerah Roh Kudus
bagi Gereja yang pasti memberikan warna baru bagi Gereja.
Dengan
demikian, multikultural sebagai fenomena
masyarakat yang juga menjadi fenomena Gereja harus ditanggapi oleh Gereja
sebelum dia berubah menjadi suatu paham. Dan cara yang paling tepat untuk
menanggapi adalah dengan menghadirkan model Gereja sebagai Mistik Komunio.
[1]
Bdk., Fransiskus
Borgiaf M, Urgensi Pembelajaran Multikultural, dalam Fransiskus Borgiaf M (eds.)
Prof. Dr. Mgr. N.J.C. Geise, O.F.M.: juragan visioner. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Hal. 172.
[2] Bdk. Every Dulles, Models of the Church, New York:
Doubleday, 1978, hal. 48.
[3] Bdk. Rm. Raymundus Sudhiarsa,
SVD, Diktat Eklesiologi. Hal. 78-80
[4] Katekismus Gereja Katolik,
diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru SVD (Ende:
Arnoldus 1995). Art. 9, pasal 5, hal.
274-277.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar