Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 September 2011

Kematian Menurut Budaya Batak Toba

Suatu Tinjauan Filsafat Budaya.
Bersamatoba.com

I.       Pengantar
Salah satu tema penting ketika berbicara tentang manusia adalah persoalan tentang kelahiran dan kematian manusia. Banyak hal yang masih menjadi misteri dari kedua persoalan ini. Lebih khusus soal kematian yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang defenisinya sulit dirumuskan. Banyak pada pemikir mencoba mendefenisikannya sesuai dengan latar belakang pemikiran mereka masing-masing. Dikatakan oleh para teolog sepanjang zaman bahwa kematian merupakan persoalan teologis dan filosofis yang sulit ditembus oleh refleksi teologis para teolog, lukisan pena para penyair, atau telaah filofis para filsuf.[1] Perumusan itu tidak hanya dilakukan oleh perseorangan tetapi juga oleh kelompok orang atau bahkan suatu budaya dan agama. Anton Bakker lebih jelas menegaskan tentang kematian ini bahwa walaupun kematian ditemukan sebagai unsur integral dalam historisias (nic. historisitas) manusia, kematian tetap merupakan misteri yang menggetarkan.[2] Berangkat dari kesulitan perumusan ini, maka tidaklah aneh bila ada berbagai perbedaan pandangan tentang kematian itu dari banyak budaya.
Dalam paper ini, penulis tidak akan membahas tentang konsep kematian dari sudut pandang filsafat manusia tetapi membahas tentang konsep kematian dalam Budaya Batak Toba. Seperti budaya pada umumnya yang mengalami perkembangan, budaya Batak Toba ternyata juga mengalami perkembangan yang disebabkan oleh pengaruh ajaran Kekristenan terhadap kematian itu. Dalam pembahasan ini, penulis membatasi diri pada pandangan budaya Batak Toba tentang kematian sebelum dipengaruhi oleh pandangan agama Kristen. Selain itu, karena konsep kematian itu sangat luas, maka kami juga membatasi pembahasan ini tentang “nilai-nilai filosofis tingkat-tingkat kematian dalam Budaya Batak Toba.”

II.    Defenisi Kematian secara Umum
Kematian menurut pandangan umum adalah berhentinya kehidupan, hilangnya hubungan manusia dengan dunia. Dalam dunia filsafat Yunani Kuno yang diwakili oleh pemikiran Plato, kematian adalah suatu saat yang sangat dinanti-nantikan karena pada saat itu jiwa mereka yang telah terkurung dalam badan karena kelahiran akan terbebas kembali. Pandangan inilah yang terkenal dengan sebutan paham dualistik yang melihat manusia itu terdiri dari dua unsur: jiwa dan raga. Jiwa terkurung dalam tubuh yang harus dibebaskan dengan mempelajari filsafat. Dan tubuh memiliki nilai yang negatif yang sering disebut penjara jiwa. Berbeda dengan pandangan Epicurus yang mengatakan “ Kematian, kejahatan yang paling  ditakuti, bukan urusan kita; karena selagi kita berada kematian tidak ada, dan selagi kematian ada kita tidak lagi berada.”[3] Dengan demikian, bagaiamana sebenarnya kematian itu sungguhlah sulit dipahami. Tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya.

III. Nilai-nilai Budaya Batak Toba
Batak Toba adalah salah satu sub-etnis Batak yang berada di daerah Danau Toba. Sebagai kebudayaan, Batak Toba tentunya memiliki nilai-nilai budaya yang mencakup segala aspek kehidupan mereka. Nilai-nilai itu tidaklah terbentuk begitu saja melainkan telah melalui tahap perkembangan ketika dengan budi mereka menghadapi alam dan gejala-gejala dan perubahan alam tempat mereka hidup, yaitu di sekitar Danau Toba. Nila-nilai budaya itu dapat dibagi dalam sembilan tingkatan sesuai dengan tingkat pengaruh setiap nilai itu, yaitu: Kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon dan pengayoman.[4]  Dengan demikian, nilai-nilai inilah yang merupakan aspek formal budaya Batak Toba yang merupakan hasil usaha budi dalam mentransformasikan data, fakta, situasi dan kejadian alam yang mereka hadapi itu dan menjadikannya menjadi nilai manusia.[5] Di samping nilai itu, ada juga hal-hal lain yang menjadi ciri khas budaya ini seperti Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga) yang juga menjadi suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Boleh dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan salah satu bentuk pembagian masyarakat atas tiga golongan yang dibagi menurut fungsi masing-masing dalam suatu adat. Ketiga golongan itu adalah “Dongan sabutuha” (yang lahir dari perut yang sama maupun yang satu marga), “Boru” (dari pihak anak atau saudari perempuan, suami dan mertua perempuan, dan juga yang satu marga degan suaminya itu) dan “Hula-hula” (golongan dari pihak saudara istri dan semua yang satu rumpun dengan saudara istrinya itu). Setiap orang Batak Toba dapat masuk dalam setiap golongan ini tergantung pada fungsinya dalam situasi yang ada. Dari penjelasan di atas boleh dikatakan bahwa suku Batak Toba sungguh memiliki kebudayaan tersendiri yaitu Budaya Batak Toba. Memang masih banyak lagi yang harus diperhatikan dalam menentukan hal ini.
Dari daftar nilai-nilai itu, salah satu nilai yang terpenting dalam budaya Batak Toba setelah kekerabatan adalah religi (agama purba). Sebagai salah satu nilai terpenting, nilai religi memiliki pengaruh yang kuat dalam hidup mereka. Oleh karena itu dari sejak manusia dikandung hingga pada akhirnya meninggal, nilai ini telah ditanamkan dan diterapkan melalui berbagai macam upacara ritual keagamaan. Nilai ini juga yang mempengaruhi konsep orang batak tentang Allah sebagai Debata Mula Jadi Na Bolon. Selain itu, dalam hal dalam nilai inilah kematian mendapat perhatian khusus. Dan kematian inilah yang ingin dibahas dalam pembahasan berikutnya.

IV. Kematian menurut budaya Batak Toba
44.1.Pandangan tentang kematian
Dalam budaya batak, kematian dipercaya sebagai tempat berkumpulnya roh-roh orang yang sudah mati, yang sewaktu-waktu akan datang kembali untuk mengambil sanak keluarga, kenalan, atau orang asing, untuk dibawa ke tempat kumpulan itu.[6] Pemahaman ini pada umumnya dikaitkan dengan asal mula nenek moyang orang batak yang diyakini berasal dari “banua ginjang”. Jadi pandangan mengenai kematian ini dapat diterima karena bagi mereka tondi (roh) orang mati atau para leluhur itu akan berkumpul di alam sana. Selain itu, bagi orang Batak Toba, ada tingkat dari kematian yang tidak membawa duka cita dan patut dirayakan dengan upacara adat meriah. Sikap ini menjadi suatu penanda bahwa orang Batak Toba percaya dengan adanya kehidupan setelah kematian yang dipenuhi dengan kebahagiaan.
Menarik bahwa dari keterangan di atas ternyata dalam budaya Batak Toba terdapat cara pandang khas tentang kematian. Tentunya, yang akan dibahas adalah kematian manusia bukan mahluk lain. Kekhasan cara pandang ini secara khusus dapat dilihat dari pembagian kematian menurut orang Batak. Kematian itu dapat dibagi dalam 8 tingkat mulai dari terendah, yaitu:[7]
1.       mate Tarposo
Mate Tarposo berarti mati ketika masih berada dalam kandungan hingga saat masih bayi. Bagi orang yang mengalami kematian tingkat ini, kepadanya tidak akan diberikan penghormatan khusus secara adat.
2.      Mate Poso
Mate Poso berarti mati pada masa kanak-kanak hingga sebelum menikah atau kawin. Sama seperti mate tarposo, orang yang mengalami tingkat kematian ini tidak juga diberi penghormatan khusus.
3.      Mate Pupur
Mate Pupur berarti mati pada saat sudah tua namun belum pernah menikah. Sama halnya juga dengan tingkat ini, orang yang mengalami tingkat ini tidak mendapatkan penghormatan.
4.      Mate Punu
Mate Punu berarti mati sesudah menikah atau kawin akan tetapi belum punya anak. Tingkat kematian ini juga sama halnya dengan ketiga tingkat sebelumnya. Walau pun orang itu sudah menikah, akan tetapi karena belum punya anak, kepada dia tetap tidak ada penghormatan khusus.
5.      Mate Mangkar
Mate Makkar berarti mati setelah memiliki anak yang sudah kawin, akan  tetapi belum punya cucu. Barulah pada tingkat ini, orang yang meninggal akan diberi penghormatan khusus secara adat. Demikian juga pada tingkatan selanjutnya karena sejak tingkat ini orang yang meninggal telah punya anak.
6.      Mate Sarimatua
Dari kata sarimatua, kata sari artinya masih ada anak yang digelisahkan karena belum menikah.[8] Jadi, Mate Sarimatua berarti mati setelah memiliki cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah baik itu anak perempuan atau pun anak laki-laki.
7.      Mate Saurmatua
Dari kata saurmatua, kata saur artinya lengkap atau sempurna bahwa orang yang meninggal dunia itu telah sempurna dalam kekerabatan, telah beranak, bercucu.[9] Jadi mate Saurmatua berarti mati setelah semua anaknya baik perempuan mau pun laki-laki sudah menikah dan dia telah memiliki cucu.
8.      Mate Mauli Bulung
Mate Mauli Bulung berarti mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tidak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya.
Pembagian kematian ini menunjukkan status sosial seseorang yang mengalami kematian itu. Status sosial ini tentunya berhubungan dengan tingkat hagabeon (keluarga yang besar dan usia lanjut sekaligus menjadi panutan masyarakat).[10]  Jadi semakin tinggi tingkatnya semakin tinggi jugalah status sosialnya. Menarik bahwa mate tarposo hingga mate punu dibedakan dengan tingkat berikutnya dalam hal penghormatan kepada mereka yang meninggal. Kepada mereka yang meninggal pada tingkat mate makkar hingga mate mauli bulung pasti diberikan suatu acara adat yang menunjukkan suatu kegembiaraan atas meninggalnya orang tersebut. Akan tetapi tingkat kegembiraan dalam keempat tingkat itu tentu berbeda. Artinya bahwa orang Batak Toba lebih bergembira ketika mengadakan upacara adat kematian pada orang yang mengalami kematian padan tingkat mate mauli bulung. Hanya saja, tingkat mauli bulung itu sangat jarang dicapai oleh manusia sehingga jarang dirayakan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tiap tahap ini dibedakan? Nilai apa yang mau dihayati dalam perbedaan ini?
44.2.Nilai-nilai budaya dari peristiwa kematian
Yang menjadi patokan utama dari pembagian tingkatan kematian di atas adalah seberapa tinggi seorang manusia itu mencapai cita-cita hagabeon itu. Ini juga dikaitkan dengan tingkat kesempurnaan hidup manusia di dunia. Semakin tinggi tingkat hagabeon seseorang maka tingkat kesempurnaannya juga semakin utuh. Dalam hal ini yang menjadi patokan sempurna tidaknya adalah tingkat pencapaian hagabeon itu sendiri. Demikian juga dengan keempat tingkat pertama tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap belum lengkap kehidupan seseorang. [11]
Dari perbedaan ini, nilai budaya yang mau dihayati adalah soal nilai perjuangan orang batak untuk hidup lebih sempurna. Seperti yang diuraikan, letak kesempurnaan itu adalah bila seseroang mendapatkan keturunan, baik melalui anak perempuan maupun melalui anak laki-laki. Setiap orang Batak berjuang agar mereka mengalami kematian pada tahap mate mauli bulung itu. Selain itu, nilai kematian ini sebenarnya muncul dari usaha orang batak dalam menjelaskan dunia setelah kematian. Memang orang batak yakin bahwa setelah hidup di dunia, masih ada dunia setelah kematian. Jadi untuk mengerti realitas itu, mereka menciptakan suatu nilai-nilai religi dan juga nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian menciptakan suatu budaya baru mengenai kematian itu. Manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki nasib yang berbeda-beda dalam mengalami tingkat kematian yang berbeda pula. Nilai-nilai kekerabatan nampaknya sangat jelas bagaimana melalui konsep kematian ini, orang yang telah meninggal dapat bersatu lagi dengan roh-roh para leluhurnya.

44.3. Tinjauan Kritis
Konsep pemahaman tentang kematian ini merupakan suatu konsep yang lahir dari budaya Batak Toba ketika mereka harus menghadapi suatu realitas baru yaitu “dunia” setelah kematian. Penulis melihat bahwa pandangan mengenai kematian ini khususnya yang tercantum dalam pembagian tingkatan itu memiliki kelemahan dan kelebihan.
a.       Ketika cara pandang ini dipakai secara universal, maka akan muncul perbedaan antara empat golongan pertama dengan empat golongan berikutnya yang begitu besar. Dari pandangan ini, tidak mempunyai anak dan tidak menikah adalah dosa besar sehingga tidak dapat didoakan ketika orang itu telah mati.  Bagaimana dengan seorang Pastor atau Suster yang berasal dari budaya batak? Apakah mereka akan dimasukkan dalam tingkat mate pupur (mati sebelum menikah) sehingga bagi dia tidak lagi acara adat yang baik untuk dia? Pembagian ini juga dapat mengakibatkan masalah sosial terhadap orang yang mengalami kemandulan sehingga tidak dapat memiliki anak. Bagaimana mungkin orang yang mengalami hal ini bisa mencapai kebahahagiaan di alam sana.
b.      Di samping kekurangan itu, penulis juga melihat beberapa kelebihan dari pandangan ini. Memahami realitas “dunia” setelah kematian adalah suatu hal sulit digambarkan. Akan tetapi tidaklah suatu yang mustahil. Ternyata dari pembagian tingkatan kematian ini budaya Batak Toba telah berhasil menemukan nilai dari persoalan itu. Pandangan bahwa adanya dunia setelah kematian adalah suatu pernyataan pokok yang memberikan gambaran akan pengakuan religius atas dunia sesudah kematian itu.

V.    Relevansi dan  Penutup
Kematian adalah salah satu aspek penting dalam nilai religi. Dengan demikian, kematian juga termasuk dalam kajian kebudayaan yang tentunya memberikan nilai-nilai bagi hidup manusia. Dari penjelasan di atas, penulis ingin melihat bagaimana relevansi dari paper ini dalam Gereja Katolik.
Kematian juga masuk dalam pembahasan iman agama Katolik. Sebagai salah satu tema iman, tentunya tema ini akan sangat sering mengalami berjumpaan dengan konsep tentang kematian dalam berbagai budaya yang ada ketika iman diwartakan. Dalam hal ini mungkin lebih tepat bila dikatakan bahwa dengan perjumpaan itu dapat saja muncul perbedaan pandangan dan persamaan sehingga sangatlah tepat bila dalam perjumpaan itu tercipta suatu proses inkulturasi.
Setelah  melakukan pembahasan mengenai konsep kematian ini, penulis melihat adanya persamaan dan perbedaan konsep kematian antara budaya Batak Toba dan Agama Katolik. Pertama dari segi perbedaan jelas dilihat dari pembagian itu sendiri. Dalam agama Katolik tidak ada pembagian ketat seperti itu. Semua orang yang mengalami kematian dan bagaiman keadaan dia setelah kematian itu tidaklah dipengaruhi oleh soal kapan dia mati.  Sedangkan dalam budaya Batak Toba pembagian ini menentukan bagaimana kabahagiaan orang yang meninggal itu di dunia setelah kematian itu. Dari persamaan, penulis melihat bahwa keduanya memiliki cara pandang yang sama mengenai bagaimana relasi antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup. Keduanya mengakui bahwa orang yang sudah meninggal tetap memiliki relasi baik secara kekeluargaan maupun kelompok. Memang dalam hal ini Budaya Batak lebih menekankan kekerabatan dengan sanak keluarga sendiri. Dengan melihat perbedaan dan persamaan ini, bolehlah ditemukan cara bagaimana proses inkulturasi yang tepat agar nilai-nilai Injili semakin tertanam dalam budaya Batak Toba.  
Semua pembahasan di atas sesungguhnya belum mencakup semua pemahaman tentang kematian itu sendiri. Dan juga dalam paper ini penulis tidak memiliki intensi untuk memaparkan itu semua dan membatasi diri pada pembagian kematian dalam Budaya Batak Toba seperti yang kita lihat di atas.  Memang jelaslah bahwa pembuatan pembagian itu tidaklah tanpa tujuan tertentu. Dari segi budaya serta nilai-nilai budaya, pembagian itu sebenarnya dilakukan sebagai tanggapan orang Batak Toba mengenai realitas kehidupan setelah kematian. Tanggapan ini tentunya merupakan suatu usaha budi dan refleksi ketika berhapadan dengan situasi alam dan lingkungan yang harus mereka hadapi bersama. Jadi dengan demikian boleh disimpulkan bahwa, sebagai salah satu bentuk budaya, pandangan kematian ternyata telah mempengaruhi nilai-nilai budaya manusia itu sendiri dalam budaya Batak Toba dan bagaimana konsep mereka tentang manusia itu sendiri.

[1] Bdk. Thomas Koten, Teologi Kematian, http://www.scribd.com/doc/18423076/Teologi-Kematian, Diakses Kamis, 19 November 2009 Pkl. 20.22 Wib.
[2] Anton Bakker, Antropologi Metafisik, Kanisius: Yogyakarta, 2008.  hal 309

[3]Bdk.,  Linda Smith & William Raeper, Ide Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Kanisius: Yogyakarta, 2004. Hal.31

[4] Bdk. B.M. Harahap-H.M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Prilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing, Sanggar Willem Iskandar : Jakarta, 1987. Hal. 143.
[5] J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogyakarta, 2005. Hal. 18.
[6]  Stephen, Kematian: Perspektif dan Sikap Teologis, http://www.sabdaspace.com/kematian diakses Jumat, 20 November 2009. Pkl. 22.00.

[7] Bdk. Abdur-Razzaq Lubis, Menghormati Leluhur, http://horasmadina.blogspot.com/2007/07/menghormati-leluhur.html. diakses Kamis, 19 November 2009 pkl. 14.30 Wib.


[8] Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, CV. Armada:  Medan, 1992. Hal. 448.
[9] Ibid.
[10] Bdk. BM harahap hal. 160

[11] Opcit., Abdur-Razzaq Lubis, http://horasmadina.blogspot.com/2007/07/menghormati-leluhur.html. diakses Kamis, 19 November 2009 pkl. 14.30 Wib.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar