Suatu Tinjauan Filsafat Budaya.
Bersamatoba.com
I.
Pengantar
Salah satu tema penting ketika berbicara
tentang manusia adalah persoalan tentang kelahiran dan kematian manusia. Banyak
hal yang masih menjadi misteri dari kedua persoalan ini. Lebih khusus soal
kematian yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang defenisinya sulit dirumuskan.
Banyak pada pemikir mencoba mendefenisikannya sesuai dengan latar belakang
pemikiran mereka masing-masing. Dikatakan oleh para teolog sepanjang zaman bahwa
kematian merupakan persoalan teologis dan filosofis yang sulit ditembus oleh
refleksi teologis para teolog, lukisan pena para penyair, atau telaah filofis
para filsuf.[1] Perumusan itu tidak hanya
dilakukan oleh perseorangan tetapi juga oleh kelompok orang atau bahkan suatu
budaya dan agama. Anton Bakker lebih jelas menegaskan tentang kematian ini
bahwa walaupun kematian ditemukan sebagai unsur integral dalam historisias (nic.
historisitas) manusia, kematian tetap merupakan misteri yang menggetarkan.[2]
Berangkat dari kesulitan perumusan ini, maka tidaklah aneh bila ada berbagai
perbedaan pandangan tentang kematian itu dari banyak budaya.
Dalam paper ini, penulis tidak akan
membahas tentang konsep kematian dari sudut pandang filsafat manusia tetapi membahas
tentang konsep kematian dalam Budaya Batak Toba. Seperti budaya pada umumnya
yang mengalami perkembangan, budaya Batak Toba ternyata juga mengalami
perkembangan yang disebabkan oleh pengaruh ajaran Kekristenan terhadap kematian
itu. Dalam pembahasan ini, penulis membatasi diri pada pandangan budaya Batak
Toba tentang kematian sebelum dipengaruhi oleh pandangan agama Kristen. Selain
itu, karena konsep kematian itu sangat luas, maka kami juga membatasi
pembahasan ini tentang “nilai-nilai filosofis tingkat-tingkat kematian dalam
Budaya Batak Toba.”
II.
Defenisi Kematian secara Umum
Kematian menurut pandangan umum adalah
berhentinya kehidupan, hilangnya hubungan manusia dengan dunia. Dalam dunia
filsafat Yunani Kuno yang diwakili oleh pemikiran Plato, kematian adalah suatu
saat yang sangat dinanti-nantikan karena pada saat itu jiwa mereka yang telah
terkurung dalam badan karena kelahiran akan terbebas kembali. Pandangan inilah
yang terkenal dengan sebutan paham dualistik yang melihat manusia itu terdiri dari
dua unsur: jiwa dan raga. Jiwa terkurung dalam tubuh yang harus dibebaskan
dengan mempelajari filsafat. Dan tubuh memiliki nilai yang negatif yang sering
disebut penjara jiwa. Berbeda dengan pandangan Epicurus yang mengatakan “
Kematian, kejahatan yang paling ditakuti,
bukan urusan kita; karena selagi kita berada kematian tidak ada, dan selagi
kematian ada kita tidak lagi berada.”[3]
Dengan demikian, bagaiamana sebenarnya kematian itu sungguhlah sulit dipahami.
Tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya.
III. Nilai-nilai Budaya
Batak Toba
Batak Toba adalah salah satu sub-etnis
Batak yang berada di daerah Danau Toba. Sebagai kebudayaan, Batak Toba tentunya
memiliki nilai-nilai budaya yang mencakup segala aspek kehidupan mereka. Nilai-nilai
itu tidaklah terbentuk begitu saja melainkan telah melalui tahap perkembangan
ketika dengan budi mereka menghadapi alam dan gejala-gejala dan perubahan alam
tempat mereka hidup, yaitu di sekitar Danau Toba. Nila-nilai budaya itu dapat
dibagi dalam sembilan tingkatan sesuai dengan tingkat pengaruh setiap nilai
itu, yaitu: Kekerabatan, religi, hagabeon,
hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon dan pengayoman.[4] Dengan demikian, nilai-nilai inilah yang
merupakan aspek formal budaya Batak Toba yang merupakan hasil usaha budi dalam mentransformasikan
data, fakta, situasi dan kejadian alam yang mereka
hadapi
itu dan menjadikannya menjadi nilai
manusia.[5]
Di samping nilai itu, ada juga hal-hal lain yang menjadi ciri khas budaya ini
seperti Dalihan Na Tolu (Tungku Nan
Tiga) yang juga menjadi suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Boleh
dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu
merupakan salah satu bentuk pembagian masyarakat atas tiga golongan yang dibagi
menurut fungsi masing-masing dalam suatu adat. Ketiga golongan itu adalah “Dongan sabutuha” (yang lahir dari perut
yang sama maupun yang satu marga), “Boru”
(dari pihak anak atau saudari perempuan, suami dan mertua perempuan, dan juga
yang satu marga degan suaminya itu) dan “Hula-hula”
(golongan dari pihak saudara istri dan semua yang satu rumpun dengan saudara
istrinya itu). Setiap orang Batak Toba dapat masuk dalam setiap golongan ini
tergantung pada fungsinya dalam situasi yang ada. Dari penjelasan di atas boleh
dikatakan bahwa suku Batak Toba sungguh memiliki kebudayaan tersendiri yaitu
Budaya Batak Toba. Memang masih banyak lagi yang harus diperhatikan dalam
menentukan hal ini.
Dari daftar nilai-nilai itu, salah satu
nilai yang terpenting dalam budaya Batak Toba setelah kekerabatan adalah religi
(agama purba). Sebagai salah satu nilai terpenting, nilai religi memiliki
pengaruh yang kuat dalam hidup mereka. Oleh karena itu dari sejak manusia
dikandung hingga pada akhirnya meninggal, nilai ini telah ditanamkan dan
diterapkan melalui berbagai macam upacara ritual keagamaan. Nilai ini juga yang
mempengaruhi konsep orang batak tentang Allah sebagai Debata Mula Jadi Na Bolon. Selain itu, dalam hal dalam nilai inilah
kematian mendapat perhatian khusus. Dan kematian inilah yang ingin dibahas
dalam pembahasan berikutnya.
IV. Kematian menurut
budaya Batak Toba
44.1.Pandangan
tentang kematian
Dalam
budaya batak, kematian dipercaya sebagai tempat berkumpulnya roh-roh orang yang
sudah mati, yang sewaktu-waktu akan datang kembali untuk mengambil sanak keluarga,
kenalan, atau orang asing, untuk dibawa ke tempat kumpulan itu.[6]
Pemahaman ini pada umumnya dikaitkan dengan asal mula nenek moyang orang batak
yang diyakini berasal dari “banua ginjang”.
Jadi pandangan mengenai kematian ini dapat diterima karena bagi mereka tondi (roh) orang mati atau para leluhur
itu akan berkumpul di alam sana. Selain itu, bagi orang Batak Toba, ada tingkat
dari kematian yang tidak membawa duka cita dan patut dirayakan dengan upacara
adat meriah. Sikap ini menjadi suatu penanda bahwa orang Batak Toba percaya
dengan adanya kehidupan setelah kematian yang dipenuhi dengan kebahagiaan.
Menarik bahwa dari
keterangan di atas ternyata dalam budaya Batak Toba terdapat cara pandang khas
tentang kematian. Tentunya, yang akan dibahas adalah kematian manusia bukan
mahluk lain. Kekhasan cara pandang ini secara khusus dapat dilihat dari
pembagian kematian menurut orang Batak. Kematian itu dapat dibagi dalam 8 tingkat
mulai dari terendah, yaitu:[7]
1. mate Tarposo
Mate Tarposo
berarti mati ketika masih berada dalam kandungan hingga saat masih bayi. Bagi
orang yang mengalami kematian tingkat ini, kepadanya tidak akan diberikan
penghormatan khusus secara adat.
2.
Mate
Poso
Mate Poso berarti
mati pada masa kanak-kanak hingga sebelum menikah atau kawin. Sama seperti mate tarposo, orang yang mengalami
tingkat kematian ini tidak juga diberi penghormatan khusus.
3.
Mate
Pupur
Mate Pupur
berarti mati pada saat sudah tua namun belum pernah menikah. Sama halnya juga
dengan tingkat ini, orang yang mengalami tingkat ini tidak mendapatkan
penghormatan.
4.
Mate
Punu
Mate Punu
berarti mati sesudah menikah atau kawin akan tetapi belum punya anak. Tingkat
kematian ini juga sama halnya dengan ketiga tingkat sebelumnya. Walau pun orang
itu sudah menikah, akan tetapi karena belum punya anak, kepada dia tetap tidak
ada penghormatan khusus.
5.
Mate
Mangkar
Mate Makkar
berarti mati setelah memiliki anak yang sudah kawin, akan tetapi belum punya cucu. Barulah pada tingkat
ini, orang yang meninggal akan diberi penghormatan khusus secara adat. Demikian
juga pada tingkatan selanjutnya karena sejak tingkat ini orang yang meninggal
telah punya anak.
6.
Mate
Sarimatua
Dari kata sarimatua,
kata sari artinya masih ada anak yang
digelisahkan karena belum menikah.[8] Jadi,
Mate Sarimatua berarti mati setelah memiliki cucu, tetapi masih ada
anaknya yang belum menikah baik itu anak perempuan atau pun anak laki-laki.
7.
Mate
Saurmatua
Dari
kata saurmatua, kata saur artinya lengkap atau sempurna bahwa
orang yang meninggal dunia itu telah sempurna dalam kekerabatan, telah beranak,
bercucu.[9]
Jadi mate Saurmatua berarti mati
setelah semua anaknya baik perempuan mau pun laki-laki sudah menikah dan dia
telah memiliki cucu.
8.
Mate
Mauli Bulung
Mate Mauli Bulung
berarti mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik
serta tidak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya.
Pembagian
kematian ini menunjukkan status sosial seseorang yang mengalami kematian itu.
Status sosial ini tentunya berhubungan dengan tingkat hagabeon (keluarga yang besar dan usia lanjut sekaligus menjadi
panutan masyarakat).[10]
Jadi semakin tinggi tingkatnya semakin
tinggi jugalah status sosialnya. Menarik bahwa mate tarposo hingga mate punu
dibedakan dengan tingkat berikutnya dalam hal penghormatan kepada mereka yang
meninggal. Kepada mereka yang meninggal pada tingkat mate makkar hingga mate mauli
bulung pasti diberikan suatu acara adat yang menunjukkan suatu kegembiaraan
atas meninggalnya orang tersebut. Akan tetapi tingkat kegembiraan dalam keempat
tingkat itu tentu berbeda. Artinya bahwa orang Batak Toba lebih bergembira
ketika mengadakan upacara adat kematian pada orang yang mengalami kematian padan
tingkat mate mauli bulung. Hanya
saja, tingkat mauli bulung itu sangat jarang dicapai oleh manusia sehingga
jarang dirayakan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa tiap tahap ini
dibedakan? Nilai apa yang mau dihayati dalam perbedaan ini?
44.2.Nilai-nilai
budaya dari peristiwa kematian
Yang menjadi patokan utama dari
pembagian tingkatan kematian di atas adalah seberapa tinggi seorang manusia itu
mencapai cita-cita hagabeon itu. Ini juga dikaitkan dengan tingkat kesempurnaan
hidup manusia di dunia. Semakin tinggi tingkat hagabeon seseorang maka tingkat kesempurnaannya
juga semakin utuh. Dalam hal ini yang menjadi patokan sempurna tidaknya adalah
tingkat pencapaian hagabeon itu sendiri. Demikian juga dengan keempat tingkat
pertama tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu
dianggap belum lengkap kehidupan seseorang. [11]
Dari
perbedaan ini, nilai budaya yang mau dihayati adalah soal nilai perjuangan
orang batak untuk hidup lebih sempurna. Seperti yang diuraikan, letak
kesempurnaan itu adalah bila seseroang mendapatkan keturunan, baik melalui anak
perempuan maupun melalui anak laki-laki. Setiap orang Batak berjuang agar
mereka mengalami kematian pada tahap mate
mauli bulung itu. Selain itu, nilai kematian ini sebenarnya muncul dari
usaha orang batak dalam menjelaskan dunia setelah kematian. Memang orang batak
yakin bahwa setelah hidup di dunia, masih ada dunia setelah kematian. Jadi
untuk mengerti realitas itu, mereka menciptakan suatu nilai-nilai religi dan
juga nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian menciptakan suatu budaya baru
mengenai kematian itu. Manusia dipandang sebagai mahluk yang memiliki nasib yang
berbeda-beda dalam mengalami tingkat kematian yang berbeda pula. Nilai-nilai
kekerabatan nampaknya sangat jelas bagaimana melalui konsep kematian ini, orang
yang telah meninggal dapat bersatu lagi dengan roh-roh para leluhurnya.
44.3. Tinjauan Kritis
Konsep pemahaman tentang kematian ini
merupakan suatu konsep yang lahir dari budaya Batak Toba ketika mereka harus
menghadapi suatu realitas baru yaitu “dunia” setelah kematian. Penulis melihat
bahwa pandangan mengenai kematian ini khususnya yang tercantum dalam pembagian tingkatan
itu memiliki kelemahan dan kelebihan.
a. Ketika cara pandang ini dipakai secara universal,
maka akan muncul perbedaan antara empat golongan pertama dengan empat golongan
berikutnya yang begitu besar. Dari pandangan ini, tidak mempunyai anak dan
tidak menikah adalah dosa besar sehingga tidak dapat didoakan ketika orang itu
telah mati. Bagaimana dengan seorang
Pastor atau Suster yang berasal dari budaya batak? Apakah mereka akan
dimasukkan dalam tingkat mate pupur
(mati sebelum menikah) sehingga bagi dia tidak lagi acara adat yang baik untuk
dia? Pembagian ini juga dapat mengakibatkan masalah sosial terhadap orang yang
mengalami kemandulan sehingga tidak dapat memiliki anak. Bagaimana mungkin
orang yang mengalami hal ini bisa mencapai kebahahagiaan di alam sana.
b. Di samping kekurangan itu, penulis juga melihat
beberapa kelebihan dari pandangan ini. Memahami realitas “dunia” setelah
kematian adalah suatu hal sulit digambarkan. Akan tetapi tidaklah suatu yang
mustahil. Ternyata dari pembagian tingkatan kematian ini budaya Batak Toba
telah berhasil menemukan nilai dari persoalan itu. Pandangan bahwa adanya dunia
setelah kematian adalah suatu pernyataan pokok yang memberikan gambaran akan
pengakuan religius atas dunia sesudah kematian itu.
V.
Relevansi dan
Penutup
Kematian adalah
salah satu aspek penting dalam nilai religi. Dengan demikian, kematian juga
termasuk dalam kajian kebudayaan yang tentunya memberikan nilai-nilai bagi
hidup manusia. Dari penjelasan di atas, penulis ingin melihat bagaimana
relevansi dari paper ini dalam Gereja Katolik.
Kematian juga
masuk dalam pembahasan iman agama Katolik. Sebagai salah satu tema iman,
tentunya tema ini akan sangat sering mengalami berjumpaan dengan konsep tentang
kematian dalam berbagai budaya yang ada ketika iman diwartakan. Dalam hal ini
mungkin lebih tepat bila dikatakan bahwa dengan perjumpaan itu dapat saja
muncul perbedaan pandangan dan persamaan sehingga sangatlah tepat bila dalam
perjumpaan itu tercipta suatu proses inkulturasi.
Setelah melakukan pembahasan mengenai konsep kematian
ini, penulis melihat adanya persamaan dan perbedaan konsep kematian antara
budaya Batak Toba dan Agama Katolik. Pertama dari segi perbedaan jelas dilihat
dari pembagian itu sendiri. Dalam agama Katolik tidak ada pembagian ketat
seperti itu. Semua orang yang mengalami kematian dan bagaiman keadaan dia
setelah kematian itu tidaklah dipengaruhi oleh soal kapan dia mati. Sedangkan dalam budaya Batak Toba pembagian
ini menentukan bagaimana kabahagiaan orang yang meninggal itu di dunia setelah
kematian itu. Dari persamaan, penulis melihat bahwa keduanya memiliki cara
pandang yang sama mengenai bagaimana relasi antara orang yang telah meninggal
dengan orang yang masih hidup. Keduanya mengakui bahwa orang yang sudah
meninggal tetap memiliki relasi baik secara kekeluargaan maupun kelompok.
Memang dalam hal ini Budaya Batak lebih menekankan kekerabatan dengan sanak
keluarga sendiri. Dengan melihat perbedaan dan persamaan ini, bolehlah
ditemukan cara bagaimana proses inkulturasi yang tepat agar nilai-nilai Injili
semakin tertanam dalam budaya Batak Toba.
Semua pembahasan
di atas sesungguhnya belum mencakup semua pemahaman tentang kematian itu
sendiri. Dan juga dalam paper ini penulis tidak memiliki intensi untuk memaparkan
itu semua dan membatasi diri pada pembagian kematian dalam Budaya Batak Toba
seperti yang kita lihat di atas. Memang
jelaslah bahwa pembuatan pembagian itu tidaklah tanpa tujuan tertentu. Dari
segi budaya serta nilai-nilai budaya, pembagian itu sebenarnya dilakukan
sebagai tanggapan orang Batak Toba mengenai realitas kehidupan setelah
kematian. Tanggapan ini tentunya merupakan suatu usaha budi dan refleksi ketika
berhapadan dengan situasi alam dan lingkungan yang harus mereka hadapi bersama.
Jadi dengan demikian boleh disimpulkan bahwa, sebagai salah satu bentuk budaya,
pandangan kematian ternyata telah mempengaruhi nilai-nilai budaya manusia itu
sendiri dalam budaya Batak Toba dan bagaimana konsep mereka tentang manusia itu
sendiri.
[1]
Bdk. Thomas Koten, Teologi Kematian,
http://www.scribd.com/doc/18423076/Teologi-Kematian,
Diakses Kamis, 19 November 2009 Pkl. 20.22 Wib.
[2]
Anton Bakker, Antropologi Metafisik,
Kanisius: Yogyakarta, 2008. hal 309
[3]Bdk., Linda Smith & William Raeper, Ide Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Kanisius: Yogyakarta, 2004. Hal.31
[4]
Bdk. B.M. Harahap-H.M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu
Pendekatan Terhadap Prilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing, Sanggar Willem
Iskandar : Jakarta, 1987. Hal. 143.
[5]
J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogyakarta,
2005. Hal. 18.
[6] Stephen, Kematian: Perspektif dan Sikap Teologis, http://www.sabdaspace.com/kematian diakses Jumat, 20 November 2009.
Pkl. 22.00.
[7] Bdk. Abdur-Razzaq Lubis, Menghormati Leluhur, http://horasmadina.blogspot.com/2007/07/menghormati-leluhur.html. diakses Kamis, 19 November 2009 pkl. 14.30 Wib.
[8]
Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, CV.
Armada: Medan, 1992. Hal. 448.
[9]
Ibid.
[10]
Bdk. BM harahap hal. 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar