Total Tayangan Halaman

Jumat, 07 September 2012

BalaiKambang, A Journey of Love


Perjalanan adalah sebuah peziarahan yang penuh lika-liku hidup yang tak pernah selesai yang diakhiri oleh permulaan peziarahan dalam hidup yang baru.  Jiwa dan raga disatukan bagaikan sinar mentari mengiringi gerakan lincah putaran angin, bagaikan alunan merdu melody musik yang dihasilkan pemusik, bagaikan puisi dengan pujangga. Di atas jalan berliku, kesatuan itu menjadi indah dalam diri insan para peziarah. Di bawah langit, kesatuan itu menciptakan irama yang terlukiskan, memancarkan sinar yang memesonakan dunia, mematahkan ketakutan dan kegelapan hati.
Aspal hitam kelabu menyelimuti jalan panjang Malang-Balaikambang ketika enam insan manusia melakukan pengembaraan hidup. Asap mesin buatan para penjajah modern mengurung jiwa dan raga mereka. Sengatan sinar mentari menghisap cairan tubuh yang sedang berjuang tiada henti menyegarkan raga. Jalinan benang yang menyelubungi tubuh menjadi pelindung bagaikan mantol indah Salomo yang sudah menjadi kusam karena termakan waktu. Semangat mereka tetap membara dalam hati seraya bersorak gembira memecah kebisingan mesin-mesin tua “Balaikambang, We are coming!”
Tiga motor dari berbagai generasi menjadi saksi utama perjalanan itu. Honda pasti melihat dari atas sana. Dengan mata cipit hampir ngatuk dan senyum yang terukir abadi di bibirnya sembari berteriak kegirangan membuat Mitsubisi, Yamaha dan Suzuki iri seperempat mati, “Hore, para Pengembara sedang menunggangi kuda bajaku!!” Akan tetapi, ada suatu hal yang hampir ketinggalan dari alam siang itu. Di tengah kecerian dan semangat keenam insan itu, langit menunjukkan rasa cemburunya. Wajahnya yang cemberut menjadikan atap bumi menjadi kelabu. Di depan sana, air mata si wanita tua itu mulai bercucuran. Dari sebentuk gerimis yang tak pernah diundang hingga siraman panah hujan tangisan itu turun dengan garang membuat debu jalan tunduk malu dan menghilang secara teratur dari muka bumi pertiwi. Tapi keenam insan itu tetap menerjang dengan berjuta kata keluar dari rongga mulut walau pelindung tubuh sudah tembus. Dalam hati mereka hanya ada satu hasrat yang sama hingga akhirnya memutuskan suatu prinsip “mundur sejenak untuk maju seribu langkah!” Mencari tempat berteduh seakan-akan menjadi buah yang ranum dari prinsip itu. Saat itu juga muncul ungkapan hati yang mampu membungkus buah ranum itu “Perhentian Pertama!”. Hati kecil sepertinya agak risih dengan itu, karena yang pertama pasti melahirkan yang kedua. Itulah hukum alam.
Penjaga langit nampaknya semakin bergirang dengan peristiwa itu. Membuat siasat timbul dari pikiran. Menahlukkan air mata si wanita tua sepertinya suatu hal yang tak mungkin. Mengatur strategi menjadi putusan bersama. “Kita akan berjalan ketika siraman panah hujan berubah menjadi cipratan gerimis, dan berteduh ketika dia kembali menjadi siraman panah!!” Semangat yang membakar hati tanpa menghanguskan raga bersemburan liar dari setiap insan yang  membuat mereka serempak berkata “Amin”.
Perubahan pun terjadi. Siraman panah hujan perlahan berubah menjadi gerimis yang datang dengan malu-malu. Satu-satu batu kerikil yang terlindas bergembira ria karena merasa memberi jasa kepada para pengembara. Satu, dua hingga berjuta-juta kerikil yang merapatkan barisan dalam aspal hitam pekat pun terlewati. Hati, mulut dan telinga pun disatukan dalam setiap percakapan tentang seribu tema yang memancarkan berjuta senyum di bibir. Satu meter, dua meter dan beribu meter pun terlampaui tanpa terasa karena pikiran telah disedot habis oleh kata-kata yang menjalin rasa hingga kesadaran akan hal yang lain. Lagi-lagi, si wanita tua menangis. Tidak ada lagi gerimis yang hadir malu-malu. Siraman panah membuat sekujur tubuh terasa digerogoti oleh rasa dingin yang mulai menggigil. Nampaknya si wanita tua tidak tahan lagi melihat kemesraan, kesatuan jiwa dan raga, keterhubungan kata-kata yang membangun menara cerita kasih. Hingga suatu detik, prinsip “mundur untuk maju sejuta langkah” muncul dalam sanubari. Dan sungguh, perhentian kedua telah ditentukan oleh alam. Lagi-lagi hukum alam.
Mengabadikan kisah dalam cam olympus dan cell phone di bawah atap teras toko mobil menjadi senjata handal menghalau kecemburuan si wanita tua. Segudang flag mobil yang berbaris rapi seperti kebiasan para tentara menjadi saksi bisu dari peristiwa unik itu. Gerobak bakso pun ikut tersenyum tersipu sembari menghembuskan bau enak dari ramuan bumbu yang rela direbus ketika melihat kilatan cahaya kecil yang keluar dari kotak kecil ciptaan bangsawan Nokia itu. Setika itu juga, senyuman dan berbagai macam gaya dari setiap insan pengembara itu menjadi abadi. Peristiwa itu seakan-akan menyedot semua perhatian sampai melupakan ancaman dewi langit dan menyingkirkan pesona kebosanan yang dihasilkan si penyihir waktu. Ratusan detik pun tunduk di bawah kaki keceriaan wajah. Gerimis pun hadir dengan sekelumit rasa bangga dicelah-celahnya. Melanjutkan pengembaraan pun dimulai.
Si kuda baja pun dibangkitkan dari tidurnya. Mereka sungguh ada di pihak para pengembara. Panggilan untuk setia ditunggangi sungguh mereka hanyati. Ternyata amukan si wanita tua membuat jalan terlihat kehilangan bentuk. Setiap titik debu menghilang dari atasnya diganti dengan berjuta titik air yang menggenanginya. Bagi para pengembara, bencana kecil yang muncul di atas jalan itu ternyata menjadi bahan pokok kecerian. Dengan menggunakan kesetiaan si kuda baja, para pengembara itu pun mempermainkan titik-titik ari itu. Putaran kaki hitam si kuda baja membelah ikatan titik-titik air itu sehingga menimbulkan bunga air di belakang pengembara. Senyuman dan tawa pun terukir dibibir. Kedekatan dan kebersaamaan pun seolah-seolah membangun istana dalam hati mereka. Sungguh, ketika bencana berubah menjadi sumber keceriaan, segalanya menjadi indah. Lagi-lagi si wanita tua tidak tahan lagi dengan rasa cemburunya. Mengeluarkan air mata pun menjadi putusannya. Perhentian ketiga pun muncul. Teras rumah sempit yang terhampar di pinggiran jalan menjadi istana kecil.
Lagi-lagi jasa cam olympus yang mulai lapar pun dipermainkan oleh jemari. Mengabadikan tempat dengan berjuta senyuman yang menghiasi istana itu menjadi bius yang sangat mujarab. Kebersamaan, keceriaan, senyuman dan cinta berhamburan dari wajah imut dan lugu seraya menahan rasa dingin yang menelurusi setiap lapisan tubuh. “Biarlah Tubuhku digerogoti dengan berjuta cambuk, tapi hatiku takkan runtuh karena semangatku menopang niatku!” Suatu untaian kata yang lahir tanpa butuh penyair karena si pengembara telah mulai menemukan arti sebuah pengembaraan. Rasa syukur tiba-tiba terucap kepada segudang plastik kecil irisan telo yang dilemur dengan warna merah si kecil pedas. Di antara celah kata dan senyum, irisan demi irisan berubah menjadi bubur dalam rongga mulut. Si kecil pedas pun beraksi memberi energi panas melalui lorong-lorong usus. Segalanya menjadi indah karena keterpaduan berbagai eksistensi yang sederhana. Raga pun ikut bersuka cita bersama dengan jiwa. Si wanita tua tiba-tiba kalah dengan hadirnya pangeran api. Atap bumi perlahan-lahan menjadi cerah.
Perjalanan pun dimulai kembali. Ribuan meter jalan masih menanti untuk dilindas. Akan tetapi, si wanita tua tidak mampu lagi. Tenaganya sudah habis karena rasa cemburunya. Semangat pun semakin bergelora karena bau garam laut mulai tercium. Bukit-bukit kecil mulai tampak bertengger di depan sana. Akan tetapi bukit adanya berlapis. Dibalik bukit masih ada bukit. Bau garam laun pun semakin terasa. Kehangatan semakin membakar raga hingga tiba di tempat tujuan. “Balaikambang, we are on you.!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar