Konsepsi Idola menurut Francis Bacon
(Suatu Implementasi dalam Hidup Berbangsa di Indonesia)
I.
Pengantar
Perkembangan sebuah bangsa tidak mungkin lepas dari
perkembangan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam
bidang intelektual. Perkembangan intelektual yang dimaksud adalah kondisi
pengetahuan dari setiap anggota masyarakat itu. Pengetahuan pada gilirannya
dapat membuat setiap anggota masyarakatnya mampu mengembangkan diri dan juga
bangsa ini dengan lebih cepat. Dengan kata lain, pengetahuan menjadi tolak ukur
dalam perkembangan suatu bangsa.
Indonesia hingga pada saat ini
masih tergolong sebagai negara berkembang. Itu artinya bahwa negara Indonesia
belum mencapai suatu perkembangan yang berjalan dengan lancar. Fakta ini jelas
berkaitan dengan keadaan kondisi intelektual dari para manusia negara ini yang
juga bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang belum maju. Dengan melihat
realitas ini, maka muncul sebuah praduga akan adanya penyebab dari munculnya
kemandegan itu. Pasti ada yang sedang menghalangi pikiran manusia Indonesia sehingga
tidak dapat melihat realitas yang sesungguhnya secara jelas. Dalam tulisan ini
penulis ingin mencoba melihat beberapa penyebab terjadinya kemandegan itu
dengan menggunakan pemikiran Francis Bacon tentang Idola-idola.
II.
Sekilas tentang Francis Bacon dan Pemikirannya tentang
Pengetahuan
Francis Bacon adalah seorang filsuf yang sangat berpengaruh
pada zamannya karena pemikirannya tentang pengetahuan. Dia dilahirkan pada 21
Januari 1561 dalam keluarga bangsawan Inggris yakni Sir Nicholas Bacon dan
mengikuti studinya tentang filsafat Plato dan Aristoteles di Trinity College
Cambridge. Dari sejak muda, dia telah berusaha untuk membuktikan bahwa sistem
filsafat skolastik sudah usang.[1]
Pada abad itu, Bacon ingin menunjukkan bahwa sistem pengetahuan lama tidak
dapat memberikan sesuatu yang berfaedah dan tidak memberikan sumbangan bagi
kehidupan umat manusia. Pendapat ini dia pertegas dengan mengatakan bahwa orang
Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum
dan orang Abad Pertengahan dengan teologi.[2]
Dia melihat bahwa para pemikir Abad Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan masih
terpaku pada pemikiran-pemikiran yang membuat pengetahuan bukan untuk
pengetahuan itu. Mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan.[3]
Sebagai seorang humanis Renaisans, Bacon menganggap manusia sebagai ukuran dari
segala karena manusialah yang dapat memiliki dan yang dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan itu.
Pemikiran Bacon tentang pengetahuan menjadi sangat terkenal
melalui tesis yang dia promulgasikan yaitu “knowledge
is power” (pengetahuan adalah kuasa).
Tesis ini bukanlah berarti bahwa lewat pengetahuan indrawi manusia bisa
menguasai alam melainkan bahwa pengetahuan inderawi itu dapat digunakan untuk
memajukan kehidupan manusia yang pada akhirnya dapat memajukan kehidupan bangsa
dan negara. Dalam hal ini, pengetahuan itu lebih mendapat penekanan dalam
bidang fungsionalnya. Manusia bisa mengetahui kebenaran universal dan
pengecualian-pengecualiannya bila manusia dengan pikirannya mampu menyelami
hukum dan prinsip alam serta mengerti alam. Pada dasarnya tesis ini berada dalam
ranah pandangan dia tentang manusia sebagai ukuran dari segalanya.
III.
Konsepsi Idola
Dalam
kaitannya dengan pemikiran Bacon tentang pengetahuan, salah satu bukunya ”Novum Organum”memuat suatu pemikiran
yang sangat terkenal yaitu tentang konsep Idola-idola.
“Idola” yang dimaksud adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia
sebagaimana tampak dalam kemandegan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh
para individunya.[4]
Idola-idola itu muncul dari cara pikir lama yang oleh Bacon dilihat sebagai
penghalang bagi pikiran manusia untuk bisa berpikir objektif. Melalui konsep
ini, Bacon ingin agar setiap individu dan masyarakat mampu berpikir objektif
dan kritis atas segala apa yang sedang muncul. Tujuan ini dapat dicapai jika
idola-idola itu dapat disingkirkan dari cara berpikir manusia.
Dengan
tegas Bacon mengatakan bahwa idola ini adalah unsur-unsur tradisi yang
dipuja-puja seperti berhala yang merasuki pikiran manusia sehingga manusia
enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis.[5]
Idola itu membatasi dan membuat manusia tidak mampu berpikir secara bebas
karena terkurung dalam pemujaan-pemujaan terhadap kebenaran lama dan semu itu. Bacon
mengembangkan doktrin tentang “idola” di mana ia meletakkan pemahaman tentang
berbagai kendala yang terdapat dalam mencapai kebenaran dan ilmu pengetahuan –
berhala palsu yang mencegah kita untuk membuat pengamatan yang akurat dan untuk
mencapai suatu pemahaman.[6]
Melalui konsepsi ini, Bacon ingin mengingatkan manusia akan adanya bahaya yang
besar bila idola-idola ini masih menguasai pikiran manusia. Idola ini membuat manusia
tidak lagi bisa menguasai alam dan tidak berhasil merumuskan suatu kebenaran
dari hasil dari setiap observasinya.
Untuk
memperjelas konsepsi idola ini, Bacon mengelompokkannya ke dalam empat macam
idola yang ada dalam diri manusia baik secara individual maupun secara komunal.
Keempat kelompok idola itu adalah: idola
tribus, idola cave, idola fora, idola theatra.[7]
Dengan mengetahui idola ini, diharapkan agar kita mampu membangun suatu
pengamanan rasional yang dapat membantu kita untuk mengkounter setiap pengaruh
idola-idola itu. Usaha ini dapat dilakukan dengan menemukan cara-cara untuk
mendeteksi, mengenali dan mengkounter pengaruh-pengaruh dari setiap idola itu.[8]
Artinya melalui pengelompokan ini, kita bisa mendeteksi apa saja yang merupakan
idola dalam setiap individu dan masarakat yang sedang menutupi cara pikir kira.
Francis Bacon percaya bahwa jika orang "diperingatkan akan adanya bahaya,"
mereka bisa "membentengi diri sejauh mungkin terhadap serangan dari
idola-idola itu."[9] Masing-masing
idola itu memiliki sumber yang berbeda-beda dan ini memiliki konsekuensi
langsung terhadap bagaiman cara kita untuk mengkounter pengaruh mereka. Apa
pengertian dari keempat idola itu?
Pertama, Idola tribus
(tribus=bangsa) adalah semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh pesona
atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga orang tak sanggup memandang
alam secara obektif.[10]
Idola-idola ini menjadi hambatan karena pikiran manusia menjadikan
prasangka-prasangka itu sebagai suatu kebenaran yang harus dipertahankan.
Prasangka itu diterima begitu saja tanpa ada suatu sikap kritis. Bahkan,
prasangka itu diturunkan atau diwariskan bagi generasi berikutnya tanpa ada
sedikit pun sikap meragukan kebenarannya. Bacon mengatakan: “Idola tribus ini memiliki dasarnya dalam
kodrat manusia itu sendiri dan dalam suku serta ras mereka.”[11] Dengan
demikian idola tribus merupakan idola yang tidak bisa dihapus dari dalam diri
manusia karena ada dalam kodrat manusia dan sudah menjadi bawaannya.
Kedua, idola cave (cave/specus=gua) merupakan
prasangka individual yang berarti bahwa pengalaman-pengalaman dan minat-minat
pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia sehingga dunia
objektif dikarburkan.[12]
Idola ini membuat pikiran manusia terjebak para pengelaman-pengalaman atau
minat-minat pribadi sehingga tidak bisa melihat realitas secara jelas. Idola
ini muncul ketika orang menganggap bahwa hanya dialah yang memegang yang benar
dan yang lain salah. Setiap manusia yang terjebak di dalamnya terkurung dalam
suatu pola pemikiran yang sangat tertutup dengan kehadiran pemikiran lain. Menurut
Bacon, dalam diri manusia yang dikaburkan oleh idola ini ada suatu yang ibarat
gua (Cave) yang hanya mendapat
sedikit cahaya untuk mengerti dunia luar. Bagi mereka, yang benar adalah apa
yang mereka pikirkan dan kenyataan yang sesungguhnya ada dalam diri meraka. Idola
ini sering dialami oleh orang yang sedang terkurung dalam berbagai perasaan.
Sebut saja yang terjadi dalam diri orang yang sedang bersedih. Cara berpikirnya
akan dikaburkan oleh perasaan tersebut sehingga dia menolak pendapat orang yang
ingin membantunya.
Ketiga:
idola fora (forum=pasar) menurut
Bacon adalah idola yang paling berbahaya yang mengacu pada pendapat atau
kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan
keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji.[13]
Idola ini muncul dalam diri orang yang dalam dirinya tertanam dan memuja-muja
suatu kebenaran yaitu: pendapat umum selalu benar. Individu tidak lagi dapat
berpikir kritis atas apa yang dikatakan oleh pendapat umum. Bacon mengangkat
ini sebagai idola karena seringnya muncul kekacauan berpikir yang diakibatkan
oleh penggunaan bahasa, sebagai media pergaulan dan asosiasi pesan dan makna
antara satu orang dengan orang lain.[14]
Bahasa yang digunakan oleh manusia itu pada dasarnya baik dan berguna bagi
manusia serta mendapat posisi penting dalam hidup manusia. Akan tetapi bahasa
ternyata dapat mengelabui pemikiran kita
karena kesibukan mekirkan istilah yang tepat atas suatu realitas. Idola ini
menjadi sangat berbahaya ketika manusia menerima begitu saja pemahaman palsu
tertentu yang diakui oleh masyarat (pasar).
Keempat:
idola theatra (theatra=panggung)
yaitu aneka ragam sistem filsafat yang sering digunakan orang secara keliru
untuk memandang realitas, kira-kira sejenis dengan yang sekarang kita namakan
ideologi sang biang kerok kesadaran palsu.[15]
Manusia seakan-akan dimasukkan dalam suatu panggung drama pemikiran yang sedang
pamor pada hal mementaskan suatu dunia khayali, semu. Karena tidak adanya sikap
kritis dalam diri manusia, mereka menerima pemikiran itu begitu saja sehingga
mereka tidak sampai pada kebenaran yang sesungguhnya. Mengagung-agungkan
pemikiran seorang tokoh atau aliran
tertentu tanpa menimbulkan sikap kritis atasnya menjadi contoh yang sering
terjadi dalam diri manusia. Siapa saja yang menolak sistem atau tokoh itu
dianggap sesat dan dikucilkan.
IV.
Implementasi dan Kesimpulan
a.
Implementasi dalam Hidup Berbangsa di Indonesia
Dalam
bagian ini, kita akan mencoba mencoba melihat implementasi dari konsepsi idola
itu dalam hidup berbangsa di negara ini. Sebenarnya ada begitu banyak idola
dalam negara ini. Berikut ini penulis hanya mencoba memaparkan beberapa contoh
idola yang sedang meradangi pemikiran kita. Akan tetapi sangat diharapkan bahwa
melalui beberapa contoh yang mewakili setiap kelompok idola di atas, kita dapat
juga menyadari contoh-contoh lain.
Adalah
suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang
terdiri dari banyak suku dan budaya. Masih ada suku yang masih mengalami
ketertinggalan dalam hal pengetahuan (bukan untuk mengatakan bahwa mereka masih
primitif). Ketertinggalan ini bisa saja diakibatkan karena keinginan mereka
untuk mengembangkan daya intelektual belum kuat. Anggapan bahwa alam selalu
menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka masih kuat tertanam dalam diri mereka.
Dengan kata lain, alam yang mereka tempati sering memanjakan mereka sehingga
dalam diri mereka muncul anggapan bahwa ilmu pengetahun belum menjadi suatu
yang penting. Bertani tanpa sekolah sering menjadi prioritas banyak orang dalam
masyarakat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai suatu berhala yang menjadi
penghalang bagi masyarakat tertentu untuk berkembang. Sebut saja di daerah
Daerah Karo, Simalungun dan Toba-Sumatera Utara. Bagi sebagian besar masyarakat
di sana, pertanian adalah suatu hal yang paling penting. Mereka memperoleh
kehidupan dengan bertani. Memang dapat dikatakan bahwa mereka memiliki
pengalaman dalam bidang itu. Akan tetapi pengetahuan mereka tentang bidang itu
untuk semakin memajukan hidup mereka belum setinggi pengalaman mereka. Mereka
mengagung-agungkan alam yang mereka olah walau untuk mencapai hasil yang
memuaskan mereka telah menggunakan zat kimia yang telah merusak tanah. Mereka
tidak banyak tahu tentang apa yang terjadi di tanah itu. Mereka ikuti saja
iming-iming yang diberikan para pengusaha pupuk kimia tanpa menyadari langsung
akibat dari pupuk itu. Penulis yakin bahwa cara pikir seperti ini masih banyak
tertanam dalam diri manusia Indonesia. Dalam pemikiran Francis Bacon, masalah
ini masuk dalam kelompok idola tribus.
“Budaya
sungkan” sering dianggap oleh manusia Indonesia sebagai suatu yang harus
dipegang demi menjaga keajegan hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya budaya
ini didominasi oleh perasaan-perasaan tertentu yang menutup pikiran untuk
mengungkapkan kebenaran kepada orang lain. Mereka berpendapat bahwa lebih baik
menjaga perasaan orang lain dari pada harus mengungkapkan kebenaran. Membiarkan
ketidakbenaran meraja lela menjadi akibat langsung dari budaya ini. Sebut saja
apa yang sering terjadi dalam dunia pemerintahan yaitu ketika seorang pejabat
membiarkan rekannya melakukan korupsi tanpa berani menegur orang itu karena
“sungkan”. Rasa sungkan lebih kuat
mempengaruhi keputusan dari pada fakta sebagai pejabat pemerintahan yang harus
memperjuangkan kebenaran. Orang yang terjebak dalam cara pikir ini dapat
dikelompokkan dalam idola cave karena bagi mereka perasaan sungkan itulah yang
harus dijunjung tinggi ketika melihat orang lain melakukan ketidakbenaran.
Tidaklah
banyak orang Indonesia yang telah tegas menolak keberadaan “gosip” dari dalam
hidupnya. Ketinggalan untuk mengetahui gosip terbaru malah menjadi suatu
kelemahan atau suatu hal yang buruk dalam diri mereka. Dan setelah mereka
mengetahui gosip itu, mereka akan bangga dan dengan bersemangat menyebarkannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip itu diartikan sebagai “obrolan
tentang orang lain; cerita negatif tetang seseorang; pergunjingan”.[16]
Artinya, pada dasarnya gosip itu
bersifat buruk dari dalam dirinya. Akan tetapi gosip itu memiliki pengaruh yang
kuat untuk mempengaruhi masyarakat. Apa yang disebarkan melalui gosip cepat
diterima dan langsung dipercayai tanpa ada pertanyaan untuk memperjelas
kebenarannya. Budaya “ngegosip” ini
tidak hanya ada di kalangan masyarakat biasa tetapi juga di kalangan kaum
intelektual. Ketika “pembicaraan pasar” atau gosip dijadikan acuan kebenaran,
maka bahaya besar akan menimpa masyarakat itu. Inilah suatu realitas yang bisa
dimasukkan dalam idola fora yang selama ini telah mengaburkan pikiran manusia
Indonesia.
Salah
satu pemikiran yang masih kuat dalam negara ini adalah pemikiran tentang “Ratu
Adil”. Pada umumnya, konsep seperti ini biasanya lahir di tengah masyarakat
yang sedang tertindas. Oleh masyarakat itu, konsep ini tidak hanya diterima
tetapi juga diyakini dan bahkah menyandarkan hidup padanya. Sementara di pihak
modern, konsep ini tidak jauh beda dengan suatu mitologi yang diciptakan di
tengah hidup yang sedang ditindas. Lepas dari pandangan modern ini, bagi
manusia Indonesia “Ratu Adil” adalah suatu hal yang pasti. Behkan konsep ini diterima
sebagai sebuah sistem filsafat yang harus diyakini kebenarannya. Kami
mengangkat konsep ini sebagai salah satu contoh idola teathre karena konsep ini
sering membuat masyarakat bersikap pasrah, fatalistik dan tidak ada lagi
semangat juang dalam diri untuk mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Alhasil, mereka hanya menunggu tanpa melakukan apa-apa untuk memperbaiki
hidupnya secara konkrit.
b.
Kesimpulan
Francis Bacon menawarkan suatu pemikiran yang sangat penting
bagi kita untuk mengetahui apa saja yang menhalangi pikiran kita dalam melihat
realitas ini. Bacon melihat itu sebagai idola yang dijadikan sebagai
berhala-berhala baru. Pemikiran ini tetap relevan karena dapat membantu kita
untuk melihat idola-idola itu pada zaman ini. Dalam tulisan ini, penulis tidak
menunjukkan pemecahan atas masalah-masalah yang diakibatkan oleh idola-idola
itu melainkan ingin menyadarkan kita. Kita telah diperbudak oleh idola-idola
itu, pemikiran bangsa kita sering dikaburkan dan dikacaukan. Francis Bacon
mengajak kita untuk menyadarinya sehingga kita dapat membentengi diri dari
pengaruh-pengaruh idola tersebut. Dengan membentengi diri secara rasional, kita
pun dapat berpikir secara objektif dan memperoleh banyak pengetahuan menjadi
sesuatu yang sangat mungkin.
[1] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern, hlm. 26.
[2]Bdk. Ibid. hlm 27.
[3] Ibid.
[4] Bdk. Ibid.
[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. Itiel E. Dror, How can Francis Bacon help forensic
science? The four idols of human biases, http://www.cognitiveconsultantsinternational.com/Dror_JUR_human_biases.pdf. diakses Jumat, 1 Oktober 2010, pkl. 10.00 WIB.
[7] Bdk. Opcit, hlm. 29.
[8] Bdk. Opcit.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid. F. Budi Hardiman, hlm. 29.
[11] Edwin A. Burtt (ed), The
English Philosophers from Bacon to Mill, New York: The Modern Library, 1939.
Hlm. 34.
[12] Bdk. Opcit. Hlm.29.
[13] Bdk. Ibid.s
[14] Bdk. Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya
Ideologi, Magelang: Indonesiatera, 2001, hlm. 55.
[15] Bdk. Ibid. Brian Magie, The Story of Philosophy, hal. 77.
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar