Total Tayangan Halaman

Senin, 12 September 2011

Konsepsi Idola menurut Francis Bacon
Konsepsi Idola menurut Francis Bacon
(Suatu Implementasi dalam Hidup Berbangsa di Indonesia)

I.         Pengantar
 Perkembangan sebuah bangsa tidak mungkin lepas dari perkembangan masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang intelektual. Perkembangan intelektual yang dimaksud adalah kondisi pengetahuan dari setiap anggota masyarakat itu. Pengetahuan pada gilirannya dapat membuat setiap anggota masyarakatnya mampu mengembangkan diri dan juga bangsa ini dengan lebih cepat. Dengan kata lain, pengetahuan menjadi tolak ukur dalam perkembangan suatu bangsa.
Indonesia hingga pada saat ini masih tergolong sebagai negara berkembang. Itu artinya bahwa negara Indonesia belum mencapai suatu perkembangan yang berjalan dengan lancar. Fakta ini jelas berkaitan dengan keadaan kondisi intelektual dari para manusia negara ini yang juga bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang belum maju. Dengan melihat realitas ini, maka muncul sebuah praduga akan adanya penyebab dari munculnya kemandegan itu. Pasti ada yang sedang menghalangi pikiran manusia Indonesia sehingga tidak dapat melihat realitas yang sesungguhnya secara jelas. Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba melihat beberapa penyebab terjadinya kemandegan itu dengan menggunakan pemikiran Francis Bacon tentang Idola-idola.

II.      Sekilas tentang Francis Bacon dan Pemikirannya tentang Pengetahuan
Francis Bacon adalah seorang filsuf yang sangat berpengaruh pada zamannya karena pemikirannya tentang pengetahuan. Dia dilahirkan pada 21 Januari 1561 dalam keluarga bangsawan Inggris yakni Sir Nicholas Bacon dan mengikuti studinya tentang filsafat Plato dan Aristoteles di Trinity College Cambridge. Dari sejak muda, dia telah berusaha untuk membuktikan bahwa sistem filsafat skolastik sudah usang.[1] Pada abad itu, Bacon ingin menunjukkan bahwa sistem pengetahuan lama tidak dapat memberikan sesuatu yang berfaedah dan tidak memberikan sumbangan bagi kehidupan umat manusia. Pendapat ini dia pertegas dengan mengatakan bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum dan orang Abad Pertengahan dengan teologi.[2] Dia melihat bahwa para pemikir Abad Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan masih terpaku pada pemikiran-pemikiran yang membuat pengetahuan bukan untuk pengetahuan itu. Mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan.[3] Sebagai seorang humanis Renaisans, Bacon menganggap manusia sebagai ukuran dari segala karena manusialah yang dapat memiliki dan yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan itu.
Pemikiran Bacon tentang pengetahuan menjadi sangat terkenal melalui tesis yang dia promulgasikan yaitu “knowledge is power” (pengetahuan adalah kuasa). Tesis ini bukanlah berarti bahwa lewat pengetahuan indrawi manusia bisa menguasai alam melainkan bahwa pengetahuan inderawi itu dapat digunakan untuk memajukan kehidupan manusia yang pada akhirnya dapat memajukan kehidupan bangsa dan negara. Dalam hal ini, pengetahuan itu lebih mendapat penekanan dalam bidang fungsionalnya. Manusia bisa mengetahui kebenaran universal dan pengecualian-pengecualiannya bila manusia dengan pikirannya mampu menyelami hukum dan prinsip alam serta mengerti alam. Pada dasarnya tesis ini berada dalam ranah pandangan dia tentang manusia sebagai ukuran dari segalanya.

III.   Konsepsi Idola
Dalam kaitannya dengan pemikiran Bacon tentang pengetahuan, salah satu bukunya ”Novum Organum”memuat suatu pemikiran yang sangat terkenal yaitu tentang konsep Idola-idola. “Idola” yang dimaksud adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya.[4] Idola-idola itu muncul dari cara pikir lama yang oleh Bacon dilihat sebagai penghalang bagi pikiran manusia untuk bisa berpikir objektif. Melalui konsep ini, Bacon ingin agar setiap individu dan masyarakat mampu berpikir objektif dan kritis atas segala apa yang sedang muncul. Tujuan ini dapat dicapai jika idola-idola itu dapat disingkirkan dari cara berpikir manusia.
Dengan tegas Bacon mengatakan bahwa idola ini adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala yang merasuki pikiran manusia sehingga manusia enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis.[5] Idola itu membatasi dan membuat manusia tidak mampu berpikir secara bebas karena terkurung dalam pemujaan-pemujaan terhadap kebenaran lama dan semu itu. Bacon mengembangkan doktrin tentang “idola” di mana ia meletakkan pemahaman tentang berbagai kendala yang terdapat dalam mencapai kebenaran dan ilmu pengetahuan – berhala palsu yang mencegah kita untuk membuat pengamatan yang akurat dan untuk mencapai suatu pemahaman.[6] Melalui konsepsi ini, Bacon ingin mengingatkan manusia akan adanya bahaya yang besar bila idola-idola ini masih menguasai pikiran manusia. Idola ini membuat manusia tidak lagi bisa menguasai alam dan tidak berhasil merumuskan suatu kebenaran dari hasil dari setiap observasinya.
Untuk memperjelas konsepsi idola ini, Bacon mengelompokkannya ke dalam empat macam idola yang ada dalam diri manusia baik secara individual maupun secara komunal. Keempat kelompok idola itu adalah: idola tribus, idola cave, idola fora, idola theatra.[7] Dengan mengetahui idola ini, diharapkan agar kita mampu membangun suatu pengamanan rasional yang dapat membantu kita untuk mengkounter setiap pengaruh idola-idola itu. Usaha ini dapat dilakukan dengan menemukan cara-cara untuk mendeteksi, mengenali dan mengkounter pengaruh-pengaruh dari setiap idola itu.[8] Artinya melalui pengelompokan ini, kita bisa mendeteksi apa saja yang merupakan idola dalam setiap individu dan masarakat yang sedang menutupi cara pikir kira. Francis Bacon percaya bahwa jika orang "diperingatkan akan adanya bahaya," mereka bisa "membentengi diri sejauh mungkin terhadap serangan dari idola-idola itu."[9] Masing-masing idola itu memiliki sumber yang berbeda-beda dan ini memiliki konsekuensi langsung terhadap bagaiman cara kita untuk mengkounter pengaruh mereka. Apa pengertian dari keempat idola itu?
Pertama, Idola tribus (tribus=bangsa) adalah semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga orang tak sanggup memandang alam secara obektif.[10] Idola-idola ini menjadi hambatan karena pikiran manusia menjadikan prasangka-prasangka itu sebagai suatu kebenaran yang harus dipertahankan. Prasangka itu diterima begitu saja tanpa ada suatu sikap kritis. Bahkan, prasangka itu diturunkan atau diwariskan bagi generasi berikutnya tanpa ada sedikit pun sikap meragukan kebenarannya. Bacon mengatakan: “Idola tribus ini memiliki dasarnya dalam kodrat manusia itu sendiri dan dalam suku serta ras mereka.”[11] Dengan demikian idola tribus merupakan idola yang tidak bisa dihapus dari dalam diri manusia karena ada dalam kodrat manusia dan sudah menjadi bawaannya.
Kedua, idola cave (cave/specus=gua) merupakan prasangka individual yang berarti bahwa pengalaman-pengalaman dan minat-minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia sehingga dunia objektif dikarburkan.[12] Idola ini membuat pikiran manusia terjebak para pengelaman-pengalaman atau minat-minat pribadi sehingga tidak bisa melihat realitas secara jelas. Idola ini muncul ketika orang menganggap bahwa hanya dialah yang memegang yang benar dan yang lain salah. Setiap manusia yang terjebak di dalamnya terkurung dalam suatu pola pemikiran yang sangat tertutup dengan kehadiran pemikiran lain. Menurut Bacon, dalam diri manusia yang dikaburkan oleh idola ini ada suatu yang ibarat gua (Cave) yang hanya mendapat sedikit cahaya untuk mengerti dunia luar. Bagi mereka, yang benar adalah apa yang mereka pikirkan dan kenyataan yang sesungguhnya ada dalam diri meraka. Idola ini sering dialami oleh orang yang sedang terkurung dalam berbagai perasaan. Sebut saja yang terjadi dalam diri orang yang sedang bersedih. Cara berpikirnya akan dikaburkan oleh perasaan tersebut sehingga dia menolak pendapat orang yang ingin membantunya.
Ketiga: idola fora (forum=pasar) menurut Bacon adalah idola yang paling berbahaya yang mengacu pada pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji.[13] Idola ini muncul dalam diri orang yang dalam dirinya tertanam dan memuja-muja suatu kebenaran yaitu: pendapat umum selalu benar. Individu tidak lagi dapat berpikir kritis atas apa yang dikatakan oleh pendapat umum. Bacon mengangkat ini sebagai idola karena seringnya muncul kekacauan berpikir yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa, sebagai media pergaulan dan asosiasi pesan dan makna antara satu orang dengan orang lain.[14] Bahasa yang digunakan oleh manusia itu pada dasarnya baik dan berguna bagi manusia serta mendapat posisi penting dalam hidup manusia. Akan tetapi bahasa ternyata  dapat mengelabui pemikiran kita karena kesibukan mekirkan istilah yang tepat atas suatu realitas. Idola ini menjadi sangat berbahaya ketika manusia menerima begitu saja pemahaman palsu tertentu yang diakui oleh masyarat (pasar).
Keempat: idola theatra (theatra=panggung) yaitu aneka ragam sistem filsafat yang sering digunakan orang secara keliru untuk memandang realitas, kira-kira sejenis dengan yang sekarang kita namakan ideologi sang biang kerok kesadaran palsu.[15] Manusia seakan-akan dimasukkan dalam suatu panggung drama pemikiran yang sedang pamor pada hal mementaskan suatu dunia khayali, semu. Karena tidak adanya sikap kritis dalam diri manusia, mereka menerima pemikiran itu begitu saja sehingga mereka tidak sampai pada kebenaran yang sesungguhnya. Mengagung-agungkan pemikiran seorang tokoh  atau aliran tertentu tanpa menimbulkan sikap kritis atasnya menjadi contoh yang sering terjadi dalam diri manusia. Siapa saja yang menolak sistem atau tokoh itu dianggap sesat dan dikucilkan.

IV.   Implementasi dan Kesimpulan
a.      Implementasi dalam Hidup Berbangsa di Indonesia
Dalam bagian ini, kita akan mencoba mencoba melihat implementasi dari konsepsi idola itu dalam hidup berbangsa di negara ini. Sebenarnya ada begitu banyak idola dalam negara ini. Berikut ini penulis hanya mencoba memaparkan beberapa contoh idola yang sedang meradangi pemikiran kita. Akan tetapi sangat diharapkan bahwa melalui beberapa contoh yang mewakili setiap kelompok idola di atas, kita dapat juga menyadari contoh-contoh lain.
Adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku dan budaya. Masih ada suku yang masih mengalami ketertinggalan dalam hal pengetahuan (bukan untuk mengatakan bahwa mereka masih primitif). Ketertinggalan ini bisa saja diakibatkan karena keinginan mereka untuk mengembangkan daya intelektual belum kuat. Anggapan bahwa alam selalu menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka masih kuat tertanam dalam diri mereka. Dengan kata lain, alam yang mereka tempati sering memanjakan mereka sehingga dalam diri mereka muncul anggapan bahwa ilmu pengetahun belum menjadi suatu yang penting. Bertani tanpa sekolah sering menjadi prioritas banyak orang dalam masyarakat. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai suatu berhala yang menjadi penghalang bagi masyarakat tertentu untuk berkembang. Sebut saja di daerah Daerah Karo, Simalungun dan Toba-Sumatera Utara. Bagi sebagian besar masyarakat di sana, pertanian adalah suatu hal yang paling penting. Mereka memperoleh kehidupan dengan bertani. Memang dapat dikatakan bahwa mereka memiliki pengalaman dalam bidang itu. Akan tetapi pengetahuan mereka tentang bidang itu untuk semakin memajukan hidup mereka belum setinggi pengalaman mereka. Mereka mengagung-agungkan alam yang mereka olah walau untuk mencapai hasil yang memuaskan mereka telah menggunakan zat kimia yang telah merusak tanah. Mereka tidak banyak tahu tentang apa yang terjadi di tanah itu. Mereka ikuti saja iming-iming yang diberikan para pengusaha pupuk kimia tanpa menyadari langsung akibat dari pupuk itu. Penulis yakin bahwa cara pikir seperti ini masih banyak tertanam dalam diri manusia Indonesia. Dalam pemikiran Francis Bacon, masalah ini masuk dalam kelompok idola tribus.
“Budaya sungkan” sering dianggap oleh manusia Indonesia sebagai suatu yang harus dipegang demi menjaga keajegan hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya budaya ini didominasi oleh perasaan-perasaan tertentu yang menutup pikiran untuk mengungkapkan kebenaran kepada orang lain. Mereka berpendapat bahwa lebih baik menjaga perasaan orang lain dari pada harus mengungkapkan kebenaran. Membiarkan ketidakbenaran meraja lela menjadi akibat langsung dari budaya ini. Sebut saja apa yang sering terjadi dalam dunia pemerintahan yaitu ketika seorang pejabat membiarkan rekannya melakukan korupsi tanpa berani menegur orang itu karena “sungkan”.  Rasa sungkan lebih kuat mempengaruhi keputusan dari pada fakta sebagai pejabat pemerintahan yang harus memperjuangkan kebenaran. Orang yang terjebak dalam cara pikir ini dapat dikelompokkan dalam idola cave karena bagi mereka perasaan sungkan itulah yang harus dijunjung tinggi ketika melihat orang lain melakukan ketidakbenaran.
Tidaklah banyak orang Indonesia yang telah tegas menolak keberadaan “gosip” dari dalam hidupnya. Ketinggalan untuk mengetahui gosip terbaru malah menjadi suatu kelemahan atau suatu hal yang buruk dalam diri mereka. Dan setelah mereka mengetahui gosip itu, mereka akan bangga dan dengan bersemangat menyebarkannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip itu diartikan sebagai “obrolan tentang orang lain; cerita negatif tetang seseorang; pergunjingan”.[16]  Artinya, pada dasarnya gosip itu bersifat buruk dari dalam dirinya. Akan tetapi gosip itu memiliki pengaruh yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat. Apa yang disebarkan melalui gosip cepat diterima dan langsung dipercayai tanpa ada pertanyaan untuk memperjelas kebenarannya. Budaya “ngegosip” ini tidak hanya ada di kalangan masyarakat biasa tetapi juga di kalangan kaum intelektual. Ketika “pembicaraan pasar” atau gosip dijadikan acuan kebenaran, maka bahaya besar akan menimpa masyarakat itu. Inilah suatu realitas yang bisa dimasukkan dalam idola fora yang selama ini telah mengaburkan pikiran manusia Indonesia.
Salah satu pemikiran yang masih kuat dalam negara ini adalah pemikiran tentang “Ratu Adil”. Pada umumnya, konsep seperti ini biasanya lahir di tengah masyarakat yang sedang tertindas. Oleh masyarakat itu, konsep ini tidak hanya diterima tetapi juga diyakini dan bahkah menyandarkan hidup padanya. Sementara di pihak modern, konsep ini tidak jauh beda dengan suatu mitologi yang diciptakan di tengah hidup yang sedang ditindas. Lepas dari pandangan modern ini, bagi manusia Indonesia “Ratu Adil” adalah suatu hal yang pasti. Behkan konsep ini diterima sebagai sebuah sistem filsafat yang harus diyakini kebenarannya. Kami mengangkat konsep ini sebagai salah satu contoh idola teathre karena konsep ini sering membuat masyarakat bersikap pasrah, fatalistik dan tidak ada lagi semangat juang dalam diri untuk mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih baik. Alhasil, mereka hanya menunggu tanpa melakukan apa-apa untuk memperbaiki hidupnya secara konkrit.

b.      Kesimpulan
Francis Bacon menawarkan suatu pemikiran yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui apa saja yang menhalangi pikiran kita dalam melihat realitas ini. Bacon melihat itu sebagai idola yang dijadikan sebagai berhala-berhala baru. Pemikiran ini tetap relevan karena dapat membantu kita untuk melihat idola-idola itu pada zaman ini. Dalam tulisan ini, penulis tidak menunjukkan pemecahan atas masalah-masalah yang diakibatkan oleh idola-idola itu melainkan ingin menyadarkan kita. Kita telah diperbudak oleh idola-idola itu, pemikiran bangsa kita sering dikaburkan dan dikacaukan. Francis Bacon mengajak kita untuk menyadarinya sehingga kita dapat membentengi diri dari pengaruh-pengaruh idola tersebut. Dengan membentengi diri secara rasional, kita pun dapat berpikir secara objektif dan memperoleh banyak pengetahuan menjadi sesuatu yang sangat mungkin.


[1] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, hlm. 26.
[2]Bdk. Ibid. hlm 27.
[3] Ibid.
[4] Bdk. Ibid.
[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. Itiel E. Dror, How can Francis Bacon help forensic science? The four idols of human biases, http://www.cognitiveconsultantsinternational.com/Dror_JUR_human_biases.pdf. diakses Jumat, 1 Oktober 2010, pkl. 10.00 WIB.
[7] Bdk. Opcit, hlm. 29.
[8] Bdk. Opcit.
[9]  Ibid.
[10]  Ibid. F. Budi Hardiman, hlm. 29.
[11] Edwin A. Burtt (ed), The English Philosophers from Bacon to Mill, New York: The Modern Library, 1939. Hlm. 34.
[12] Bdk. Opcit. Hlm.29.
[13] Bdk. Ibid.s
[14] Bdk. Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi, Magelang: Indonesiatera, 2001, hlm. 55.
[15] Bdk. Ibid. Brian Magie, The Story of Philosophy, hal. 77.
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar