foto dari :http://junedihutagaol.wordpress.com/2009/05/21/8/
I.
Pengantar
Membangun Kebudayaan Nasional menjadi suatu tugas yang
mendesak terutama pada abad-abad terakhir ini dan di era globalisasi ini.
Gempuran-gempuran yang dilontarkan oleh kebudayaan manca Negara semakin kuat
mengingat semakin mudahnya berbagai kebudayaan itu masuk dalam Negara Indonesia.
Munculnya berbagai macam pengaruh pun semakin terasa yang mengakibatkan
terjadinya perubahan budaya dalam Negara ini. Negara yang tidak mengenal
identitasnya dengan sendirinya akan lebur terbawa arus dan tidak ada lagi kata
untuk kembali. Hubungan antara Kebudayaan Nasional dengan identitas ini pun
dipertegas oleh Koentjaraningrat. Beliau menegaskan bahwa gagasan”Kebudayaan
Nasional”dibutuhkan untuk mengintensifkan perasaan identitas nasional dan
solidaritas nasional warganya.[1]
Menghadapi situasi kebudayaan seperti ini, tidak mengherankan bila gagasan
untuk membangun Kebudayaan Nasional ditimbulkan yang disertai nada mendesak.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan
keanekaragaman budaya dengan corak masing-masing yang sangat khas. Kekayaan ini
membuat bangsa ini memiliki kebudayaan yang sangat kompleks. Parsudi Suparlan
memperkirakan ada 500 suku bangsa yang menghuni wilayah geografis ini.[2]
Ini menandakan bahwa dalam rangka membangun Kebudayaan Nasional, kita tidak bisa
melupakan keberadaan suku-suku bangsa yang dimiliki bangsa ini. Adanya peranan
suku ini juga dipertegas oleh Prof. Soerjanto Poespowardojo dengan mengatakan
bahwa salah satu cara untuk merealisasikan tujuan Kebijakan Kebudayaan Nasiona
adalah dengan membina dan memupuk kebudayaan daerah sebab justru kebudayaan
daerahlah, sebagai penghayatan masyarakat, yang mampu memberikan benih serta
unsure-unsur yang perlu ditingkatkan ke taraf Kebudayaan Nasional.[3]
Berangkat dari desakan untuk membangun Kebudayaan Nasional
ini serta bagaimana peranan kebudayaan daerah ini, maka penulis hendak
memaparkan tentang hal-hal apa yang bisa disumbangkan dalam membangun
Kebudayaan Nasional ini. Penulis akan menganalisa bagaimana kebiasaan “marmitu” dalam budaya Batak Toba dapat
memberikan nilai-nilai posotif tanpa mengabaikan hal-hal negatif yang bisa
timbul dari kebiasaan itu.
II.
Manusia Batak Toba dan Budaya Batak Toba
Berbicara soal budaya, pertama-tama harus dicapai dulu
suatu konsep yang jelas tentang manusia yang berbudaya itu. Berbicara soal
budaya Batak Toba, maka langkah pertama adalah dengan bertanya “siapakah itu
orang Batak Toba yang memiliki budaya itu?” Dalam mitologi
penciptaan manusia yang berkembang di dalam budaya Batak Toba terdapat beberapa
versi mitos berkaitan penciptaan manusia.[4]
Salah satu cerita mitos yang paling
terkenal adalah mitos yang menceritakan bahwa orang Batak pertama bertempat
tinggal di Pusuk Buhit yang turun dari Banua
Ginjang (dunia atas) dan nenek moyang mereka adalah keturunan putri dewa Batara Guru bernama Si Boru Deak Parajar yang kawin dengan putra dewa Balabulan bernama Tuan Ramauhir atau Tuan
Rumagorga.[5]
Nenek moyang ini pun diyakini memiliki keturunan dan pada akhirnya melakukan
perpindahan ke daerah tanah Batak sekarang.
Orang Batak Toba memiliki identitas yang
khusus karena memiliki marga, bahasa, kesusteraan, agama, upacara adat dan
kesenian yang khas. Setiap Orang Batak selalu memiliki marga yang diturunkan
dari marga bapaknya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Batak Toba yang
lengkap dengan aksaranya. Orang Batak juga telah memiliki agama sebelum
masuknya agama-agama besar seperti Kristen dan Katolik yang lajim disebut
sebagai agama “Parmalim”. Pada zaman sekarang ini, agak
sulit menentukan daerah Batak Toba yang ditempati oleh orang Batak Toba sendiri
karena penyebarannya yang sulit untuk dialokasikan.
Dari identitas di atas dapatlah dikatakan bahwa Orang Batak
Toba juga telah memiliki suatu kebudayaan tertentu yang disebut dengan Budaya
Batak Toba. Hal ini terungkap jelas dari isi dari kebudaan itu sendiri yang
telah disebut di atas seperti agama, upacara adat, bahasa dan lain-lain. Dengan
demikian, Orang Batak Toba dapat disebut sebagai kelompok orang yang telah
memiliki identitas bersama yang dimiliki dalam budaya itu sendiri.
III.
Marmitu: Bagian dari Budaya Batak Toba
a.
Tuak sebagai bahan dasar
Untuk mengerti apa itu tuak dan bagaimana pengaruhnya,
baiklah kita melihat lebih dahulu satu untaian kata-kata berikut ini:
“Satu
gelas tuak, penambah darah, dua gelas tuak, lancar bicara.
Tiga gelas
tuak mulai tertawa-tawa, empat gelas mencari gara-gara.
Lima gelas
tuak semakin membara, enam gelas membuat perkara.
Tujuh
gelas tuak semakin menggila, delapan gelas membuat sengsara.
Sembilan
gelas tuak masuk penjara, sepuluh gelas masuk neraka.”[6]
Tuak
adalah sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren (Arenga pinnata).[7]
Dalam tradisi Batak Toba aren atau mayang enau itu diolah dengan sedemikian
rupa oleh seorang paragat. Tentunya
tidak langsung jadi artinya seorang paragat harus melakukan beberapa “ritus”
agar pohon aren itu bisa menghasilkan cairan yang banyak. Bagian yang diolah
adalah pangkal dari buahnya. Setelah melakukan pemotongan terhadap mayang itu, paraga itu selanjutnya akan menampung
tetesan air mayang itu ke dalam tempayan bambu. Rasa air mayang itu adalah
manis. Untuk memberikan alkohol, paragat
pun akan memberikan raru dan
memasukkannya ke dalam tempayan bambu itu. Tuak itu akan diambil dua kali
sehari, pagi dan sore.
Dalam harian SIB (Rabu, 7Juli 2010, hlm 13) Bulman Harianja
membagi istilah tuak itu dalam beberapa macam: pertama, tuak natonggi (manis)
yaitu tuak asli yang masih manis yang dapat diolah menjadi gula merah (aren).
Kedua, tuak tangkasan yaitu tuak tanpa dicampur zat cair lain kecuali raru. Ketiga, tusor yaitu tuak sore yang
disajikan untuk sore hari dan malam hari. Keempat, Tuak angsa adalah tuak yang
rasanya asam dan jika diminum mata pun dipicingkan dan setelah diteguk suara
akan mendesah seperti suara angsa. Kelima, tuak kapal selam yaitu tuak yang
berisi seekor binatang kecil di dalam gelas yang hidup di pohon enau. Keenam,
tuak bagot puli yaitu tuak yang berasal dari enau yang kerdil dan mini. Dan
ketujuh, tuak mallupuk yaitu tuak yang biasa dimasukkan ke dalam botol dan
ditanam selama 3 hari 3 malam di dalam tanah.
Dalam berbagai kesempatan, tuak ini menjadi menu utama yang
harus ada. Kesempatan-kesempatan atau acara itu adalah marmitu, pesta adat,
untuk wanita yang baru melahirkan, untuk rapat-rapat bersama dll. Dalam
berbagai kesempatan itu, tuak sering dilihat sebagai bahan dasar karena orang
Batak akan merasa kehilangan sesuatu bila tuak tidak dijadikan sebagai menu
utama. Memang sebagai dasar hal ini tidak untuk mengatakan bahwa tanpa tuak
acara tidak jadi melainkan untuk menegaskan bahwa tuak dipakai untuk
memperlancar pembicaraan.
b.
Dari partungkoan
sampai lapo tuak atau pakter tuak
Marmitu adalah kegiatan
minum tuak bersama yang dilakukan oleh beberapa orang sambil bernyanyi ria.
Kegiatan ini pada awalnya dilakukan di tempat partungkoan yang adalah tempat orang berkumpul untuk minum tuak di
bawah sebuah pohon rindang seperti pohon beringin atau jabi-jabi dengan menggelar tikar (lage).[8]
Tempat ini sempat beredar pada zaman tradisional Batak dan setiap lumban (kampung) biasanya memilikinya
yang ditempakan di salah satu pojok kampung. Jenis tuak yang akan disediakan di
tempat ini adalah “tuak tangkasan”
yaitu tuak yang diberi “raru” (salah
satu kulit pohon) dan tidak dicampur dengan zat cair lainnya. Mereka menyebut
tuak ini sebagai tuak “si paulak hosa
loja” yang artinya tuak yang dapat memulihkan stamina yang telah terkuras
habis setelah bekerja seharian di ladang. Mereka yang datang ke partungkoan itu
tidak hanya datang untuk minum tuak melainkan juga mengadakan interaksi dengan
teman sekampung dengan berbagai ragam dialog seperti diskusi, berkelakar, dan
juga berbicara soal adat, rencana pembangunan dan marsiadapari (gotong royong).
Memang pembicaraan itu tidak pernah dijadikan sebagai pembicaraan formal
seperti yang dilakukan di musyawarah desa. Akan tetapi, pada umumnya topik
pembicaraan dalam musyarawah desa itu sering terinspirasi dari pembicaraan di partungkoan. Dengan kata lain,
partungkoan bagi beberapa orang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Tempat
minum tuak yang lebih besar adalah lapo
tuak atau pakter tuak yaitu
tempat untuk parmitu berasal dari
beberapa kampung. Dengan kata lain, pengunjung untuk lapo tuak ini tidak lagi dibatasi hanya oleh orang satu kampung
melainkan dari berbagai latar belakang pendidikan, profesi, status dan usia
yang berbeda.[9]
Lapo tuak ini juga berbeda dari partungkoan dari segi tempatnya. Tempat
untuk lapo tuak ini tidak lagi di bawah pohon tetapi berada
dalam sebuah bangunan sederhana yang dibangun dengan sedemikian rupa dan
dilengkapi dengan meja dan tempat duduk. Mereka yang datang ke tempat ini
memiliki tujuan yang berbeda-beda. Ada sekelompok orang yang datang hanya untuk
minum segelas hingga dua gelas lalu pulang. Biasanya mereka itu hanya untuk
memanaskan tubuh dengan tuak saja tanpa ikut mengobrol lama atau ikut
bernyanyi. Akan tetapi yang paling dominan adalah mereka yang datang bukan
hanya untuk minum tuak melainkan membuka kelompok nyanyian dan bernyanyi sampai
puas hingga segala emosi terluap dengan baik.

c.
Marmitu sebagai salah
satu bentuk budaya Batak Toba
Minum
tuak sudah menjadi kebiasaan bagi Orang Batak khususnya bagi laki-laki.
Kebiasaan ini tentunya pasti membentuk karakter seseorang yang pada gilirannya
juga akan membentuk karakter suatu masyarakat tertentu. Berangkat dari
kebiasaan ini, lepas dari nilai positip dan negatifnya, marmitu dapatlah diangkat sebagai salah satu bentuk budaya Batak
Toba. Kebiasaan ini akan jelas tampak bila kita mengunjungi beberapa kota di
Indonesia ini yang pendududuknya menampung Orang Batak. Di kota itu pasti ada lapo tuak dan menjadi tempat untuk
melestarikan budaya marmitu ini. Itu berarti bahwa di mana ada orang Batak
berkumpul dalam suatu daerah di sana umumnya terdapat lapo tuak. Fenomena budaya ini menjadi suatu hal yang sudah melekat
dalam diri Orang Batak.
Yang
menjadi pertanyaan adalah, apa itu marmitu
dan apa yang ada di dalamnya? Di atas telah kami sebutkan bahwa marmitu adalah kegiatan minum tuak
bersama yang dilakukan oleh beberapa orang sambil bernyanyi ria. Kata marmitu ini merupakan gabungan dari mar[11]+mitu.
Sementera mitu adalah singkatan dari
dari minum tuak. Jadi dari sini,
bisa dimengerti bahwa marmitu itu
berarti minum tuak yang dijadikan sebagai ungkapan khas dan dimengerti oleh
banyak orang Batak apalagi oleh parmitu
(orang yang sering marmitu). Ada
beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dalam kegiatan ini. Pertama, mereka yang disebut parmitu ini
melakukan kegiatan ini tanpa perencanaan. Artinya, mereka datang begitu saja
dan ikut nimbrung. Awalnya dimulai oleh satu dua orang sambil bernyanyi
bersama. Kedua, ketika bernyanyi para
parmitu itu tanpa diperintah akan mengambil suara masing-masing setelah gitar
dibunyikan. Dengan sendirinya akan kedengar paduan yang merdu walau tanpa
arrangsement lebih dahulu. Mereka menyebut “feeling”
untuk mengungkapkan kemampuan mereka dalam mengkombinasikan suara-suara itu. Ketiga, mereka bernyanyi tanpa melihat
teks sehingga bila ada seorang dari antara mereka yang tidak tahu, dengan
sendirinya dia akan berhenti sejenak lalu mendengar teman lainnya dan kembali
ikut bernyanyi. Keempat, tujuan utama
mereka adalah membentuk suatu paduan suara agar terdengar indah tanpa harus
dibuat-buat. Mereka menyanyi dengan lepas sambil meneguk tuak yang disediakan.
IV.
Nilai-Nilai Budaya Marmitu (Sebagai Sumbangan dan Keprihatinan)
Di
atas telah diterangkan mengapa marmitu
ini bisa diangkat sebagai suatu bentuk budaya dalam budaya Batak Toba. Sekarang
yang menjadi pertanyaan adalah, apa nilai-nilai yang bisa diusung untuk
membangun Budaya Nasional dan apa saja yang harus dihindari dari budaya budaya
ini yang bisa menghambat pembangunan Budaya Nasional? Dalam penjelasan di atas,
secara tidak langsung telah terungkap beberapa nilai penting dari marmitu ini.
Bagaimana marmitu dilakukan bersama, menyanyi bersama, saling mendengarkan dan
saling bahu membahu untuk menciptakan keindahan, itulah yang mereka lakukan.
Jadi berikut ini penulis akan memperlihatkan beberapa nilai yang bisa diambil
dari marmitu ini. Pertama, nilai
kebersamaan. Kebersamaan dalam marmitu adalah suatu hal yang tidak boleh
dilupakan dan ditinggalkan. Dan ini tidak akan mungkin terjadi karena dari
jumlah parmitu saja bisa dilihat bagaimana kegiatan ini harus dilakukan secara
bersama. Dengan kata lain, tidak ada marmitu
yang dilakukan sendirian di mana saja. Kebersamaan ini juga akan semakin erat
ketika mereka menyanyi dan saling memperhitungkan teman. Artinya, dalam marmitu
tidak ada sifat untuk menyombongkan diri. Semua boleh bernyanyi entah itu
suaranya pas-pasan sampai yang suaran sangat merdu. Saling mengenal pun muncul
dari marmitu ini karena tidak ada yang ditutup-tutupi. Mereka semua saling
terbuka melepaskan beban mereka karena tugas atau karena masalah kehidupan.
Nahum Situmorang dengan indah pernah menggambarkan kebersamaan ini lewat lagu
karagannya “Lissoi”. Dalam lagu itu
dia menyapa semua parmitu yang sedang marmitu
itu sebagai teman sependeritaan, seperjuangan lalu mengajak mereka untuk
bergembira bersama melalui lagu-lagu. Lagu yang senantiasa teringat di sanubari
para parmitu ini pada akhirnya akan
membawa mereka pada suatu pemahaman dan pengalaman kebersamaan yang sangat
mendalam. Ketika mereka bernyanyi bersama, tidak ada lagi yang memisahkan baik
status sosial, profesi dan semua adalah sama.
Nilai
yang kedua adalah nilai sosial. Dapat dikatakan bahwa melalui marmitu orang dapat dibentuk menjadi
orang yang berjiwa sosialis. Hal ini terungkap jelas dari apa yang mereka
lakukan. Ketika seorang bapak telah memesan tuak satu teko, maka dapat
dipastikan bahwa tuak itu tidak akan dia habiskan sendirian. Dia pasti menuangkan
tuak itu ke gelas temannya yang duduk di sebelah dan di depannya. Demikian juga
yang akan dia alami bila yang memesan adalah temannya. Sikap saling berbagi
menjadi suatu hal yang sangat penting dalam marmitu.
Kebiasaan
bernyanyi bersama ini tentunya memberikan dampak yang sangat besar bagi
tiap-tiap orang. Berlatih bernyanyi, keberanian untuk bernyanyi dan mau
mendengarkan orang lain ternyata telah membentuk karakter manusia Batak yang
pandai menyanyi. Maka tidak mengherankan
bila sejak zaman dulu sudah banyak grup penyanyi yang muncul karen kebiasaan
ini. Sebut saja sekarang yang lagi tenar itu adalah kumpulan anak muda Batak
“Marsada Band”. Mereka membentuk grup itu dari kebiasaan mereka dalam marmitu.
Ada
satu hal yang tidak bisa dilupakan yang sering terjadi di sudut-sudut lapo.
Diskusi tentang berbagai permasalahan sering terjadi. Sambil mendengarkan
mereka yang sedang bernyanyi, ada beberapa orang yang asyik ngobrol dan isi pembicaraan mereka tidak
sama dengan ngerumpi atau gosip.
Mereka sering larut dalam pembicaraan tentang berbagai masalah seperti
keluarga, adat, pertanian dan bahkan politik. Maka tidak mengherankan bila ada
beberapa orang menyebut lapo itu sebagai lapangan politik. Nilai yang mereka
junjung sungguh jelas yaitu nilai musyawarah.
Akan
tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak dampak negatif dari budaya ini
yang perlu dihindari. Sikap mau mencari “kesenangan saja” (hedonis) kadang
mendominasi dalam diri para parmitu. Mereka kadang marmitu sampai lupa anak
istri yang sedang tinggal di rumah. Interaksi dengan keluarga di malam hari
seakan-akan tidak ada lagi dalam beberapa keluarga Batak. Kepala keluarga lebih
cenderung berinteraksi dengan orang lain dari pada keluarganya sendiri. Selain
itu, sikap mengontrol diri pun sepertinya semakin sulit dalam marmitu. Beberapa orang juga kadang
memiliki gengsi yang tinggi ketika minum tuak. Mereka akan merasa malu bila
hanya meminum 2-3 gelas tuak. Pada hal tidak seorang pun yang memperhatikan berapa
gelas tuak yang mereka minum. Akibatnya, mereka pun mabuk dan sering terjadi
perkelahian di lapo bahkan pernah juga terjadi pembunuhan.
V.
“Marmitu” dalam Konstruksi Budaya Nasional
Kita
telah melihat bagaimana marmitu ternyata
bisa disebut sebagai bentuk budaya dan telah banyak memberi pengaruh besar bagi
Orang Batak. Sekarang apa yang menjadi sumbangan dari budaya ini dalam upaya
Konstruksi Budaya Nasional? Menurut penulis, yang menjadi sumbangan dari budaya
ini adalah membantu para perumus Kebudayaan Nasional dalam mengenal lebih dalam
lagi orang Batak Toba yang adalah salah satu subsuku bangsa Indonesia. Boleh
dikatakan bahwa, bila ingin mengenal orang Batak Toba secara lebih jauh
masuklah ke lapo dan lihatlah bagaimana sebenarnya orang Batak Toba itu.
Dari
segi nilai-nilai, penulis melihat bahwa nilai yang diusung dari budaya marmitu
juga adalah nilai-nilai umum yang juga dimiliki oleh budaya lain. Hanya saja
soal cara pembentukan nilai itu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dengan
kata lain, berbicara soal nilai, tidak ada yang baru yang ditawarkan dari
marmitu ini. Yang lebih penting adalah bagaimana melalui budaya ini, orang
Batak Toba bisa mudah dikenal secara lebih baik.
[1]
Bdk. Raymundus Sudhiarsa, Phd, Antropologi
dan Konstruksi Kebudayaan Nasional Indonesia, STFT Widya Sasana: Malang,
2008, hlm. 61.
[2]
Bdk. Hlm. 1.
[3]
Bdk. Hlm. 156.
[4]
Bdk. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap, The
Toba-Batak High God Transcendence and Immanence, West Germany: Antropos Institute D.
5205 St. Augustin, 1981, hlm. 95.
[5]
Bdk. Bungaran Antonius Simanjutak, Konflik
Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Obor: Jakarta, 2009, hlm. 1.
[6]
Bulman Harianja, BA, Tuak Minuman
Tradisional Batak, Sipadao Holso, Sipaulak Hosa Loja Sudah Terkontaminasi,
Harian Sinar Indonesia Baru.
[7]
Bdk. Ikegami Shigehiro,
Tuak dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya
Penggunaan Nira, Hamamatsu College: Annual Report of the
University of Shizuoka, No.11-3, 1997, Part 5.
[8]
Bdk. Op. cit.
[9]
Bdk. Ibid.
[10]
Bdk. Ibid. Ikegami
Shigehiro.
[11] Imbuhan dalam Bahasa Batak yang dipakai untuk menyatakan
pekerjaan atau untuk merubah suatu kata menjadi kata kerja. Contoh: soban (kb)=
kayu bakar; jadi kalau ditambah imbuhan mar-
menjadi marsoban, kata itu
menjadi kata kerja yaitu mengambil kayu bakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar